SOLOPOS.COM - Seniman Joko Sri Yono menyelesaikan pembuatan Wayang Beber di Sanggar Naladerma, Baluwarti, Solo, Jumat (3/11/2023). Joko Sri Yono (74) telah menekuni pembuatan Wayang Beber sejak tahun 1959 dengan menggambarkan cerita Panji sebagai upaya pelestarian wayang tertua di Indonesia. (Solopos.com/Joseph Howi Widodo)

Solopos.com, SOLO — “Saya sudah mengerjakan lakon Jaka Kembang Kuning di gulungan kain mori sepanjang 22 meter selama tiga tahun atau lebih. Saya ingin ini menjadi karya terakhir saya dan hasilnya bisa dibentangkan di sepanjang tembok Kedhaton [Keraton Solo] agar orang-orang tetap mengenal Wayang Beber. Tapi apa mungkin ini selesai sementara saya sendiri takut kematian lebih awal menjemput saya?”

Demikianlah pertanyaan seorang perajin Wayang Beber yang tinggal di Kelurahan Baluwarti, Joko Sri Yono. Pertanyaan tersebut wajar dia tanyakan sebab dirinya sudah menapaki usia 74 tahun.

Promosi Pegadaian Buka Lowongan Pekerjaan Khusus IT, Cek Kualifikasinya

Menekuni dunia pembuatan wayang beber sejak mengenyam pendidikan di Sekolah Rakyat (SR) di usia 1959 tahun, Joko kini takut keahliannya tidak diteruskan oleh siapapun.

Menemui dirinya juga merupakan kejadian untung-untungan, berawal dari penelusuran Solopos.com saat mencari produk-produk kesenian di Kelurahan Baluwarti. Berbekal hasil wawancara dengan Lurah Baluwarti, Danang Agung Warsiyanto, Solopos.com berangkat dari kantor lurah menuju rumah Joko.

Saat motor distarter, suara bedug masjid sudah memenuhi lorong-lorong jalanan Baluwarti yang menyerupai labirin. Motor berjalan dengan pelan meskipun jalanan berpaving itu lengang, karena Baluwarti memberi nuansa tenang dan membuat siapapun di sana tidak ingin tergesa-gesa.

Kediaman Joko tercatat di Google Maps sebagai Sanggar Seni dan Kerajinan Naladerma, di Jalan Hordenasan RT 01 RW III Baluwarti Solo. Awalnya Solopos.com berekspektasi rumah Joko menjadi sebuah galeri seni besar dengan ruang belajar yang luas. Namun yang ada hanyalah rumah kecil sederhana, tanpa teras serta suasana sepi.

Meski begitu, Joko bisa langsung ditemui karena tengah duduk di ruang depan rumahnya. Dia menyambut baik Solopos.com lalu meminta helm dibawa masuk agar tidak diambil orang sembarangan.

Dari depan, rumahnya terdiri dari ruangan 1×2 meter untuk tempat menyimpan berbagai sepatu dan alas kaki, serta sebuah ruangan kecil memanjang dengan berbagai perabotan dari kayu maupun elektronik. Ada dua radio dan dua kulkas besar di sebelah kanan ruangan.

Ruangan memanjang tersebut diberi sekat yang menciptakan sebuah ruang depan berukuran 2×2 meter. Di ruangan tersebut, Joko terbiasa duduk menatap pintu rumah yang terbuka atau menelurkan kreativitasnya.

Ada sebuah meja kaca besar dengan lampu penerang dan berbagai peralatan ditaruh di atasnya. Di laci meja tersebut tampak gulungan kain lusuh tebal bertumpuk-tumpuk serta sedikit berdebu. Meski begitu, kediaman Joko tersebut cukup bersih dan terawat.

Joko sendiri merupakan sosok yang tampak sederhana. Saat menyambut Solopos.com, dia hanya mengenakan kaus berwarna biru dengan lengan pendek dan celana batik dengan panjang tidak mencapai lutut.

Usia tampak sudah mengejar dirinya, karena saat berdiri dan mempersilakan Solopos.com untuk masuk, dia berjalan pelan dan bergemetaran. Seluruh rambutnya sudah berwarna putih dan keriput tidak luput hadir di wajahnya.

Rasa iba tidak luput hadir saat melihat sosoknya, tetapi juga ada rasa kagum saat Joko bercerita mengenai karier sebagai seniman wayang beber.

“Saya sudah menjadi pengrajin wayang beber ini sejak 1959, waktu itu saya masih bersekolah di SR [Sekolah Rakyat]. Saya sekolah di siang hari, dan kemudian paginya saya memilih belajar melukis wayang beber ini di kediaman Raden Ngabehi Atmosoepomo,” tutur Joko sembari duduk dan bercerita kepada Solopos.com, Jumat (3/11/2023).

Mengutip penelitian Dosen Institut Seni Indonesia (ISI) Solo, Amir Gozali dan Sutriyanto berjudul Kajian Tehnik Menggambar Wayang Beber Gaya Pacitan Joko Sri Yono yang diterbitkan di jurnal Brikolase Volume 6, No. 1, Juli 2014, Raden Ngabehi Atmosoepomo atau yang biasa dikenal Eyang Ngabehi lahir pada 1896 dan meninggal pada 1964.

Eyang Ngabehi adalah seorang juru sungging Keraton Kasunanan Solo. Joko belajar darinya dan membantu membuat wayang beber secara runtut dan tekun di kediaman Eyang Ngabehi, diawali dari membuat sketsa hingga berhasil melahirkan karya-karyanya sendiri.

Eyang Ngabehi mempekerjakan orang tidak hanya untuk memproduksi tetapi juga agar mereka mempelajari Wayang Beber. Orang yang baru mengenal Wayang Beber hanya boleh membuat sketsa dan dilarang bermain warna, hal yang juga dialami oleh Joko saat mengawali belajar membuat Wayang Beber.

Joko sendiri mulai bermain warna setelah bekerja selama kurang lebih 9 tahun waktu dirinya mulai menginjak Sekolah Menengah, itupun dilakukan dengan
mencuri-curi saat berlangsung istirahat siang. Ketika semua orang istirahat siang, Joko justru berada di ruangan di mana proses menyungging wayang digarap. Sedikit demi sedikit dia mengamati dan mencoba menyungging tanpa diketahui siapapun.

Alhasil pekerja yang bertugas menyunggingpun tidak pernah merasa ada yang janggal dengan garapannya, meski sudah ada campur tangan Joko. Demikian Joko menyimpulkan bahwa dirinya sudah mampu menyungging Wayang Beber, meski belum diperbolehkan oleh Eyang.

Hingga pada saat Joko mendapat tawaran dari Eyang dirinya diijinkan untuk mensungging(memberi warna), sehingga tidak lagi mengalami kesulitan membuat wayang Beber hingga proses finishing.

Pada saat tersebut wayang produksi Eyang banyak dibeli Go Tik Swan atau Hardjonagoro orang pribumi keturunan China dan Ong Hukam salah satu Dosen Universitas Indonesia. Semua karya dijual ke luar negeri terutama Amerika. Setelah ke dua orang tersebut meninggal maka terhentilah produksi wayang beber Eyang Ngabehi.

Joko memiliki koleksi beberapa wayang beber baik itu gaya Pacitan maupun Wonosari. Dari beberapa sketsanya dengan media pena pada plastik mika juga terdapat beberapa sketsa dengan tokoh cerita rakyat lain, seperti Ande-ande Lumut, Ken Arok, dan cerita Ramayana.

Meskipun Joko mempunyai karya wayang beber Wonosari dalam bentuk satu adegan dengan media cat akrilik pada kain mori dengan ukuran 90cm X 120cm, secara bentuk Joko lebih senang Wayang beber Pacitan.

Koleksi karya wayang beber Joko Sri Yono terdiri dari 2 media yaitu media cat akrilik kain mori dan tinta pada plastik mika. Karya dengan media cat akrilik pada kain mori terdiri dari 1 set 23 adegan 6 gulungan yang setiap taferilnya untuk lebarnya 90cm sedangkan panjangnya antara 90cm s/d 120cm mensesuaikan dari setiap taferilnya, karya ini pernah dipamerkan di Balai Sujatmoko pada 25 Maret – 1 April 2013 yang bertajuk Wayang Beber Antara Inspirasi dan Transformasi.



Joko mengaku pesanan masih banyak datang terutama dari luar negeri. Namun Joko hanya bisa menunda penyelesaian pesanan-pesanan tersebut karena sudah setahun lamanya dia menderita vertigo yang membuat tangannya selalu gemetar dan kesulitan mewarnai di atas kain.

Suaranya berlantun cukup sedih saat mengatakan belum memiliki penerus untuk melanjutkan profesinya. Joko mengatakan memang banyak mahasiswa ISI maupun Seni Kriya UNS datang untuk belajar kepadanya, tetapi penerus di Baluwarti maupun dari keluarganya sendiri tidak ada.

Dia khawatir jika ajal telah lebih cepat menjemputnya, kerajinan yang dia miliki akan hilang dan wayang beber menjadi seni yang hilang di masyarakat.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya