SOLOPOS.COM - Situs Candi Menggung di Kampung Nglurah, Tawangmangu, Karanganyar, yang dilestarikan hingga kini oleh masyarakat setempat. Foto diambil Selasa (23/5/2023). (Solopos.com/Indah Septiyaning Wardani)

Solopos.com Stories

Solopos.com, KARANGANYAR — Kampung Nglurah, Tawangmangu, Kabupaten Karanganyar merupakan salah satu dusun yang terletak di kaki Gunung Lawu yang masih mempertahankan tradisi unik. Tradisi ini sudah diwariskan turun temurun sejak abad ke-14. Tradisi ini dukutan namanya.

Promosi Pegadaian Buka Lowongan Pekerjaan Khusus IT, Cek Kualifikasinya

Upacara dukutan digelar setiap 7 bulan sekali sesuai pakem masyarakat adat Kampung Nglurah. Harinya ditetapkan Selasa kliwon dengan wuku dukutan.

Sebagai sesepuh di Kampung Nglurah, Ridin Padmo Sutoyo, 87, sibuk mempersiapkan upacara ritual itu saat ditemui Solopos.com pada Selasa (23/5/2023) petang. Mulai membentuk panitia hingga menyiapkan ubo rampe prosesi dukutan. Dalam rangkaian pelaksanaan ritual, masyarakat di dua RW, yakni RW 10 dan RW 11 sibuk menyiapkan berbagai sesaji sejak tiga hari sebelum Selasa Kliwon.

Sesaji yang disiapkan seluruhnya terbuat dari bahan dasar jagung. Ritual tersebut merupakan cara masyarakat Lereng Lawu ini menjaga warisan nenek moyang. “Di upacara dukutan tidak boleh ada beras. Semua harus berbahan jagung. Lauk pauk tidak digoreng, tapi direbus,” ujar Ridin di kediamannya.

Belum pernah sekalipun warga melewatkan upacara dukutan, meski di masa pandemi Covid-19 sekalipun. Bagi masyarakat Nglurah, mereka meyakini tradisi dukutan untuk menjaga keselamatan dan kesejahteraan warga. Ritual yang dilakukan juga tidak boleh dilanggar. Syarat uborampe harus berbahan jagung harus ditaati. Apabila dilanggar, warga meyakini akan terjadi pagebluk atau bencana di dusun mereka.

Solopos stories desa tradisional
Ridin Padmo Sutoyo, 87, sesepuh Kampung Nglurah, Tawangmangu saat menjelaskan ritual dukutan di rumahnya pada Selasa (23/5/2023). (Solopos.com/Indah Septiyaning Wardani)

“Ada cerita turun temurun, 18 anak di sini meninggal dalam waktu setahun. Karena ada yang dilanggar, yakni makan nasi saat dukutan,” kata Rodin.

Sebagaimana upacara adat pada umumnya, upacara dukutan digelar di tempat sakral. Prosesinya di Situs Menggung, sebuah tempat sakral yang dipercaya sebagai lokasi perdamaian dua kubu, Nglurah Lor dan Nglurah Kidul, yang pernah berseteru.

Konon, dua kubu nenek moyang itu dulu selalu bentrok. Yakni, perseteruan antara Kyai Menggung atau Narotama dan Nyai Roso Putih. Keduanya dulu bertengkar dan adu kesaktian untuk memperebutkan pasokan makanan.

Kampung Nglurah pada masa itu kekurangan makanan. Masyarakat dilanda kelaparan. Hingga akhir cerita, keduanya menjadi pasangan suami istri. Mereka kemudian membimbing warga Nglurah bercocok tanan menanam jagung. Sejak itu warga Nglurah tak lagi dilanda kelaparan.

Ketua Lingkungan Dusun Nglurah, Ismanto, mengatakan serangkaian kegiatan dukutan diawali dengan arak-arakan sesaji hingga tawur alit sebagai puncak ritual. Tepat di Selasa Kliwon pagi, masyarakat berkumpul di pendopo dusun untuk bersiap melaksanakan ritual dukutan.

Prosesi diawali dengan doa kemudian dilanjutkan arak-arakan dari pendopo menuju situs Candi Menggung. Ritual dilanjutkan pada tawur alit yang menjadi puncak prosesi dengan diikuti seluruh peserta ritual. Ritual tahunan dukutan ini merupakan bentuk syukur masyarakat atas kerukunan yang terjalin antarwarga desa.

“Dukutan upaya warga Nglurah dalam melestarikan adat yang sudah berlangsung secara turun temurun,” katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya