SOLOPOS.COM - Suasana kedai kopi Sapuangin Coffee and Farm di Dukuh Pajegan, Desa Tegalmulyo, Kecamatan Kemalang, Klaten, Senin (8/11/2021). (Solopos.com/Taufiq Sidik Prakoso)

Solopos.com, KLATEN – Beberapa tahun terakhir, kebangkitan kembali petani kopi di kawasan lereng Gunung Merapi wilayah Kemalang, Klaten, begitu terlihat. Para petani mulai gencar lagi menanam kopi.

Bahkan kini kopi dari lereng gunung itu kian terkenal ke berbagai daerah dan tak sedikit pula orang asing seperti warga Jepang yang membeli kopi dari wilayah Kemalang untuk dibawa pulang sebagai oleh-oleh. Sementara beberapa lainnya ada yang dipasarkan sampai Eropa.

Promosi Selamat! Direktur Utama Pegadaian Raih Penghargaan Best 50 CEO 2024

Hasil kopi mereka pasarkan ke berbagai daerah di Indonesia melalui kelompok petani kopi di wilayah masing-masing. Seperti di wilayah Desa Sidorejo, Kecamatan Kemalang. Petani di desa tersebut memulai lagi tanam kopi pada 2015 lalu.

Mereka belajar segala hal tentang kopi. Mulai dari menanam, memetik, hingga mengolah hasil panen. Produk kopi yang terkenal dari desa tersebut diberi nama Kopi Petruk.

Kopi Petruk bisa dibeli di seluruh toko Indomaret di Klaten. Selain itu, kopi hasil olahan petani di lereng Merapi Klaten tersebut dipasarkan secara online. Pengirimannya sudah merambah ke berbagai daerah di Indonesia.

Kopi Petruk juga mengisi kedai-kedai kopi, tak hanya di Klaten melainkan juga berbagai daerah lain di Indonesia. Beberapa ada yang sudah menjadi langganan seperti pelanggan dari Pulau Sumatra.

“Kalau pengiriman sudah ke seluruh Indonesia kecuali di Indonesia timur,” kata Ketua Kelompok Tani Ngudi Rukun Desa Sidorejo, Sukiman, saat berbincang dengan Solopos.com, Rabu (29/11/2023).

Kopi Petruk juga kerap digunakan sebagai oleh-oleh terutama warga Jepang yang sedang berkunjung ke Indonesia. Setiap kali mereka berkunjung ke Indonesia, banyak yang memesan Kopi Petruk untuk mereka bawa ke Jepang.

kopi lereng merapi klaten
Warga di Desa Sidorejo, Kecamatan Kemalang, Klaten, mengolah kopi hasil panen sebelum dipasarkan, beberapa waktu lalu. (Istimewa)

Kopi Petruk dikelola melalui kelompok dan diproduksi oleh komunitas Radio Lintas Merapi, salah satu wadah sukarelawan kebencanaan. Sebagian hasil penjualan digunakan untuk kegiatan sosial termasuk menyalurkan bantuan ke wilayah-wilayah lain yang terdampak bencana.

Bermula dari Komunitas

Geliat tanam kopi di wilayah Sidorejo di lereng Merapi, Kemalang, Klaten, diawali dari komunitas. Mereka membeli hasil panen kopi dari para petani dengan harga lebih tinggi ketimbang jika hasil panen dijual ke pasar.

Tak hanya membeli, para sukarelawan mengajari petani cara bercocok tanam, memetik, menjemur, hingga mengolah hasil panen menjadi kopi berkualitas. Hal itu menggerakkan petani mulai kembali bertanam kopi di ladang mereka.

Sukiman menjelaskan Sidorejo terutama wilayah Deles sejak masa kolonial Belanda sudah menjadi salah satu kawasan kebun kopi. Pada masa sebelum Indonesia merdeka, pemerintah kolonial pernah memiliki pabrik di kawasan Deles.

“Pabriknya yang kemudian menjadi Pesanggrahan itu. Pabriknya juga tutup pada masa kolonial itu,” kata dia.

Meski tutup, beberapa tanaman kopi tetap dirawat warga. Dekade 1990-2000 merupakan masa-masa kejayaan kopi di Deles. Saat itu, hampir semua petani di kebunnya penuh kopi. Hasil panen mereka pasarkan ke pasar tradisional.

“Tetapi kemudian sekitar 2001, harga kopi anjlok. Dari wilayah Temanggung yang biasanya ambil, hanya ambil sedikit. Karena harga kopi turun, kemudian tanaman kopi ditebangi oleh petani,” kata Sukiman.

Baru pada 2015, para sukarelawan di lereng Merapi wilayah Kemalang, Klaten, mulai menggeliatkan kembali tanam kopi. Hasil panen tak langsung didistribusikan melainkan diolah terlebih dahulu.

Mereka belajar cara bertanam hingga mengolah kopi. Hasil belajar itu kemudian ditularkan ke petani di lereng Merapi. Saat ini, luas tanam kopi di wilayah Sidorejo sekitar 41 hektare (ha). Di dua wilayah RW yakni di Dukuh Deles dan Petung, ada sekitar 180 petani yang menanam kopi.

Tanam Sistem Tumpangsari

Mayoritas bercocok tanam kopi masih dengan sistem tumpangsari, yakni di antara jenis tanaman hortikultura seperti sayur mayur. “Kebanyakan yang ditanam kopi arabika varietas lini S dan sigarar utang,” kata Sukiman.

Menggeliatnya kembali tanam kopi juga ditunjukkan para petani di lereng Merapi wilayah Desa Tegalmulyo, Kecamatan Kemalang, Klaten, terutama di kawasan Sapuangin. Inisiatornya kelompok pemuda.

kopi lereng merapi klaten
Biji kopi hasil panen petani lereng Merapi wilayah Kemalang, Klaten. (Istimewa)

Selain dipasarkan di kedai-kedai wilayah Klaten, Kopi Sapuangin mengisi kedai-kedai di berbagai wilayah seperti Jogja dan Solo. Sama seperti di Deles, di wilayah ini pun para petani sudah tanam kopi jauh sebelum booming tren gaya hidup minum kopi dan bermunculannya kedai-kedai kopi.

Tepatnya pada era 1990-an, warga terutama di wilayah teratas Desa Tegalmulyo yakni Dukuh Pajegan dan Dukuh Canguk, banyak yang menanam kopi. Namun, harga kopi kala itu anjlok.

Di sisi lain, petani saat itu belum memiliki pengetahuan tentang pengelolaan kopi. Singkat cerita, tanaman kopi ditebang petani dan mereka menanam jenis tanaman hortikultura yang dinilai lebih menguntungkan.

Hingga pada 2017, petani di kawasan Sapuangin di lereng Merapi, Klaten, itu mulai kembali menanam kopi. Awalnya dari kegiatan bertajuk Sayembara Kopi Tubruk Nasional dengan datangnya komunitas kopi dari berbagai daerah ke wilayah Sapuangin.

Pada tahun yang sama, dilakukan penanaman 1.500 bibit kopi Arabika varietas Yellow Bourbon dari Classic Bean Bandung. Sejak saat itu, para pemuda Sapuangin belajar tentang cara menanam kopi hingga pengolahan.



Beberapa tahun berikutnya, mereka mulai menuai hasil. Kopi olahan mereka disukai pasar. Kopi Sapuangin pun mulai dipasarkan ke berbagai daerah. Selain mengisi kedai di Klaten, kopi dipasarkan ke wilayah Jogja, Solo, Jakarta, hingga Kalimantan.

Kopi Sapuangin juga pernah dikirim ke Belanda dan Prancis. Para petani di Sapuangin menanam kopi Arabika varietas Yellow Bourbon cita rasa lebih fruitty dipadu dengan rasa asam.

Petani Belajar Pengolahan Kopi

Salah satu pengelola Kopi Sapuangin, July, 29, menceritakan untuk sementara produksi kopi di Sapuangin masih terbatas karena para petani baru mulai bergeliat tanam kopi lagi beberapa tahun terakhir.

Kopi untuk saat ini masih ditanam dengan sistem tumpangsari bersama jenis tanaman sayuran yang menjadi andalan pertanian di lereng Merapi, Klaten. Jika ditotal, luas lahan kopi di Sapuangin baru sekitar 5 hektare (ha).

kopi lereng merapi klaten
Petani asal Sapuangin, Desa Tegalmulyo, Kecamatan Kemalang menunjukkan produk kopi bikinan kelompok tani kopi saat festival kopi di MPP Klaten, Sabtu (18/11/2023). (Solopos/Taufiq Sidik Prakoso)

Soal produksi, July menjelaskan kelompok kopi Sapuangin menghitungnya tahunan. Dalam satu tahun, rata-rata total produksi kopi baru mencapai 1 ton hingga 2 ton.

“Sebenarnya permintaannya tinggi. Seberapa pun kami punya untuk memenuhi permintaan itu bisa langsung habis. Tetapi kami menjaga hasil produksi agar tersedia terus sepanjang tahun,” jelas dia.

July membenarkan geliat tanam kopi di kawasan lereng Gunung Merapi wilayah Kemalang, Klaten, itu baru terlihat beberapa tahun terakhir. Bedanya, saat ini para petani sudah belajar tata cara bertanam kopi hingga memanen yang baik agar menghasilkan kopi berkualitas.

Selain itu, mereka belajar mengolah hasil panen sebelum dipasarkan agar kopi memiliki nilai ekonomi lebih tinggi ketimbang langsung dipasarkan setelah panen. “Mimpi kami itu Kopi Sapuangin bisa lebih maju dan lebih bisa memenuhi permintaan pasar serta banyak penikmatnya,” kata July.

Selain Kopi Sapuangin dan Kopi Petruk, July menjelaskan di lereng Merapi juga terdapat produk Kopi Balerante yang dihasilkan petani di wilayah Desa Balerante, Kecamatan Kemalang. Masing-masing memiliki ciri khas sendiri mulai dari cita rasa hingga pasar.

Wakil Bupati Klaten, Yoga Hardaya, mengatakan dalam satu dasawarsa terakhir peminat kopi terus tumbuh pesat termasuk di Klaten.

“Di Klaten banyak tanaman kopi yang jenisnya beragam. Ada Kopi Sapuangin di Desa Tegalmulyo, Kecamatan Kemalang, Kopi Petruk di wilayah Desa Sidorejo, Kecamatan Kemalang dan Kopi Balerante di Kecamatan Kemalang,” kata Yoga saat menghadiri festival kopi di Taman Kuliner MPP Klaten, Minggu (19/11/2023) malam.

Yoga berharap kopi asal Klaten bisa semakin dikenal dan membanjiri kedai-kedai kopi di berbagai wilayah. “Jangan sampai produk kopi di Klaten hilang, kalah dengan kopi dari luar,” kata Yoga.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya