SOLOPOS.COM - Warga berebut jenang dalam acara Festival Jenang Solo di Koridor Ngarsapura Solo. Acara itu juga bertepatan dengan hari ulang tahun Kora Solo, Sabtu (17/2/2024). (Solopos.com/Dhima Wahyu Sejati)

Solopos.com, SOLO — Boyongan atau perpindahan Keraton Mataram dari Kartasura ke sebuah desa bernama Sala (Solo) tidak bisa dilepaskan dari jenang. Pasalnya makanan dengan tekstur yang lembut dan lengket itu dijadikan sebagai sesaji dalam boyongan tersebut.

Perpindahan itu terjadi pada masa pemerintahan Pakubuwana II, tepatnya pada 17 Februari 1745. Momentum itu pula yang kemudian diperingati sebagai hari ulang tahun (HUT) Kota Solo.

Promosi Beli Emas Bonus Mobil, Pegadaian Serahkan Reward Mobil Brio untuk Nasabah Loyal

Pengageng Parentah Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, Kanjeng Gusti Pangeran Haryo (KGPH) Dipokusumo, menjelaskan awal mula perpindahan Keraton dari Kartasura ke Desa Sala melibatkan banyak orang. Untuk mempermudah pemenuhan kebutuhan konsumsinya, pihak Keraton membawa wadah yang berisi berbagai makanan, termasuk tujuh belas jenis jenang.

Tujuh belas jenis jenang itu kemudian dibacakan doa. Bisa dibilang, jenang juga menjadi sesaji sekaligus simbol agar perpindandahan Keraton ke Desa Sala berjalan lancar. Doa yang dipanjatkan, tidak saja demi keselamatan dan kelancaran boyongan, namun juga mendoakan orang-orang yang menjadi penyebab jenang itu ada.

“Misalnya yang menanam [bahan baku], yang masak, dan semuanya yang terlibat. Semua didoakan bersama,” kata dia ketika ditemui Solopos.com di Festival Jenang Solo, Sabtu (17/2/2024).

Meski waktu itu digunakan sebagai sesaji, pada akhirnya jenang menjadi makanan siap saji. Jenang yang mengiringi perpindahan Keraton Mataram Islam ke Desa Sala itu dibagikan kepada ribuan warga.

“Semua makanan tradisional Jawa itu sebenarnya bermula dari sesaji untuk siap saji. Nah siap saji ini kan bahasanya komodifikasi, jadi bisa diangkat sebagai nilai ekonomi,” kata dia 

Makna Simbolis dan Filosofis

Bukan tanpa alasan jenang dijadikan sebagai salah satu makanan yang mengiringi perpindahan Karaton. Sebab  jenang memiliki makna simbolis dan filosofis tentang nilai-nilai kehidupan. Dari wadah sampai bahan baku, semua mempunyai makna.

Misalnya jenang warni sekawan. Jenang yang memiliki empat warna yakni merah, putih, kuning, dan hijau ini memiliki arti tersendiri. Warna merah merupakan simbol amarah, putih adalah simbol nafsu mutmainah, kuning merupakan nafsu lawwamah, dan hijau adalah nafsu supiah. 

Empat pembagian nafsu itu diperkirakan sudah diajarkan bahkan sebelum era Mataram Islam. Nafsu amarah sendiri merupakan nafsu yang bisa membutakan pikiran dan hati manusia. Lalu nafsu mutmainah merupakan nafsu baik yang memiliki aspek spiritual dan kebijakan.

Selanjutnya, nafsu lawwamah merupakan nafsu biologis. Ini merupakan nafsu dasar manusia yang berkaitan dengan makan, minum, dan seksual. Lalu nafsu supiah biasa dikenal dengan istilah nafsu duniawi, selalu berkaitan dengan kekayaan dan kekuasaan.

 “Ini dalam terminologi Islamnya begitu, jadi karakter empat itu, kalau kita lihat dari sejarah masa lampau, kaitannya dengan agama lain yaitu dari bahasa Tri Hita Karana. Jadi empat karakter [berupa nafsu] manusia harus mampu dikendalikan dan diselaraskan,” kata Dipokusumo yang akrab disapa Gusti Dipo.

Cara mengendalikan empat nafsu itu pun juga terjawab dari asal muasal bahan baku jenang. Biasanya bahan membuat jenang berasal dari hasil bumi yang ada di bawah tanah, di tanah, dan di atas tanah. 

Bahan yang terdapat di bawah tanah itu, misalnya ketela, mengandung makna bahwa manusia harus mengerti tentang asal usulnya. Lalu ada pula bahan jenang yang berada di tanah, seperti labu, maknanya adalah manusia harus tahu cara menjalani hidup. 

Sedangkan bahan-bahan yang ada di atas tanah, seperti pisang, memiliki arti bahwa seorang harus mengerti tentang masa depan dan tujuan hidup yang harus dicapai.

Menurut Gusti Dipo, makna asal muasal bahan jenang itu bisa dikaitkan dengan ajaran Jawa yakni sangkan paraning dumadi tentang asal usul manusia. Ajaran itu berkaitan erat terkait asal dan tujuan hidup manusia. 

Makna simbolis juga terkandung dari wadah yang digunakan yakni takir. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mendefinisikan takir sebagai sebuah wadah atau tempat makanan dari daun pisang yang disemat dengan lidi pada kedua sisinya.

Gusti Dipo menjelaskan takir memiliki makna filosofis, yakni akronim dari “takwa” dan “dzikir”, mengajarkan agar orang Jawa selalu mengetahui inti dari ajaran Islam.

Menurutnya jenang memang tidak lepas dari pemaknaan Islami. Hal itu berkat upaya dakwah Sunan Kalijaga. Wajar saja, mulanya jenang merupakan sesaji dari agama Hindu-Buddha. Sunan Kalijaga memodifikasi makna simbolisnya dengan menyisipkan ajaran-ajaran Islam di sana.

“Nah itu sekarang disimbolkan dengan tujuh belas jenis jenang itu, jadi ada makna historis, ada pengertian filosofisnya, termasuk yang dulu dipakai sejati yang sekarang sudah siap saji. Disajikan kepada masyarakat,” kata dia.

Diperingati Setiap Tahun

Jenang merupakan kuliner yang sudah sangat tua, sudah ada ketika Jawa masih terpengaruh oleh Hindu-Buddha. Maka sangat penting untuk terus merawat ingatan masyarakat tentang jenang dan segala makna simbolis dan filosofis yang terkandung.

Pemerhati budaya Solo sekaligus akademis Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Tunjung W. Sutirto, mengatakan jenang merupakan karya budaya Nusantara yang berkembang di masyarakat. Jenang menjadi penanda berbagai fase kehidupan.

“Itulah kemudian oleh Yayasan Jenang Indonesia dilestarikan dalam bentuk Festival Jenang Solo setiap tahunnya. Di situ harus ada 17 macam jenang untuk menandai bagaimana perpindahan Keraton dari Kartasura ke Solo,” kata dia.

Menurutnya, jumlah jenang yang mencapai 17 itu memiliki maksud religius. Angka satu memiliki makna ketuhanan sedangkan angka tujuh merupakan siklus hidup. Siklus hidup yang dia maksud bisa dilihat dari jumlah hari dalam satu minggu dan jumlah tujuh lapis langit. 



Sedangkan angka tujuh belas merupakan hari boyongan yang sekarang menjadi hari jadi Kota Solo. “Jenang itu adalah kehidupan itu sendiri, dalam bahasa Jawa, jenang itu bisa diartikan jannah yang berarti surga,” kata dia.

Tahun ini, Festival Jenang Solo dilaksanakan selain untuk memperingati Hari Ulang Tahun (HUT) ke-279 Kota Solo yang jatuh pada 17 Februari 2024, juga untuk memperingati Mangayubagya Jumenengan KGPAA Mangkunegara X yang ke-2. 

Ketua Dewan Pembina Yayasan Jenang Indonesia, Slamet Rahardjo, mengatakan Festival Jenang Solo sudah menginjak tahun ke-12. Sejak awal, festival itu bertujuan mengajak masyarakat untuk bersukaria dalam rangka ulang tahun Kota Solo.

“Selama ini hanya upacara seremonial. Lewat ini kami mengajak masyarakat terlibat langsung dengan berbagi jenang gratis. Nah kenapa kita memilih jenang, karena jenang itu merupakan makanan yang menyimbolkan rasa syukur kita terhadap Tuhan Yang Maha Esa,” kata dia.

Selain itu, tentu dia ingin merawat ingatan masyarakat tentang jenang yang erat kaitannya dengan kehidupan Jawa. Menurutnya orang Jawa termasuk masyarakat Solo selalu berkomunikasi melalui simbol. 

Termasuk jenang, yang terkadang digunakan untuk sesaji, lalu disantap sebagai makanan siap saji, dan juga menjadi sarana ajaran luhur dan tuntunan diri untuk hidup yang sejati.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya