SOLOPOS.COM - Masjid Arrozi di Dukuh/Desa Tempursari, Ngawen, Klaten, menjadi salah satu masjid tertua yang merekam jejak pergolakan politik Pangeran Diponegoro melawan Belanda. (kebudayaan.kemdikbud.go.id)

Solopos.com, KLATEN — Masjid Arrozi yang terletak di Dukuh/Desa Tempursari, Kecamatan Ngawen, Klaten, menjadi salah satu masjid tertua yang menyimpan cerita sejarah dari masa lampau hampir 200 tahun lalu.

Kabupaten Klaten memang memiliki banyak cerita sejarah baik dari era Kerajaan Hindu, Buddha, hingga Mataram Islam. Cerita-cerita sejarah itu tidak hanya berupa cerita atau dongeng, namun terdapat pula bukti-bukti fisik yang menyertai seperti bangunan candi, prasasti, masjid, dan masih banyak lainnya.

Promosi Lebaran Zaman Now, Saatnya Bagi-bagi THR Emas dari Pegadaian

Salah satu peninggalan fisik sejarah itu yakni Masjid Arrozi. Masjid ini konon merekam jejak cerita politik era Kerajaan Mataram Islam dan Perang Diponegoro.

Dalam artikel Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jateng yang dilansir laman kebudayaan.kemdikbud.go.id, diungkapkan Masjid Arrozi di Ngawen, Klaten, didirikan oleh Kyai Imam Razi sekitar tahun 1833 Masehi.

Berdasarkan sejarahnya, bangunan masjid ini didirikan sebagai sarana untuk menyebarkan agama Islam. Didirikannya masjid ini tidak terlepas dari situasi politik serta pemerintahan kala itu.

Diceritakan pada awal abad ke-18, Kerajaan Mataram Islam mengalami kemunduran yang diakibatkan oleh aneksasi VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie). Tindakan aneksasi itu kemudian berujung pada perjanjian yang dikenal sebagai Perjanjian Giyanti.

Akibat perjanjian ini, kekuasaan Kerajaan Mataram terpecah menjadi dua wilayah, yaitu Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta. Golongan bangsawan Keraton kala itu merasa tidak puas dengan kebijakan pemerintah yang menurut mereka terlalu menguntungkan Belanda.

Hingga muncullah beberapa tokoh yang menentang kekuasaan serta kebijakan Kerajaan. Di Kesultanan Yogyakarta, perlawanan salah satunya muncul dari sosok Pangeran Diponegoro. Mengutip p2k.unkris.ac.id, perlawanan Pangeran Diponegoro terhadap Belanda yang dianggap terlalu mencampuri urusan Kerajaan terjadi di era kepemimpinan Hamengku Buwono (HB) V.

Dukungan dari Kasunanan Surakarta

HB V naik takhta di usia tiga tahun dan pemerintahan pada praktiknya dijalankan oleh Patih Danuredjo yang pro Belanda. Perang Pangeran Diponegoro melawan Belanda merambah sampai ke wilayah Kasunanan Surakarta yang saat itu dipimpin Raja Paku Buwono (PB) VI.

PB VI mendukung perjuangan Pangeran Diponegoro. Dukungan terhadap Pangeran Diponegoro juga datang dari seorang ulama yang sangat terkenal dari Mojo. Ulama itu bergabung dengan pasukan Pangeran Diponegoro.

Salah satu anggota pasukan tersebut adalah seorang murid dan juga keponakan Kyai Mojo, yaitu Imam Razi. Imam Razi berperan sebagai manggalayuda yang memimpin pasukan perlawanan di daerah Klaten. Selain itu, Imam Razi juga menjadi penghubung rahasia antara PB VI dan Pangeran Diponegoro di Gua Selarong.

Atas jasa-jasanya, Imam Razi dinikahkan dengan adik sepupu PB VI yang bernama RA Sumirah dengan gelarnya Nyai Kedung Kubah. Kemudian Kyai Imam Razi juga diberi hadiah tanah perdikan di Desa Tempusari, Klaten, seluas kurang lebih 1.450 meter persegi.

Di tanah itulah Imam Razi mendirikan masjid yang hingga kini masih berdiri dan diberi nama Masjid Arrozi. Masjid ini berada di dalam kompleks yang terdiri dari tiga bangunan, yaitu bangunan masjid yang terletak di bagian tengah.

Kemudian, makam yang terletak di sebelah barat atau di belakang masjid, serta bangunan madrasah yang terletak di sebelah timur atau depan masjid.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya