SOLOPOS.COM - Gedung Giri Cahaya Wonogiri, yang bakal dibongkar dan dibangun menjadi Mal Pelayanan Publik (MPP) Wonogiri. Foto diambil Kamis (26/5/2022). (Solopos.com/Luthfi Shobri Marzuqi)

Solopos.com, WONOGIRI — Wonogiri pernah memiliki beberapa gedung bioskop di era 1970-1990-an. Salah satunya yang paling besar adalah bioskop Giri Cahaya atau Giri Cahaya Theater yang berlokasi di Sukorejo, Kelurahan Giritirto, Kecamatan/Kabupaten Wonogiri.

Pada 2022 lalu, gedung yang sempat berfungsi sebagai gedung pertemuan setelah bioskop tutup itu dibongkar karena Pemkab ingin membangun Mal Pelayanan Publik (MPP) di lahan seluas 2.900 meter persegi tersebut.

Promosi Beli Emas Bonus Mobil, Pegadaian Serahkan Reward Mobil Brio untuk Nasabah Loyal

Berdasarkan data yang dihimpun Solopos.com, Bioskop Giri Cahaya awalnya bernama Bioskop Giri Jaya. Perubahan nama menjadi Giri Cahaya terjadi saat bioskop itu dikelola oleh Hartono Adi Noegroho.

Saat dikelola Hartono pada dekade 1980-an, Bioskop Giri Cahaya mencapai masa kejayaan. Sejumlah judul film terkenal biasa diputar di bioskop tersebut antara lain Tutur Tinular, Wiro Sableng, hingga Rambo.

Pemerhati sejarah bioskop, Ari Headbang, saat diwawancarai Solopos.com, pada Mei 2022 lalu, mengaku masih menyimpan tiket menonton film di Bioskop Giri Cahaya Wonogiri. Saat itu ada pembagian kelas karcis untuk anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), pelajar, dan reguler.

Anggota ABRI, tentara atau polisi, mesti menunjukkan kartu anggota mereka untuk mendapatkan karcis khusus ABRI yang harganya lebih murah dibanding karcis penonton reguler.

“Begitu juga dengan karcis pelajar, oleh pengelola bioskop biasanya dibuatkan jadwal jam pertunjukan khusus. Biasa dinamakan show pelajar,” kata Ari.

4.000 Penonton per Hari

Menurut Ari, Giri Cahaya masuk bioskop kelas II atau III. Status golongan itu membuat Bioskop Giri Cahaya Wonogiri dijulukinya bioskop pemutar film balen. Film balen yakni film lawas yang pernah diputar di Bioskop Kelas I.

Jeda waktu pemutaran film baru di bioskop kelas I dengan bioskop kelas II atau III, menurut Ari, cukup lama, bisa tahunan. Hal itu karena kopian film terbata dan reel film berkeliling ke bioskop-bioskop se-Jawa Tengah. “Apalagi kalau film laris atau box office, bisa lama menunggu antreannya,” kata dia.

Ari mengaku tak tahu persisnya kapan kali terakhir Bioskop Giri Cahaya Wonogiri memutar film. Ia memperkirakan hal itu terjadi awal 2000-an. Selepas itu, Giri Cahaya menjadi gedung pertemuan dan disewakan untuk tempat hajatan, bazar buku, hingga penjualan baju-baju impor.

Sementara itu, berdasarkan wawancara Solopos.com dengan pasangan suami istri mantan pegawai Gedung Bioskop Giri Cahaya, Sri Untari dan Suyatno, pada 2017 lalu, bioskop itu resmi ditutup pada akhir dekade 1990-an.

Pada masa kejayaan Bioskop Giri Cahaya pada 1980-an, Sri bekerja sebagai petugas penyobek karcis saat penonton masuk gedung. Sedangkan Suyatno sebagai operator pemutar proyektor.

Sri Untari bercerita pada masa itu dalam sehari bioskop di tengah kota Wonogiri itu bisa memutar empat film. Apalagi saat Sabtu dan Minggu, ada lima film yang diputar. “Dalam satu hari, ada 4.000 orang yang keluar-masuk gedung bioskop,” kenang dia.

Sri juga masih ingat harga tiket masuk Giri Cahaya Theatre. Terdapat tiga kelas dalam bioskop di Wonogiri tersebut. Tiket masuk untuk kelas I seharga Rp400, kelas II dan kelas III masing-masing seharga Rp200 dan Rp100. “Beda cerita kalau film yang diputar merupakan film baru. Tiketnya saat itu seharga Rp700,” sambungnya.

Pamor Meredup

Sementara Suyatno bercerita dekade 1980-an merupakan masa kejayaan Giri Cahaya Theatre. Sang pemilik saat itu, Hartono Adi Noegroho, membuka dua bioskop di kawasan Kelurahan Giritirto, Kecamatan Wonogiri, dan tiga bioskop masing-masing di Pracimantoro, Baturetno, dan Jatisrono. Jadi total ada empat kecamatan yang punya bioskop saat itu.

Sementara itu salah satu anggota Staf Kantor Giri Cahaya Theatre, Mulyadi, mengatakan sebelum dikelola Hartono Adi Noegroho sebagai gedung bioskop, gedung tersebut juga dipakai sebagai gedung bioskop bernama Giri Jaya pada dekade 1970-an.

“Saat berjaya, ada sekitar 14 orang yang bekerja di Giri Cahaya Theatre. Sedangkan bioskop lain di kawasan Kelurahan Giritirto dan kecamatan paling hanya delapan orang,” sambungnya.

Kejayaan bioskop di Wonogiri perlahan meredup seiring pada akhir dekade 1980-an dengan tren televisi menayangkan film-film yang juga diputar di bioskop. Ditambah munculnya teknologi cakram laser dan kaset video beberapa waktu kemudian.

VCD juga mengambil alih peran bioskop sebagai tempat eksklusif menyuguhkan film. Lambat laun, bioskop ditinggalkan penikmat setianya. Satu per satu bioskop di tiga kecamatan gulung tikar. Kedua bioskop di Kelurahan Giritirto juga ditutup.

Hanya Giri Cahaya Theatre yang masih setia menunggu pengunjung masuk ke dalamnya pada awal dekade 1990-an. Tapi keadaan juga memaksa Giri Cahaya Theatre akhirnya menyerah.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya