SOLOPOS.COM - Suasana Pasar Ngebong di Kampung Koplak, Kelurahan Siswodipuran, Kecamatan Boyolali, Kabupaten Boyolali, Sabtu (21/1/2023). Pasar Ngebong dulunya adalah area makam keturunan Tionghoa, di sekitarnya juga terdapat kompleks rumah-rumah orang Tionghoa. (Solopos/Ni’matul Faizah)

Solopos.com, BOYOLALI — Meski dipercaya ada sejak 1740, tak banyak yang bisa ditelusuri dari jejak keberadaan orang Tionghoa di Kabupaten Boyolali. Jarang ada bangunan dengan arsitektur khas China atau tempat ibadah (kelenteng).

Hanya cerita mengenai keberadaan makam atau bong China di lahan yang saat ini sudah berubah menjadi Pasar Ngebong di Kampung Koplak, Kelurahan Siswodipuran, Boyolali. Dari penelusuran Solopos.com, Sabtu (21/1/2023), hampir tidak ada sisa bangunan makam di pasar tersebut.

Promosi Beli Emas Bonus Mobil, Pegadaian Serahkan Reward Mobil Brio untuk Nasabah Loyal

Namun, warga Boyolali keturunan Tionghoa, Ali Widjaja, 73, yang memiliki nama lahir Hie Sek Lui, membenarkan dulu di Kampung Koplak, Kelurahan Siswodipuran, yang terletak di depan Pasar Boyolali Kota banyak dihuni orang Tionghoa.

“Di situ memang kompleks orang Tionghoa, tapi ya enggak banyak. Jadi sebagian besar Tionghoa di situ soalnya kebanyakan kan kerjanya swasta, punya toko dan jualan, pasti dekat pasar, dekat keramaian,” katanya saat diwawancarai Solopos.com, Sabtu.

Ali juga mengatakan Pasar Ngebong dulunya adalah area makam warga keturunan Tionghoa yang saat ini berubah menjadi tempat transaksi jual beli. Walaupun terdapat warga keturunan Tionghoa, Ali tak tahu pasti alasan di Boyolali tidak ada kelenteng.

Namun, ia menduga hal tersebut karena Boyolali tidak strategis untuk dibangun kelenteng. Terkait perayaan Tahun Baru Imlek, Ali menjelaskan beberapa warga keturunan Tionghoa di Boyolali yang masih memegang tradisi merayakan ibadah untuk mendoakan leluhur di rumah masing-masing pada malam Tahun Baru Imlek.

Geger Pecinan

“Kalau saya ya intern di keluarga saja, dan ibadah itu bagi yang masih meyakini. Kan sebagian ada yang sudah beragama Kristen, Katolik, atau muslim. Namun, ada juga yang sudah meninggalkan tradisi, ada juga yang masih nguri-uri kebudayaan itu,” jelasnya.

Sedangkan mengenai ketiadaan kampung pecinan di Boyolali, Ali menduga hal itu karena orang keturunan Tionghoa di Boyolali sudah menyebar dan berbaur dengan masyarakat, tidak mengumpul di satu lokasi.

Pegiat sejarah asal Salatiga, Warin Darsono, mengungkapkan berdasarkan catatan yang ada, orang-orang Tionghoa awalnya datang ke Boyolali sebagai pelarian saat Geger Pecinan tahun 1740 di Batavia.

“Sejarah pecinan di Boyolali terkait erat sama Geger Pecinan yang terjadi di Batavia pada 1740. Eksodus orang-orang Cina yang lari ke arah timur untuk menghindari tragedi tersebut, termasuk Boyolali,” ungkapnya kepada Solopos.com, Sabtu (21/1/2023).

Dari itulah, kata Warin, orang-orang Tionghoa bisa tinggal dan menetap di berbagai daerah Jawa Tengah termasuk Boyolali secara turun temurun. Ia mengungkapkan lokasi Pecinan di Boyolali dulunya ada di dekat patung susu atau depan Pasar Boyolali Kota.

Berdasarkan catatan Solopos.com, Pasar Ngebong pernah direvitalisasi pada 2014 menggunakan dana dari APBD Boyolali senilai Rp2,09 miliar. Pasar ini untuk menampung pedagang unggas seperti ayam, burung, dan lainnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya