Soloraya
Sabtu, 12 Februari 2022 - 20:08 WIB

Kecam Permen JHT, Serikat Buruh Solo: Lagi-Lagi Kami Jadi Korban

Ika Yuniati  /  Kaled Hasby Ashshidiqy  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Ilustrasi buruh korban PHK. (Detik.com)

Solopos.com, SOLO — Serikat buruh di Kota Solo turut mengecam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 2 Tahun 2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua (JHT). Dalam aturan baru tersebut ditetapkan bahwa manfaat JHT baru bisa dicairkan penuh jika peserta BPJS Ketenagakerjaan telah berusia 56 tahun, kecuali meninggal dunia atau cacat total.

Ketua Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI) ’92 Kota Solo Endang Setiowati, Sabtu (12/2/2022), mengatakan lagi-lagi buruh menjadi korban kebijakan. Padahal, kondisi buruh tak bisa disamaratakan. Ada buruh yang harus keluar karena menjadi korban pemutusan hubungan kerja (PHK), tak diperpanjang kontrak, atau memang ingin keluar secara sadar dari perusahaan.

Advertisement

Beberapa dai mereka membutuhkan JHT sebagai modal bertahan sebelum mendapat pekerjaan baru atau menyambung hidup. Kalau harus menunggu usia 56 tahun rasanya sangat tidak masuk akal.

Baca Juga: 2 Juta Buruh Ancam Mogok Nasional Jika UU Cipta Kerja Jalan Terus

Advertisement

Baca Juga: 2 Juta Buruh Ancam Mogok Nasional Jika UU Cipta Kerja Jalan Terus

Belum lagi, kata Endang, pada masa pandemi ini tak semua perusahaan bisa bertahan hingga usia karyawan mencapai 56 tahun. Ada yang akhirnya gulung tikar.

“Aturan baru ini tidak sesuai dengan kesejahteraan buruh. Dari SBSI melihatnya ada permainan enggak sehat antara BPJS Ketenagakerjaan dengan pemerintah. Saya justru mempertanyakan ada apa ini,” kata Endang.

Advertisement

“Kalau saya baca di aturan BPJS memang tidak ada tulisan bahwa JHT bisa cair selepas PHK. Tapi kami bisa menekannya dengan aturan lain tentang kewajiban pencairan JHT. Sekarang ini soal pencairan selepas usia 56 tahun dilegitimasi dengan Peraturan Menteri, ya semakin enggak ada celah bagi buruh. Apalagi aturannya sudah digedok,” kata dia.

Baca Juga: Buruh Sebut UU Ciptaker Belum Efektif Cetak Lapangan Kerja

JKP Tak Masuk Akal

Salah satu pekerja swasta asal Solo, Andini, 28, juga tak sepakat dengan aturan baru soal pencairan JHT tersebut. Senada dengan Endang, kondisi perusahaan di Indonesia berbeda-beda, sehingga tidak bisa disamakan. Baginya sangat tak masuk akal jika dia berhenti dari pekerjaan dan harus menunggu puluhan tahun untuk dapat dana JHT.

Advertisement

“Belum lagi kalau usia 56 tahun apakah dana JHT akan sama atau sesuai nilai saat itu. Ini juga tidak jelas,” kata dia.

Sebelumnya pemerintah mengklaim adanya program baru berupa Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) bagi karyawan yang terkena PHK. Namun, Andini, menilai program tersebut masih terlalu dini dan tak masuk akal.

Berdasarkan informasi yang dia baca, JKP mensyaratkan untuk punya komitmen bekerja kembali setelah dapat bantuan. Padahal tak semua orang mau menjadi buruh selamanya.

Advertisement

Baca Juga: Butuh Motivasi, Banyak Pegawai Jenuh dan Kinerja Menurun Selama Pandemi Covid-19

Syarat hanya untuk karyawan PHK juga kurang relevan dan tidak mengaver kebutuhan banyak orang. Faktanya setelah Undang Undang Ciptra Kerja (UU CK) banyak pekerja kontrak. Mereka yang putus kontrak otomatis tak akan mendapatkan JKP maupun JHT.

“Belum lagi beberapa perusahaan ada yang menghindari PHK dengan membuat karyawan tak nyaman sehingga memilih mengundurkan diri. Bahkan ada yang terang-terangan diminta mengundurkan diri. Khusus kasus seperti itu enggak dapat bantuan dong. Sementara, kalau JHT kan bisa diambil siapa pun asal jadi peserta BPJS TK. Saya sih penginnya aturan itu dibatalkan. Pemerintah kayak nggak punya sense of crisis dengan pandemi. Kecewa banget,” keluhnya.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif