SOLOPOS.COM - Para pemulung lanjut usia memunguti sampah yang bernilai ekonomis di zona aktif TPA Tanggan, Kecamatan Gesi, Sragen, Sabtu (26/8/2023). (Solopos.com/Tri Rahayu)

Solopos.com Stories

Solopos.com, SRAGEN — Keberaadaan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) di Desa Tanggan, Kecamatan Gesi, Kabupaten Sragen tidak semata-mata memberikan dampak negatif. Ada pula yang dampak positif dirasakan warga sekitar.

Promosi Beli Emas Bonus Mobil, Pegadaian Serahkan Reward Mobil Brio untuk Nasabah Loyal

Bagi sebagian orang tumpukan sampah yang menggunung merupakan hal yang menjijikkan, namun bagi sebagian kecil yang lain itu adalah sumber rezeki mereka.

Painem, 75, tampak sibuk mencari sampah yang bisa dijual seperti botol plastik dan sejenisnya. Kulit keriputnya menjadi saksi perkembangan TPA yang dibangun sejak 1993 itu. Artinya, Painem menjadi pemulung selama hampir 30 Tahun. Selain mencari sampah plastik, Painem juga mencari sisa buah atau sayuran untuk untuk pakan dua ekor sapinya.

Dariyatun, 72, warga Jatisari, juga seperti Painem. Ia menjadi pemulung di zona aktif TPA Tanggan demi sesuap nasi. Dariyatun juga menjadi pemulung sejak TPA itu berdiri. Pemulung hanya menjadi pekerjaan sampingannya saat pagi, yakni sejak pukul 07.00 WIB-09.00 WIB. Setelah mendapat satu sak, ia membawa sampah itu pulang untuk ditumpuk dan dapat dijual.

“Sebulan terkadang hanya dapat Rp500.000 tetapi pemulung lainnya bisa dapat jutaan rupiah. Kadang-kadang sebulan dua kali jual, setiap jual dapatnya Rp250.000,” jelasnya saat ditemui Solopos.com, Sabtu (26/8/2023).

Pemulung lainnya, Parti, 70, warga Jatisari, lebih junior ketimbang Painem dan Dariyah. Ia “baru” tujuh tahun menjadi pemulung. Sebelumnya, Parti menjadi bakul jamu gendong di Medan. Setelah pulang ke Tanggan, Parti akhirnya terbawa jadi pemulung setelah melihat tetangganya Hasil dari memulung itu, Parti hanya bisa mengantongi Rp250.000-Rp300.000 setiap tiga pekan sekali.

“Rata-rata pemulung di TPA ini sudah tua-tua karena yang muda-muda memilih merantau ke luar daerah. Meskipun berjibaku dengan barang kotor dan bau, nyatanya saya sehat-sehat saja. Dulu saat musim Covid-19, saya tidak terkena penyakit itu karena saya rajin minum kunyit,” ujarnya membeberkan rahasia.

Parti sudah mengumpulkan 16 sak besar berisi sampah plastik dari hasil kerja 16 hari. Setiap hari ia hanya mengumpulkan sampah satu sak besar. Dia merasa bau sampah di TPA tidak begitu menyengat setelah sampah lama ditimbun dengan tanah dan sampah baru disemprot obat setiap bulan sekali.

Selain ketiga perempuan tua itu, ada sekitar 27 pemulung lain yang juga mengais rezeki dari tumpukan sampah di TPA Tanggan. Mereka seolah sudah kebal dengan bau tak sedap dan pemandangan yang tak menyenangkan itu. Sampah di sana sebagian dikirim dari tempat pegolahan sampah terpadu (TPST) Manding, Sragen Kulon, Sragen.

Untuk mengurangi paparan kotoran yang terdapat banyak bakteri, mereka menggunakan sarung tangan, sandal dengan kaus kaki panjang, pakaian lengan panjang, masker, dan penutup kepala.

Hidup Bergantung pada Sampah

Mereka tinggal di seputaran TPA, terutama di wilayah Dukuh Jatisari dan sekitarnya. Hidup mereka bergantung dari 150 ton sampah yang dibuang ke TPA pada setiap harinya. Jumlah sampah yang dikirim setiap hari ke TPA Tanggan mencapai lima truk dump yang diangkut dari TPST Manding.

Yus Agus, seorang pegawai negeri sipil (PNS) Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Sragen, bertugas menjadi sopir truk sampah sejak 1994. Dia menyebut ada tiga truk dump yang biasa angkut sampah dari TPST Manding ke TPA. Ia biasanya mengangkut minimal dua kali dengan kapasitas per truk dump sebanyak 12 ton sampah.

“Ini baru pertama mengangkut sampah pada pukul 11.00 WIB. Nanti angkut lagi pada pukul 14.00 WIB. Kadang sampai tiga kali karena yang tersisa juga menjadi bagiannya,” katanya saat ditemui Solopos.com di TPA Tanggan, Gesi, Sragen, Sabtu.

Sampah dari truk ditumpahkan ke lokasi sampah lewat dermaga sampah. Tumpukan sampah itu kemudian didorong dengan buldoser ke lokasi tumpukan sampah yang menjadi pusat para pemulung memilah sampah.

Kepala Desa Tanggan, Gesi, Sragen, Mulyanto, mengungkapkan ada lima lingkungan rumah tangga (RT) yang terdampak dengan keberadaan TPA, yakni RT 001, RT 002, RT 004, RT 014, dan RT 015. Dia mencatat ada 350 keluarga dengan 916 jiwa yang tinggal di lima RT tersebut.

Dia menyatakan mereka sudah mendapatkan kompensasi dari Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sragen. Dia menyebut kompensasi itu berupa pemberian jaminan kesehatan lewat Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan untuk 916 jiwa. Selain itu, mereka juga mendapat program makanan tambahan (PMT) berupa paket sembako untuk 350 keluarga atau kepala keluarga (KK).

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya