SOLOPOS.COM - Salah satu bangunan kuno bergaya kolonial di Boyolali. (kebudayaan.kemdikbud.go.id)

Solopos.com, BOYOLALI — Di pusat kota Kabupaten Boyolali masih dijumpai beberapa bangunan kuno peninggalan era kolonial Belanda. Hal itu tak lepas dari sejarah Boyolali sebagai daerah yang dekat dengan dua kerajaan yaitu Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta.

Dengan kondisi itu, Boyolali tak luput dari jejakan kaki kolonial Belanda. Ditambah lagi tanah Boyolali yang subur sangat menguntungkan bagi orang Belanda untuk membuka perkebunan di wilayah ini.

Promosi Selamat! Direktur Utama Pegadaian Raih Penghargaan Best 50 CEO 2024

Keberadaan orang-orang Belanda di Boyolali meninggalkan jejak berupa bangunan-bangunan bergaya Eropa. Dilansir kemdikbud.go.id, keberadaan gedung-gedung lawas di Boyolali ini tidak lepas dari adanya kebijakan yang dibuat pemerintah Kasunanan Surakarta.

Salah satunya pembentukan Kabupaten Gunung Pulisi yang kemudian berkembang menjadi Kabupaten Pangreh Projo bersamaan dengan terbentuknya pengadilan Pradoto. Kabupaten Gunung Pulisi eksis pada tahun 1840-1918 yang dilatarbelakangi merosotnya pemerintahan PB IV.

Kasunanan Surakarta terikat janji dengan Gubernur Jenderal Daendels pada 1809 dengan salah satu isi perjanjiannya yang pembangunan loji di Boyolali dan perbaikan jalan Surakarta-Semarang dan jalan Surakarta-Yogyakarta harus ditanggung oleh Sunan PB IV.

Perbaikan jalan dan jembatan oleh Sunan membuat didirikannya pos-pos keamanan yang berfungsi untuk mengamankan lalu lintas barang di Surakarta. Pos-pos ini didirikan di enam kabupaten yaitu Kabupaten Kota Surakarta, Kartasura, Klaten, Boyolali, Ampel, dan Sragen.

Semua wilayah ini dipimpin seorang Bupati Gunung Pulisi yang berada di bawah perintah patih kerajaan. Kemudian dibentuklah Asisten Residen dan Peradilan Perdata Kabupaten Pangreh Praja bersamaan dengan pembentukan Pengadilan Pradata Kabupaten yang dipimpin Tumenggung Pulisi.

Kabupaten Gunung Pulisi berkembang menjadi Kabupaten Pangreh Praja bersamaan dengan pembentukan Pengadilan Pradata dan Asisten Residen di kabupaten-kabupaten tersebut. Lembaga tersebut dipimpin oleh Patih Kerajaan.

Makam Kerkhof Dezentje

Pada 1873, terjadi pembagian daerah yang lebih kecil dinamakan distrik. Terdapat lima distrik di wilayah Kabupaten Boyolali, yaitu Boyolali, Tumang, Banyudono, Koripan, dan Jatinom. Karena kebijakan tersebut, mulai dibangun pula beberapa bangunan terutama di kompleks Pulisen.

Bangunan kuno bergaya kolonial yang dibangun pada masa penjajahan Belanda di Boyolali antara lain:

1. Pos-pos keamanan seperti benteng dan tangsi tentara pada tahun 1914

Bentengnya diberi nama Benteng Renovatum yang dulunya berdiri di wilayah yang saat ini difungsikan sebagai Taman Kota Sono Kridanggo. Tangsi tentara masih berdiri hingga saat ini tepatnya di Jl Melati, di belakang Gedung Bank Jateng Boyolali.

2. Pelayanan kesehatan yang selama abad ke-19 dipercayakan sepenuhnya kepada pelayanan kesehatan militer

Bangunan yang dulunya merupakan fasilitas pelayanan kesehatan kini difungsikan sebagai Gedung Dinas Kesehatan Boyolali dan Kantor Asuransi Bringin Life.

3. Pengadilan yang dulunya berdiri tepat di sebelah selatan Gedung Bank Jateng Boyolali.

4. Kepatihan, kini difungsikan sebagai Bank Bumi Daya Cabang Boyolali.

5. Rumah Asisten Wedono, kini difungsikan sebagai Rumah Sakit Natalia.

6. Tempat hiburan yang kini difungsikan sebagai Gedung Bank Jateng Boyolali.

Selain bangunan yang kini sebagian difungsikan sebagai kantor, jejak kolonial Belanda di Boyolali juga tampak pada bangunan makam Kerkhof Dezentje. Mengutip boyolali.go.id, makam tersebut dibangun pada 1839.

Lokasinya saat ini ada di Desa Candi, Kecamatan Ampel, Boyolali. Berdasarkan buku Djocja Solo, Beeld van Vorstenlanden karangan Bruggen dan Wassing, keluarga Dezenjte merupakan pemilik perkebunan yang amat disegani di wilayah Surakarta raya.

Tanahnya mencakup hampir separuh wilayah Kabupaten Boyolali yang sekarang. Usaha perkebunan keluarga itu dirintis Johannes Augustinus Dezentje (1797-1839 ) pada tahun 1810-an yang menjadikannya pionir perkebunan di tanah Vorstenlanden.

Tinus, demikian ia dikenal, meninggal pada 7 November 1839 pada usia 42 tahun. Ia mewariskan lahan perkebunan seluas 1.275 hektare. Kejayaan keluarga Dezentje di Bumi Vorstenlanden berlalu bersama waktu.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya