SOLOPOS.COM - Ilustrasi perceraian (Odditycentral.com)

Pengadilan Agama Sragen mencatat angka kasus perceraian sepanjang 2017 naik 7 persen dibanding 2016.

Solopos.com, SRAGEN — Angka kasus perceraian di Bumi Sukowati dalam 3-4 tahun terakhir menempati posisi tertinggi di Soloraya. Jumlah kasus perceraian sepanjang 2017 mencapai 2.463 kasus.

Promosi Beli Emas Bonus Mobil, Pegadaian Serahkan Reward Mobil Brio untuk Nasabah Loyal

Angka tersebut meningkat 170 kasus atau 7,41% bila dibandingkan dengan jumlah kasus perceraian pada 2016 sebanyak 2.293 kasus. Penjelasan itu disampaikan Panitera Pengadilan Agama (PA) Sragen, Sihono, saat ditemui Solopos.com di kantornya, Selasa (30/1/2018) siang.

“Ya, angka kasus perceraian di Sragen memang tertinggi di Soloraya. Hal itu terjadi dalam kurun waktu 3-4 tahun terakhir. Tetapi saya tidak memiliki data dari kabupaten/kota lainnya,” ujar Sihono.

Sihono menjelaskan meningkatnya kasus perceraian di Sragen dipengaruhi kemajuan teknologi dan tidak setianya suami atau istri. Dia menunjukkan selama 2017 kasus paling tinggi terjadi pada Agustus yang mencapai 318 kasus.

Padahal rata-rata kasus yang ditangani PA Sragen hanya 205 per bulan. Tingginya kasus gugatan perceraian di PA Sragen pada Agustus dipengaruhi momentum setelah Lebaran.

“Saat liburan Lebaran itulah banyak penduduk perantauan pulang kampung. Mereka ada yang menjadi tenaga kerja wanita [TKW] atau tenaga kerja Indonesia [TKI] dan ada yang merantau ke Jakarta atau luar Jawa. Nah, setelah pulang kampung ternyata ada suami yang selingkuh. Sebaliknya ada juga TKW yang pulang bawa anak. Penyebab perceraian bervariasi tetapi pada intinya mereka tidak bisa disatukan atau didamaikan,” ujar Sihono.

Sihono menyampaikan dari sekian banyak kasus, gugatan paling dominan dilakukan istri. Dia mencontohkan kasus perceraian pada Desember 2017 sebanyak 169 kasus. Sebanyak 125 kasus atau 73,96% di antaranya merupakan gugatan cerai dari istri.

Dia menjelaskan upaya yang dilakukan hakim di PA adalah berusaha untuk mendamaikan suami-istri supaya tidak bercerai. “Tetapi persoalan itu kembali pada hati masing-masing. Kalau tidak mau didamaikan berarti hati memang menolak untuk dipersatukan. Walaupun dari pihak suami setuju tetapi istri tidak setuju untuk rujuk ya tetap harus diputus cerari,” jelasnya.

Kasus perceraian itu pernah dialami salah seorang warga asal Plupuh, Gimin, 59. Gimin saat bertemu Solopos.com belum lama ini menyampaikan sebenarnya tidak ingin bercerai dengan istrinya. Meskipun selama menikah beberapa tahun Gimin dan istrinya tidak dikaruniai anak, Gimin masih beriktikad baik menerima istrinya.

Dia memberi nafkah lahir dan batin tetapi apa yang dilakukan Gimin tidak diterima sang istri. “Saya bersikap baik ingin mengembalikan istri ke jalan yang benar tetapi seolah-olah hakim tidak memperhatikan pembelaan saya. Akhirnya, saya pun tetap diputus cerai,” ujarnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya