SOLOPOS.COM - Nyamuk Aedes Aegypti jenis inilah yang menyebarkan penyakit chikungunya lewat gigitan pada manusia (Ilustrasi/JIBI/Dok)

Solopos.com, SRAGEN–Sebanyak empat warga meninggal dunia disebabkan kasus demam berdarah dengue (DBD) selama 2014. Kasus itu terjadi pada Januari-Maret.

Berdasarkan data yang dihimpun di Dinas Kesehatan (Dinkes) Sragen, selama Januari-Maret terjadi 101 kasus DBD. Kasus meninggal dunia disebabkan DBD pada 2014 menimpa warga dengan usia di bawah 10 tahun. Kasus tersebut terjadi di Sumberlawang, Sragen, Masaran dan Mondokan.

Promosi Lebaran Zaman Now, Saatnya Bagi-bagi THR Emas dari Pegadaian

Sementara, selama 2013, tercatat 389 kasus DBD. Dari jumlah itu, enam warga meninggal dunia dengan usia dibawah 15 tahun. Kasus meninggal dunia karena DBD diantaranya terjadi di Sukodono, Tanon, Sumberlawang, Masaran dan Sragen.

Kabid Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Dinkes Sragen, Retno Dwi Kawurjan, didampingi Staf Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, Tri Raharno, menerangkan tren meningkatnya kasus DBD terjadi pada Desember-Maret. Disampaikannya, kasus DBD meningkat lantaran faktor cuaca.

“Memang cuaca saat ini susah diprediksi. Tetapi, tren yang terjadi peningkatan kasus DBD ya di bulan-bulan itu,” urai dia saat ditemui wartawan di sela-sela pertemuan koordinasi DBD di Setda Sragen, Selasa (6/5/2014).

Disampaikannya, kebanyakan kasus DBD yang menyebabkan warga hingga meninggal dunia terjadi lantaran lingkungan tempat tinggal warga tersebut terdapat kebun. “Akibat cuaca hujan, banyak genangan terutama di kebun yang sering lolos dari pengawasan. Dari kasus-kasus orang meninggal dunia, wilayah di sekitar tempat tinggalnya ada kebun dan genangan air,” urai dia.

Tri menjelaskan terdapat dua faktor yang menyebabkan kejadian DBD hingga kini masih terdapat korban meninggal dunia. Disampaikannya, masih banyak masyarakat yang belum mengetahui gejala DBD. Faktor lainnya, yakni faktor keterlambatan penanganan pasien DBD.

“Dalam artian masyarakat yang datang ke Rumah Sakit (RS) sudah terlambat. Saat terserang DBD tidak langsung ke RS, tetapi ditangani di lokasi berbeda-beda. Ketika dibawa ke RS sudah mengalami dengue shock syndrome (DSS), artinya sudah banyak komplikasi seperti muntah darah, berak darah serta radang otak,” ungkapnya.

Disinggung upaya Dinkes guna meminimalisasi kasus DBD, Tri menjelaskan pihaknya terus melakukan survei dengan menghubungi RS yang ada di Sragen serta Solo. Hal itu dilakukan untuk mengecek pasien asal Sragen yang positif terserang DBD.

Pihaknya juga menerjunkan tim guna melakukan penyuluhan serta tindakan terkait laporan-laporan kasus DBD. Tindakan tersebut termasuk keputusan untuk melakukan fogging. Hanya saja, fogging dinilai tak efektif guna memberantas nyamuk penyebab DBD lantaran tak langsung membunuh jentik nyamuk.

Kasi Pengendalian  Penyakit bidang Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, Sumiyati, menerangkan gerakan pemberantasan sarang nyamuk (PSN) serta menjaga pola hidup bersih sehat (PHBS) menjadi kunci utama menekan kasus DBD lantaran langsung memberantas perkembangbiakan jentik. Sayangnya, selama ini kesadaran masyaraka tuntuk menerapkan gerakan PSN dan PHBS masih rendah.

Lantaran hal itu, dalam rapat koordinasi tersebut pihaknya melibatkan forum kesehatan desa (FKD) yang dibentuk di tingkat desa. Hal itu dilakukan untuk memudahkan koordinasi antara Dinkes sebagai pelaksana teknis serta masyarakat sebagai pelaksana di lapangan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya