Solopos.com, SOLO–Selvi Ananda bersama Gibran Rakabuming Raka bakal melakukan tradisi ziarah makam leluhur atau nyadran menjelang Ramadan 2023.
Selvi mengatakan tradisi nyadran biasanya dilakukan sebelum Bulan Puasa. Selvi belum tahu kapan, namun tradisi itu dilakukan setiap tahun.
Promosi Pegadaian Resmikan Masjid Al Hikmah Pekanbaru Wujud Kepedulian Tempat Ibadah
Adapun tradisi Nyadran selalu dilakukan bersama suaminya yang juga sebagai Wali Kota Solo. Selvi belum tahu apakah mertuanya, Presiden Jokowi ikut nyadran atau tidak.
“Biasanya sama Mas Gibran saja sih karena kesibukan beda-beda jadwal juga beda-beda,” kata dia ditemui wartawan, Senin (6/3/2023).
Terpisah, Gibran mengatakan ada rencana nyadran mendekati Bulan Puasa. Gibran belum tahu apakah Presiden Jokowi bakal pulang untuk tradisi nyadran.
Institut Agama Islam Negeri Kediri melalui laman resminya menjelaskan nyadran merupakan tradisi unik yang dilakukan oleh masyarakat Jawa secara turun temurun yakni dengan berkunjung ke makam para leluhur untuk berdoa dan membersihkan makam.
Tradisi ini merupakan hasil akulturasi budaya Jawa dan Islam. Dalam bahasa Jawa, Nyadran berasal dari kata sadran yang artinya ruwah syakban.
Nyadran adalah suatu rangkaian budaya yang berupa pembersihan makam leluhur, tabur bunga, berdoa kepada leluhur. Seusai berdoa kepada leluhur, dilanjutkan dengan makan tumpeng bersama.
Tradisi Nyadran ini merupakan cetusan para wali saat menyiarkan agama Islam di tanah Jawa. Tradisi yang diajarkan wali semuanya baik dan mengandung unsur pemersatu untuk setiap perbedaan budaya di tengah masyarakat.
Sebenarnya, nyadran berasal dari tradisi Hindu-Budha. Sejak abad ke-15, para Walisongo melakukan akulturasi tradisi tersebut melalui dakwahnya, agar agama Islam dapat dengan mudah diterima oleh masyarakat.
Semula para wali berusaha meluruskan kepercayaan yang ada pada masyarakat Jawa saat itu tentang pemujaan roh yang dalam agama Islam dinilai musyrik.
Kemudian, supaya tidak berbenturan dengan tradisi Jawa, maka para wali tidak menghapuskan adat tersebut, melainkan menyelaraskan dan mengisinya dengan ajaran Islam, yaitu dengan pembacaan ayat Al-Qur’an, tahlil, dan doa.
Nyadran dipahami sebagai bentuk hubungan antara leluhur dengan sesama manusia dan dengan Tuhan. Tradisi nyadran dilaksanakan setahun sekali.