SOLOPOS.COM - Ketua Aliansi Peduli Perempuan Sukowati (APPS) memeluk RS yang trauma sebelum diminta menjadi saksi korban dalam sidang di Pengadilan Negeri (PN) Sragen, Senin (11/4/2016). (M Khodiq Duhri/JIBI/Solopos)

Kekerasan terhadap anak di Sragen berupa kasus pengarakan siswi SMP tanpa busana memasuki babak sidang.

Solopos.com, SRAGEN — Sidang lanjutan kasus kekerasan terhadap anak, pengarakan siswi SMP Sragen tanpa busana digelar Senin (11/4/2016).  RS, 14, siswi SMP yang diarak bugil keliling kampung pada awal Januari lalu sempat bertemu dengan terdakwa saat di persidangan, Senin (11/4).

Promosi Beli Emas Bonus Mobil, Pegadaian Serahkan Reward Mobil Brio untuk Nasabah Loyal

RS sempat shock begitu melihat kembali orang-orang yang telah mempermalukan dia depan umum. Dia tidak bisa bercerita dengan lancar saat diminta majelis hakim menjadi saksi dalam persidangan yang digelar tertutup itu.

RS baru bisa lancar bercerita setelah para terdakwa yakni SK, 50, bersama istrinya, WL, 37, SN, 43, adik SK, serta BR, 65, ibu SK diminta keluar dari ruang sidang untuk sementara.

“RS ini kurang nyaman bercerita saat ada terdakwa. Dia masih trauma dengan apa yang pernah dia rasakan sebelumnya. Oleh sebab itu, selama majelis hakim mendengarkan keterangan saksi korban, semua terdakwa kami pindahkan ke ruang lain untuk sementara,” jelas pejabat humas Pengadilan Negeri (PN) Sragen Agung Nugroho saat ditemui wartawan di lokasi.

Agung menjelaskan RS dimintai keterangan majelis hakim selama hampir satu jam. Setelah itu, SK bersama keluarga diizinkan masuk ke ruang sidang.

Majelis hakim lalu menyimpulkan sejumlah keterangan yang diberikan RS. Sebagian besar keterangan RS dibenarkan oleh para terdakwa. Namun, WL menyangkal keterangan yang menyebut dia merekam RS saat diarak bugil keliling kampung.

”Setelah ditanyakan lagi ke RS, ternyata dia hanya mendengar dari orang lain kalau WL telah merekam saat dia diarak bugil,” kata Agung.

Ditemui seusai sidang, kuasa hukum terdakwa Henry Sukoco mengatakan keterangan dari saksi korban belum sepenuhnya benar karena masih bisa dimentahkan oleh terdakwa. Dia tetap berharap majelis hakim memberi keringanan hukuman kepada terdakwa.

”Mereka adalah contoh orang-orang yang tidak paham dengan hukum. Ini artinya pemerintah gagal dalam menyosialisasikan produk hukum. Mereka tidak menyadari apa yang mereka lakukan itu melanggar hukum. Mereka belum bisa berpikir jauh ke depan tentang konsekuensi hukum apa yang bakal didapat,” jelas Henry.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya