SOLOPOS.COM - Masjid Agung Surakarta/Solo. (kemdikbud.go.id)

Solopos.com, SOLO–Masjid Agung Surakarta yang berlokasi di Kauman, Kecamatan Pasar Kliwon, Kota Solo, Jawa Tengah, merupakan salah satu bangunan bersejarah yang telah ditetapkan sebagai Cagar Budaya Nasional Bangunan. Keberadaan masjid berusia lebih dari 250 tahun itu memiliki ikatan historis dengan dinasti Mataram Islam, seperti halnya Keraton Sala atau Solo.

Menurut Babad Giyanti, Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat didirikan pada masa pemerintahan Raja Susuhunan Pakubuwono (PB) II. Keraton dibangun mengikuti pola keraton sebelumnya yaitu Keraton Kartasura yang porak-poranda akibat pemberontakan.

Promosi Lebaran Zaman Now, Saatnya Bagi-bagi THR Emas dari Pegadaian

Dinasti Mataram Islam diawali dari Kotagede, Daerah Istimewa Yogyakarta, sebelum 1625. Dari Kotagede, ibu kota Mataram Islam dipindahkan ke Pleret (1625-1677). Pemberontakan Trunajaya memaksa raja memindahkan lagi pusat pemerintahan dari Pleret ke Kartasura (1677-1745). Lagi-lagi, ibu kota Keraton Kartasura juga dialihkan ke Sala atau Surakarta lantaran pecah peristiwa Geger Pecinan.

Dalam pembangunan ibu kota kerajaan yang didahulukan adalah pendirian keraton disusul kelengkapan yang lain. Keraton Surakarta mulai dibangun pada tahun 1743 dan diresmikan pada 17 Februari 1745 atau 17 Suro 1670. Sedangkan dari prasasti yang ada di dinding luar ruang utama Masjid Agung Surakarta diketahui bahwa masjid ini dibangun mulai tahun 1757 dan selesai diperkirakan pada 1768.

masjid agung solo surakarta
Masjid Agung Surakarta/Solo di masa lalu. (masjidagungsolo.com)

Mengutip laman masjidagungsolo.com, Jumat (15/9/2023), berdasarkan memori kolektif sebagian warga Kartasura dan Surakarta sebagaimana dikutip arkeolog Inajati Adrisijanti, bahan bangunan Masjid Agung Kartasura ikut dibawa pindah ke Surakarta. Sesuai tradisi Islam, andil setiap orang dalam pembangunan masjid memang tak boleh diabaikan, bahkan meskipun masjid itu dipindahkan.

Tradisi lisan yang menyatakanMasjid Agung Kartasura dibawa ke Sala dinilai masuk akal dan relevan. Alasan pertama, artefaknya (kayu) dianggap sakral oleh masyarakat dan meniru pola Masjid Agung Demak sebagai acuan sehingga tidak boleh dicampakkan begitu saja kendati ibu kota sudah porak-poranda. Kedua, komponen masjid adalah syarat utama bagi siapa pun yang hendak mendirikan kerajaan dinasti Mataram Islam baru.

Ketiga, masjid sebagai simbol konkret raja memegang politik pengislaman yang diperkuat dengan gelar Sayidin Panatagama Kalipatullah. Keempat, bangunan Masjid Agung Kartasura tidak permanen alias terbuat dari kayu, sehingga konstruksi kayu masjid bisa ikut dipindahkan ke Surakarta.

Pedoman Membangun Masjid

Mengutip laman surakarta.go.id, Masjid Agung Surakarta dirancang sama bentuknya dengan Masjid Demak, berbentuk joglo dan beratap tajuk susun tiga yang melambangkan kesempurnaan kaum muslim dalam menjalani kehidupannya, yakni Islam, iman, dan ihsan (amal). Hal ini tak dapat dipisahkan dari persepsi umat Islam Jawa atas Masjid Demak sebagai pusaka tak ternilai, sehingga menjadi pedoman membangun masjid.

masjid agung solo
Saka guru di Masjid Agung Surakarta/Solo. (masjidagungsolo.com)

Nining Sumintri (2007) dari Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo dalam skripsi Studi Arsitektur Bangunan Masjid Agung Surakarta menjelaskan struktur bangunan Masjid Agung Surakarta mengacu pada beberapa budaya antara lain Jawa, budaya Islam, dan Persia.

“Struktur bagunan Masjid Agung Surakarta yang mengacu pada budaya Islam dapat terlihat jelas pada bentuk atap ruang utama yang digunakan untuk tempat salat. Bentuk atap masjid mengacu bentuk bangunan rumah tradisional Jawa yang bernama tajuk bersusun tiga atau tajuk lawakan lambang teplok yaitu bagian puncak tiangnya langsung disangga saka guru dan bagian atasnya terdapat mustaka,” jelasnya.

Dia mengamini bentuk atap bersusun tiga melambangkan pokok tuntunan Islam yakni iman, Islam dan ihsan. Sedangkan struktur bangunan Masjid Agung Surakarta yang mengacu pada budaya Persia terdapat pada gapura yang berbentuk pelengkung patah dan struktur banguan yang mengacu budaya Jawa pada bentuk ornamen seperti wajikan, sulur, ikal kepala naga, praba, flora, dan putri mirong.

Kembali mengutip laman resmi Pemkot Solo, tembok gapura Masjid Agung Surakarta sangat tebal dengan panjang 25 meter, tinggi 10 meter dan tebal tembok 2 meter. Gerbang ini memiliki tiga pintu, yakni pintu utama diapit oleh dua pintu di samping kiri dan kanan. Ketiga pintu gapura dilengkapi dengan daun pintu teralis besi berwarna biru muda, yang menjadi ciri khas warna keraton.

Gapura utama mempertemukan Kompleks Masjid Agung dengan kawasan Alun-alun Utara Keraton Surakarta Hadiningrat. Gapura yang menghadap ke timur dan membujur ke selatan-utara ini adalah gerbang utama bergaya Persia, yang mengalami perombakan di era Pakubuwono X (1893-1939). Pembangunan gapura utama selesai pada tahun 1901.

masjid agung surakarta solo
Gapura Masjid Agung Surakarta/Solo. (surakarta.go.id)

Pada gapura utama ini terdapat beberapa simbol berupa relief dari panel kayu, yang dipasang di atas masing-masing pintu. Pada bagian atas pintu tengah atau pintu utama, terdapat relief dari kayu yang menggambarkan bumi, bulan, bintang dan matahari dengan mahkota raja di atasnya. Sementara pada pintu selatan dan utara terdapat panel kayu berhias doa dalam huruf Arab.

Kutab Minar India

Masjid Agung Surakarta memiliki menara yang digunakan untuk mengumandangkan azan. Hasna Dzaki Asasi dan Hot Marangkup Tumpal Sianipar dari Universitas Gadjah Mada dalam penelitian Arsitektur Masjid Agung Surakarta sebagai Wujud Akulturasi Budaya menyebut menara azan yang posisinya berada di sebelah timur laut masjid memiliki gaya arsitektur yang terinspirasi dari Kutab Minar di New Delhi, India.

Menara dengan ketinggian 33 m ini dibangun pada masa Pakubuwono X. Pembangunan menara ini dimulai tahun 1901 dengan biaya sebesar 100.000 gulden. Adapun De Graaf yang dikutip Adityaningrum et.al (2019) mengajukan pendapat cetak biru bangunan masjid Indonesia tidak berdasarkan atas bangunan yang ada di Indonesia namun dari bentuk masjid-masjid yang berada di daerah Gujarat (India).

Pengaruh arsitektur India terlihat pada penggunaan elemen-elemen yang ada seperti garis simetris, elemen selang-seling pada menara, serta penggunaan ornamen pada setiap peralihan. Namun, menurut Yuniati (2017) terdapat beberapa perbedaan  yakni material Kutab Minar adalah batu bata merah yang disusun satu per satu sedangkan material pada menara azan Masjid Agung Surakarta adalah beton bertulang.

Masjid Agung Solo
Tangkapan layar halaman depan Masjid Agung Keraton Surakarta atau Masjid Agung Solo. (Youtube Espos Indonesia)

Di masa lalu, fungsi masjid bukan sekadar ruang ibadah masyarakat, tetapi mengandung nilai filosofis tata ruang kota dan ekspresi hegemoni kerajaan tradisional Jawa terhadap agama Islam. Masjid Agung dijadikan simbol politis Susuhunan Paku Buwono memegang kekuasaan di bidang agama, yang diperkuat dengan gelar Sayidin Panatagama Khalifatullah serta membawahi abdi dalem yang bermukim di Kauman.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya