Soloraya
Jumat, 31 Maret 2023 - 13:17 WIB

Jejak Sunan Pandanaran, Eks Adipati Semarang yang Jadi Penyebar Islam di Klaten

Suharsih  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Gerbang makam Sunan Bayat atau Pandanaran. (Youtube.com)

Solopos.com, KLATEN — Di Desa Paseban, Kecamatan Bayat, Klaten, ada makam sosok penyebar agama Islam yakni Sunan Pandanaran yang jadi jujugan para peziarah dari berbagai daerah di Tanah Air.

Bulan Sadran, bulan sebelum Ramadan menjadi salah satu momen paling ramai peziarah di kompleks makam tersebut. Pada bulan itu pula pemerintah dan masyarakat desa setempat mengadakan tradisi sadranan yang terdiri atas serangkaian kegiatan yang puncaknya pada 27 Ruwah.

Advertisement

Rangkaian kegiatan itu di antaranya mengganti mori, lalu malam midodareni (malam 27 Ruwah) diisi penampilan laras madya dan macapat. Pada 27 Ruwah pagi ada kirab gunungan dari balai desa menuju Bukit Jabalkat yang merupakan lokasi Makam Sunan Pandanaran.

Sorenya ada pertunjuka Reog dan malamnya pentas wayang. Tradisi ini sudah berlangsung secara turun temurun. Mengutip visitklaten.com dan visitjawatengah.jatengprov.go.id, Makam Sunan Pandanaran di Klaten terkenal di kalangan para peziarah karena merupakan salah satu tokoh penyebar agama Islam di daerah Tembayat pada zaman Kerajaan Demak.

Advertisement

Sorenya ada pertunjuka Reog dan malamnya pentas wayang. Tradisi ini sudah berlangsung secara turun temurun. Mengutip visitklaten.com dan visitjawatengah.jatengprov.go.id, Makam Sunan Pandanaran di Klaten terkenal di kalangan para peziarah karena merupakan salah satu tokoh penyebar agama Islam di daerah Tembayat pada zaman Kerajaan Demak.

Ia juga merupakan murid Sunan Kalijaga, salah satu Wali Songo. Sunan Pandanaran punya nama lain yakni Susuhunan Tembayat, Pangeran Mangkubumi, Wahyu Widayat atau Sunan Bayat.

Sunan Pandanaran atau Sunan Bayat diyakini hidup pada sekitar abad ke-16. Ia berjasa besar dalam penyebaran agama Islam di Jawa, walaupun tidak termasuk dalam Wali Songo.

Advertisement

Sepeninggal Ki Ageng Pandan Arang, Pangeran Mangkubumi menggantikan ayahnya sebagai bupati Semarang yang kedua. Dikisahkan pada awalnya Pangeran Mangkubumi menjalankan amanah memerintah dengan baik dan selalu patuh pada ajaran-ajaran Islam seperti ayahnya.

Namun seiring waktu, Pangeran Mangkubumi berubah. Amanah pemerintahan sering dilalaikan, begitu juga amanah merawat pondok-pondok pesantren dan tempat-tempat ibadah.

Falsafah Patembayatan

Mengetahui hal itu, Sultan Demak Bintara mengutus Sunan Kalijaga dari Kadilangu, Demak, untuk segera menyadarkan Pangeran Mangkubumi. Atas upaya Sunan Kalijaga, sang bupati pun menyadari kelalaiannya, lalu memutuskan mengundurkan diri dan menyerahkan kekuasaan dan pemerintahan Semarang kepada adiknya.

Advertisement

Pangeran Mangkubumi kemudian pindah ke selatan, didampingi istrinya, melalui kawasan yang sekarang diberi nama Mojosongo, Boyolali, Salatiga, Sela Gringging dan Wedi. Konon, Pangeran Mangkubumi lah yang memberi nama tempat-tempat tersebut.

Pangeran Mangkubumi lalu tinggal di Tembayat, yang saat ini bernama Bayat, Klaten, dan menjadi penyebar agama Islam di sana kepada para pertapa dan pendeta di sekitarnya. Pangeran Mangkubumi mampu meyakinkan mereka agar memeluk agama Islam. Oleh sebab itu Pangeran Mangkubumi disebut sebagai Sunan Tembayat atau Sunan Bayat.

Cerita hampir serupa juga diungkapkan di laman nu.or.id yang menyebut Sunan Bayat dulunya merupakan mantan Adipati Semarang yang kemudian menjadi murid dari Sunan Kalijaga. Sunan Bayat atau Sunan Pandanaran berjasa menyebarkan ajaran Islam dengan budaya dan pemberdayaan umat.

Advertisement

Pendekatan budaya yang dilakukan Sunan Pandanaran, dapat dilihat dari kompleks sekitar permakamannya yang bangunannya seperti candi. Hal itu menunjukkan Sunan Bayat berdakwah dengan memadukan budaya lokal.

Sunan Bayat juga mengajarkan falsafah “patembayatan” yang merupakan cikal bakal nama “Bayat” dan berarti musyawarah atau gotong-royong. Selain itu, dalam berdakwah Sunan Bayat juga memikirkan segi pemberdayaan umat dengan mengembangkan batik, keramik dan gerabah di Bayat dan sekitarnya.

Karenanya tak mengherankan jika Bayat dan sekitarnya sampai sekarang menjadi sentra industri batik, keramik, dan gerabah.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif