SOLOPOS.COM - Perajin saat memproses kerajinan logam Tumang Gunungsari, Desa Cepogo, Kecamatan Cepogo, Kabupaten Boyolali, Selasa (10/1/2023). Penamaan nama Tumang berasal dari tempat pembakaran mayat, patumangan, dan hantu kemamang. (Solopos.com/Ni’matul Faizah).

Solopos.com, BOYOLALI – Kepala Desa (Kades) Cepogo, Mawardi, Selasa (10/1/2023), menceritakan tentang sejarah Tumang yang menjadi sentra perajin logam tembaga dan kuningan di Desa Cepogo, Kecamatan Cepogo, Kabupaten Boyolali pada Selasa (10/1/2023) siang.

“Jadi ketika orang mendengar nama Tumang itu langsung ke sentra kerajinan logam. Sebenarnya waktu itu ada tiga kerajinan di sini, kerajinan tembaga belum sampai kuningan. Itu namanya kerajinan sayangan, membuat alat rumah tangga. Kemudian kerajinan batik, dan kerajinan kemasan atau membuat perhiasan dari emas,” jelas Mawardi yang akrab disapa Dipo.

Promosi Pegadaian Buka Lowongan Pekerjaan Khusus IT, Cek Kualifikasinya

Seiring waktu berjalan, ungkap Kades Mawardi, kerajinan batik dan kemasan menjadi hilang. Tinggal kerajinan sayangan atau membuat alat rumah tangga dari tembaga yang masih bertahan.

Selanjutnya, sekitar 1980-an produk tersebut tersaingi dengan produksi alat rumah tangga dari pabrik yang berbahan aluminium.

Dipo menceritakan warga pada 1980-an memutar otak untuk terus bertahan di tengah gempuran pabrik yang memproduksi produk serupa. Akhirnya, warga beralih membuat peralatan pernikahan, kaligrafi, dan kerajinan lainnya yang memiliki nilai seni.

“Jadi ada yang menatah begitu, ada juga seniman semacam Sapto Hudoyo. Lalu ada dinas instansi dari Kabupaten Boyolali, waktu itu Dinas Perindustrian yang membina di sini dan membantu mengembangkan. Akhirnya banyak meminta vas bunga yang pakai ukiran, dan lain-lain,” ujar dia.

Selanjutnya, ia mengungkapkan pada awal 2000-an, pembeli dari Bali dan Jakarta banyak yang tertarik untuk membeli produk kerajinan dari Tumang. Usut punya usut, ternyata pembeli dari Bali dan Jakarta mengekspor kerajinan dari Tumang ke luar negeri.

“Dari sana, banyak permintaan pasar untuk membuat banyak hal. Jadi perajin di sini akhirnya mengikuti kemauan pasar. Ada yang jadi lampu hotel, tempat sabun berlapis tembaga, dan lain-lain,” kata Dipo.

Kemudian, pernah juga turis asing langsung datang ke Tumang. Mereka menginginkan barang-barang yang bisa diekspor seperti bathtub, teko, cangkir, dan sebagainya. Dipo mengatakan barang kerajinan dari Tumang telah diekspor hampir di seluruh dunia.

Beberapa juga yang dilayani masyarakat seperti pembuatan pintu dan kubah menyerupai Masjid Nabawi. Barang-barang kerajinan logam dari Tumang, ungkap Mawardi, dikirim dari Sabang sampai Merauke jika di Indonesia.

“Akhirnya jadi kerajinan yang sifatnya hiasan dan ada unsur seni. Akhirnya bisa harganya lebih tinggi. Kemudian juga sudah tidak hanya tembaga, tapi ada juga kuningan, besi, di sini bisa,” jelasnya.

Kades Cepogo tersebut mengungkapkan terdapat sekitar 9.000-an warga di desanya, 50 persen warganya menggantungkan hidupnya di kerajinan logam. Sisanya seperti bertani, menjadi pegawai negeri, dan lain-lain.

“Jadi separuhnya dari warga sini bekerja di sektor kerajinan logam, entah jadi pengrajin, pemasok plat tembaga, penjual, dan lain-lain. Kalau perajin sendiri, yang murni, di sini ada 2.000-an orang,” kata dia.

Sementara itu, salah satu warga Tumang Kukuhan, Fathul Mahally, mengungkapkan dirinya warga yang sejak lahir berada di Tumang. Ia mengungkapkan sejak dia lahir 41 tahun lalu telah akrab dengan kerajinan logam karena mayoritas di dukuhnya menjadi perajin logam.

Saat ini, ia memilih menjadi pemasok pelat logam bagi perajin logam Tumang. Terkait sejarah Tumang, ia mengaku tak paham pasti.

Namun, ia mendengar terkait keberadaan Tumang sebagai sentral kerajinan logam berawal dari Kyai Rogosasi.

“Biasanya pande besi itu kan dekat keraton, tapi mengapa kok di sini yang letak geografisnya tinggi kok ada pande tembaga. Mungkin karena sesepuhnya Mbah sini terkait dengan keraton,” kata dia.

Lebih lanjut, pria yang belasan tahun menjadi pemasok pelat logam tersebut berharap industri kerajinan logam di Tumang berjalan terus menerus dan selalu ada pesanan.

“Kalau kerajinan berdampak terus, ini akan berdampak ke sektor lain. Misal yang jualan makanan matang jadi laku. Contohnya ketika kerjaan di kerajinan ada terus, lembur, enggak sempat masak, jadinya nanti beli di jualan makanan matang,” kata dia.

Asal Usul

Sementara itu, mengenai asal usul penamaan Tumang, kata Dipo, memiliki dua versi yaitu  berasal dari hantu kemamang dan tempat pembakaran mayat bernama patumangan.

“Kalau yang hantu kemamang itu kaitannya dengan mistis. Jadi hantu itu semacam api, apinya bisa membelah jadi dua, dua jadi empat, empat jadi delapan, dan kelipatannya. Kemudian ada juga patumangan yang artinya tungku, itu tempat pembakaran mayat,” jelasnya saat ditemui di Balai Desa, Selasa.

Ia menjelaskan, pada waktu itu mayoritas masyarakat menganut agama Hindu, sehingga terdapat upacara pembakaran mayat seperti Ngaben di Bali.

Lebih lanjut, terkait pendiri Dukuh Tumang, lanjut dia, tak bisa terhindarkan dari perjalanan Kyai Rogosasi atau Ki Ageng Rogowulan.

Dipo menceritakan awalnya Kyai Rogosasi merupakan putra pertama dari Amangkurat I dan permaisuri Ratu Labuhan. Akan tetapi, karena Kyai Rogosasi terlahir tidak sempurna, akhirnya ditukarkan.



Rogosasi kemudian diasingkan dan dijauhkan dari kehidupan kerajaan. Dipo menjelaskan akhirnya Kyai Rogosasi hidup bersama Kyai Kajor di lereng Gunung Merapi. Kemudian berganti-ganti guru, akan tetapi Rogosasi semasa hidupnya selalu belajar ilmu agama.

Selanjutnya, ungkap Kades Cepogo, Rogosasi mendirikan pemukiman sekaligus pakuwon yang saat ini daerah tersebut dikenal dengan nama Dusun Tumang.

“Kalau yang awal mulanya Tumang itu ya sekitar kantor desa ini, itu yang Tumang. Sekitar sini,” jelasnya.

Awal Mula Sentra Kerajinan Logam

Dipo bercerita semasa masih memerintah, Amangkurat I mengirimkan seorang ahli keris, Empu Supandrio, ke pemukiman Kyai Rogosasi. Empu Supandrio diberikan misi untuk mencari keberadaan dan kebenaran adanya Kyai Rogosasi.

Jika benar bertemu dengan Kyai Rogosasi, Empu Supandrio dilarang untuk kembali ke istana dan diminta mengabdi kepada Kyai Rogosasi.

Setalah tinggal bersama warga Dukuh Tumang, jelas Dipo, keahlian Empu Supandrio membuat senjata seperti keris, tombak, dan lain-lain tidak terpakai.

Kemudian, Empu Supandrio tidak lagi membuat senjata. Akan tetapi membuat peralatan rumah tangga. Ia pun kemudian menularkan keahliannya kepada masyarakat sekitar.

“Untuk waktu Empu Supandrio ke sini kapan, saya tidak tahu pastinya, tapi yang jelas semasa Amangkurat I jadi sekitar 1619 – 1977,” ujarnya.

Lebih lanjut, masyarakat di Tumang akhirnya memiliki keahlian membuat alat-alat masak rumah tangga. Menurut Dipo, nama Tumang akhirnya lebih dikenal dibanding Desa Cepogo karena sudah menjadi khas tersendiri.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya