SOLOPOS.COM - Ilustrasi seseorang mengakses fitur anonymous chat di Telegram. (Solopos.com/Afifa Enggar Wulandari).

Solopos.com, SOLO —  “Waktu Covid-19 [pembelajaran jarak jauh] aku cuma pengin cari teman di Telegram. Tapi malah dikirimi video tidak senonoh. Aku takut banget.”

Kenang R, 15, remaja asal Solo saat mengenang momen yang membuatnya bingung beberapa tahun silam.

Promosi Beli Emas Bonus Mobil, Pegadaian Serahkan Reward Mobil Brio untuk Nasabah Loyal

Ia masih ingat betul ketika mendapat kiriman video sekaligus pesan seksual melalui Telegram. Kala itu, R berusia 12 tahun. Tepatnya, ia baru semester pertama di SMP.

Pembelajaran jarak jauh (PJJ) membuatnya bosan. Ia rindu kawan-kawan sekolah lamanya. Sementara, belum banyak teman baru yang ia kenal.

R lantas iseng menjajal aplikasi pengirim pesan instan multiplatform bernama Telegram. Kala itu, teman-temannya juga sedang gandrung bermain obrolan anonim atau anon (anonymous chat). Obrolan itu menjadi salah satu cara berkomunikasi secara daring tanpa harus mengungkapkan identitas pribadi.

Cara kerja fitur tersebut acak (random). Pengguna tidak bisa memilih siapa teman bicaranya. Fitur tersebut memanfaatkan bot yang ada di Telegram. Dengan hanya mengetik ‘chat bot’ dan memilih ‘Anonymous Chat’, pengguna akan dibawa masuk grup.

R kala itu mengetik ‘/start’ sebagai perintah awal bagi bot untuk mencarikan teman. Sistem lantas memberikan respons ‘looking for a partner’ (mencari teman) hingga ‘partner found’ (teman ditemukan).

Pengguna langsung bisa berkomunikasi atau meminta bot untuk mencarikan teman lainnya.

Setelah beberapa hari mencoba fitur anonymous chat, R mendapat salah satu teman yang mengklaim perempuan. Sebab anonim, R tak tahu identitasnya. R hanya menduga, usia temannya 21 tahun atau terpaut delapan tahun dengannya.

“Hai!” ketik R kepada teman daringnya itu.

Sapaan renyah seorang laki-laki 12 tahun yang ingin mendapat teman maya itu ternyata dibalas dengan pertanyaan bermuatan seksual.

Spontan, R langsung ditanya apakah pernah bermasturbasi?

Gemetar, takut, dan bingung. Itulah yang dirasakan R. Ia buru-buru ingin keluar dari ruang pesan anonim itu. Tapi sebelum berhasil keluar, R justru menerima video seksual dari teman daringnya.

“Aku langsung skip. Tapi sebelum berhasil keluar, orang itu ngirimin aku video pornografi. Takut banget,” katanya kepada Solopos.com.

R memendam perasaannya sendiri. Ia juga enggan bercerita kepada orang tuanya sebab takut dimarahi. Ia khawatir disalahkan jika bercerita kepada orang tua atau rekannya.

Sampai akhirnya R menyelesaikan perasaan itu sendiri. Ia juga akhirnya paham, betapa aplikasi layanan komunikasi gratis yang dianggapnya bisa memberi banyak kemudahan itu berujung pengalaman tak menyenangkan.

Ia mengalami  Kekerasan berbasis gender online (KBGO) atau kekerasan seksual berbasis elektronik (KSBE).

Di sisi lain, R tak bisa meninggalkan aplikasi itu begitu saja. Sebab banyak informasi tentang kompetisi pelajar yang ada di grup-grup Telegram. R Dilema.

R tak sendirian. Hasil Survei Pemenuhan Hak dan Perlindungan Anak pada Masa Pandemi Covid-19 oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menunjukkan setengah dari populasi anak yang disurvei (multiple respon), mengatakan di luar belajar mereka menggunakan gawai untuk chatting teman, menonton YouTube, mencari informasi dan bersosial media.

F, gadis 12 tahun asal Solo juga menjadi korban KBGO lewat fitur anonymous chat. Itu terjadi tak hanya satu kali.

Bahkan ada pengguna yang langsung mengirim foto alat kelamin kepadanya. Niat hati ingin mencari teman terdekat melalui fitur near by, namun ia justru menjadi korban KBGO.

“Banyak yang chat temenin yuk, nyuruh aku buat mencoba [tindakan seksual],” kata F kepada Solopos.com.

Kejadian itu menimpanya Desember 2023 lalu. Tak hanya menjadi korban sexting, F juga menjadi korban sextortion (pemerasan).

Tak hanya Telegram, namun ia juga di Snapchat dan OME TV, sebuah layanan video chat yang memungkinkan pengguna berinteraksi virtual kepada orang-orang di berbagai negara.

“Baru 2024 kejadian [OME TV]. Kalau di Snapchat, dia [pelaku] berkata-kata manis, lama-lama minta aku kirim foto tidak senonoh, aku gak mau tapi dia kekeh,” tuturnya.

F tak langsung percaya dan mengirim foto seksual begitu saja. Berhari-hari pelaku meminta F untuk mengirim. Namun selalu ia tolak.

F lantas bercerita dan meminta dukungan temannya. Ia mengaku beruntung, sebab teman-temannya tak menyalahkan dia namun justru mendukung dan meminta F untuk waspada.

Hingga akhirnya F memutuskan untuk menghapus aplikasi Telegram dan Snapchat.

Kisah R dan F menjadi satu potret betapa anak-anak rentan menjadi korban KBGO.

Salah satunya sexting, bentuk pornografi yang mana pelaku secara terang-terangan mengirimkan materi (video, foto atau pesan) seksual melalui gawai yang terhubung jaringan internet.

Sexting bisa berupa foto telanjang, video ketelanjangan atau seksual, juga pesan verbal yang merujuk pada tindakan seksual.

KBGO atau KSBE, merupakan jenis kekerasan seksual yang menggunakan sarana siber dalam aksi kejinya.



KBGO menjadi hantu di ruang digital.

Dalam pasal 4 UU nomor 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), KSBE merupakan salah satu dari sembilan tindak pidana kekerasan seksual di antaranya pelecehan seksual nonfisik, pelecehan seksual fisik, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan sterilisasi, pemaksaan perkawinan, penyiksaan seksual, eksploitasi seksual, serta perbudakan seksual.

Lebih lanjut, dalam ayat 2 pasal 4 UU TPKS, apa yang menimpa R juga termasuk dalam tindak pidana seksual perbuatan cabul terhadap anak, perbuatan melanggar kesusilaar yang bertentangan dengan kehendak korban dan pornografi yang melibatkan anak.

Selain dampak sesaat, korban KBGO juga mengalami dampak jangka panjang seperti merasa malu, hina, dan marah. Yang lebih parah lagi, mereka bisa mengalami gangguan kecemasan, depresi, dan post-traumatic stress disorder (PTSD).

Ada tiga sisi yang bisa ditilik berdasarkan kisah R. Pertama, kesepian seorang anak sehingga membuatnya butuh teman untuk bercerita dan bersosialisasi. Kedua, rasa ingin tahu terhadap kemudahan teknologi informasi. Ketiga, kerentanan anak menjadi korban pornografi.

Anak Jadi Kelompok Paling Rentan

Direktur Yayasan Kepedulian untuk Anak (Yayasan KAKAK), LSM yang salah satunya fokus dalam isu kekerasan dan eksploitasi seksual anak, Shoim Sahriyati mengatakan anak dan ruang digital tak bisa dipisahkan.

Meski KBGO mengintai siapa saja, namun anak menjadi kelompok yang lebih rentan dibanding orang dewasa. Sebab, ada kondisi psikologis anak yang membuatnya rentan menjadi KBGO.

Misalnya anak yang kurang mendapat kasih sayang dan afirmasi, akan lebih rentan terperangkap dalam modus grooming. Kedua, rasa ingin tahu anak untuk mencoba hal baru mendorong mereka untuk melihat dan menggunakan fitur-fitur media sosial.



“Keduanya [anak dan dewasa] rentan. Tapi anak jelas lebih rentan. Mereka belum punya kemampuan untuk memutuskan apa yang terbaik bagi diri mereka,” kata Shoim saat dihubungi Solopos.com, Minggu (30/6/2024) pagi.

Dari kasus yang didampingi oleh Yayasan Kakak, 80 persennya merupakan KBGO anak. Menurutnya, anak perlu terus diajari cerdas berliterasi digital, juga mengenal apa yang seseorang unggah di media sosial kerap kali tak sama dengan kondisi riilnya.

Hal senada juga disampaikan Manager Divisi Pencegahan Penanganan Kekerasan Berbasis Masyarakat SPEK-HAM, Fitri Haryani. A anak lebih mudah dipengaruhi orang lain.

Apalagi mereka sedang dalam fase eksplorasi, mencari jati diri, dan sedang penuh senang bisa bebas berekspresi di media sosial. Dengan begitu, timpang relasi kuasa juga menjadi bara KBGO anak.

“Relasi timbang anak dan [pelaku] dewasa membuat anak jelas lebih rentan jadi korban,” kata Fitri kepada Solopos.com.

Apa yang dirasakan R dan F juga dirasakan oleh ribuan anak lainnya.

UN Women (entitas PBB untuk kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan) melalui publikasinya berjudul Online and ICT-facilitated violence against women and girls during COVID-19 memotret KBGO terhadap perempuan dan anak selama pandemi Covid-19.

Hasilnya, KBGO (online violence facilitated by ICT) yang menimpa perempuan dan anak perempuan terus meningkat.

Hal ini mencakup ancaman fisik, pelecehan seksual, trolling (memancing) seks, pemerasan seks, pornografi daring, hingga zoombombing (penyusupan dalam video konferensi).



Satu dari lima perempuan Kanada mengalaminya pelecehan daring pada 2018. Di Pakistan, 40 persen mahasiswi mengalami pelecehan di internet atau KBGO pada 2016.

Di Pennsylvania pelecehan daring meningkat tujuh kali lipat selama 1-20 April 2020 dibandingkan dengan periode sama 2019. Di Australia, pelecehan daring dan intimidasi telah meningkat sebesar 50%.

Sementara di Indonesia menurut data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA) Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, dari 2019 hingga 2023 total kasus kekerasan pada anak terus meningkat.

Sebanyak 4,256 kasus kekerasan seksual pada anak terdata sepanjang 1 Januari 2024 – 28 Juni 2024 (sesuai tanggal input kasus).

Sementara sepanjang 2023, ada 10,932 kasus kekerasan seksual yang dialami anak Indonesia, dari total kasus tersebut, kekerasan seksual mendominasi.

Misalnya pada 2023, berdasarkan bentuk kekerasan yang dialami korban, ada 10.932 kasus kekerasan seksual, 4.511 kekerasan psikis dan 4.410 kekerasan fisik.

Tren yang sama juga terlihat pada enam bulan pertama 2024. Yang mana bentuk kekerasan seksual mendominasi setengah dari kasus terdata yakni 4.256 kasus kekerasan seksual, 1.708 kasus kekerasan psikis, dan 1.642 kekerasan fisik.

Southeast Asia Freeedom of Expression Network (SAFE Net) menangani 254 aduan KBGO selama triwulan II 2023. Jumlah ini lebih banyak dibandingkan periode yang sama 2022) yaitu 180 kasus.



Dari total tersebut, pelapor usia 18 sampai 25 tahun mendominasi setengah (48 persen) dari total laporan. Disusul kelompok usia anak-anak (12-17 tahun) yang mendominasi lebih dari seperempat (35 persen) dari total kasus.

Itu artinya, kekerasan seksual pada anak tidak hanya memuncak saat situasi sulit seperti pandemi Covid-19. Melainkan terus bermunculan bahkan naik meski status pandemi dicabut pada 21 Juni 2023 lalu. Kekerasan seksual pada anak bisa terjadi kapan saja, di mana saja, dan dalam situasi global apa saja.

Apa yang dialami R menjadi sirine bersama. Sebab satu dari tiga penduduk Indonesia merupakan anak-anak.

Solopos.com menghitung banyaknya anak Indonesia berdasarkan data jumlah penduduk menurut kelompok usia Badan Pusat Statistik (BPS). Hasilnya, sejak 2021 hingga 2023, sepertiga dari total populasi penduduk di Indonesia merupakan anak-anak.

Misalnya pada 2021, ada 88,38 juta anak dari total populasi penduduk 272,68 juta jiwa. Pada 2022, ada 88,36 juta anak dari total populasi penduduk 275,77 juta jiwa. Sedangkan pada 2023, ada 88,70 juta anak dari 278,69 juta penduduk Indonesia.

Perhitungan tersebut berdasarkan populasi dari kelompok usia 0-19 tahun, meski pun dalam Konvensi Hak Anak (KHA) menjelaskan anak adalah semua orang yang berusia di bawah 18 tahun.

Namun paling tidak, data tersebut bisa menggambarkan seberapa banyak populasi anak Indonesia.

Dalam pasal 7 UU TPKS menjelaskan pelecehan seksual nonfisik dan fisik merupakan delik aduan, kecuali bagi korban penyandang disabilitas atau anak.

Bab VIII UU tersebut juga mengamanatkan partisipasi keluarga dan masyarakat dalam pencegahan, pendampingan, pemulihan, dan pemantauan terhadap TPKS.

Masyarakat dan keluarga juga harus bergandeng tangan untuk memastikan jangan sampai ada anak korban kekerasan seksual.

Pemerintah harus bertanggung jawab atas keselamatan, keamanan, dan kenyamanan sepertiga penduduk Indonesia dari kekerasan-kekerasan yang menjelma apa saja. Termasuk KBGO.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya