Soloraya
Selasa, 7 Juni 2011 - 19:20 WIB

Kemiskinan dan penyakit mendera mereka

Redaksi Solopos.com  /  R. Bambang Aris Sasangka  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - LUMPUH—Parso duduk di atas ranjang di rumahnya, di Dukuh Tangkilrejo RT 16, Desa Poleng, Gesi, Sragen, Selasa (7/6). (JIBI/SOLOPOS/Tri Rahayu)

Mata Parso, 32, menatap tajam setiap orang asing yang datang ke rumahnya di Tangkilrejo RT 16, Desa Poleng, Kecamatan Gesi, Sragen, Selasa (7/6) pagi. Laki-laki kelahiran 1979 itu duduk diam, mulutnya melongo.

LUMPUH—Parso duduk di atas ranjang di rumahnya, di Dukuh Tangkilrejo RT 16, Desa Poleng, Gesi, Sragen, Selasa (7/6). (JIBI/SOLOPOS/Tri Rahayu)

Advertisement
Anak kedua dari tiga bersaudara itu hanya bisa duduk atau berbaring di ranjangnya sepanjang hari. Bahkan untuk kencing, buang air besar, makan dan minum pun dilakukan di tempat itu lantaran kedua kakinya terlalu lemah untuk berjalan.

“Kondisi Parso itu terjadi sejak satu tahun lalu. Kalau buang air besar ya di lantai (yang masih berupa tanah-red). Untuk mandi
pun juga kami yang menyediakan atau memandikan. Untuk makan kadang simbok-nya yang menyuapi. Tergantung siapa yang ada di rumah.
Kalau saya yang di rumah, ya saya yang mengurus anak itu,” keluh Ratno Wiyono, 60, ayah sambung Parso.

Keluarga Parso merupakan potret keluarga miskin di Bumi Sukowati yang luput dari perhatian pemerintah. Dia menderita epilepsi sejak usia anak-anak. Dalam sehari, penyakit epilepsi alias ayan kambuh 3-4 kali. Namun sejak usia Parso menginjak 17 tahun, penyakit ayannya mulai berkurang.

Advertisement

Kondisi seperti Parso juga dialami dua orang warga lainnya di lingkungan RT ini, yakni Sukimin, 50 dan Sugeng, 33. “Kondisi Sukimin lebih memrihatinkan. Tubuhnya kurus kering dan tinggal sendirian di sebuah rumah berdinding gedhek (anyaman bambu-red). Rumah Sukimin pernah mendapatkan bantuan bedah rumah beberapa tahun lalu,” ujar Slamet Haryono, Kepala Desa Poleng yang tinggal berdekatan dengan rumah Parso.

Urat nadi Sukimin terlihat membesar dan melilit di tangannya. Lekuk-lekuk tulang tangan dan tubuhnya terlihat jelas, nyaris seperti kerangka manusia hidup. Untuk kebutuhan makan dan minum Sukimin selalu dipasok saudaranya, Mentorejo, 60, yang tinggal tak jauh dari rumahnya.

Sukimin mengalami depresi mental yang luar biasa sejak berpisah dengan istri dan anaknya sekitar 4 tahun lalu. “Sejak berpisah dengan istri dan anaknya, Sukimin jarang keluar rumah selama 4 tahun. Dia hanya di dalam rumah seharian. Kalau tidak diberi makan, ya tidak makan. Ibaratnya seperti mayat hidup. Padahal waktu mudanya, Sukimin sering naik sepeda onthel dari Gesi ke Solo,” ujar Mentorejo saat disambangi wartawan di rumah Sukimin.

Advertisement

Berbeda dengan Sugeng yang tinggal sekitar 200 meter dari rumah Sukimin. Meskipun mengalami keterbelakangan mental, Sugeng masih bisa membantu ibunya untuk membuat tusuk sate. Dalam beberapa hari, Ngatiyem, 60, dan Sugeng hanya bisa menghasilkan 10 ikat tusuk sate. Masing-masing ikat berisi 100 batang tusuk sate. Seikat tusuk sate itu hanya dihargai pedagang senilai Rp 250/ikat.

“Saya bersyukur kondisi Sugeng mulai membaik. Dia bisa membantu membuat tusuk sate. Kalau pas lagi marah, saya sering kena marah,” tutur Ngatiyem. “Entah mengapa anak ini kok bisa seperti ini. Saat lahirnya juga sehat. Tapi sejak usia 2 tahun, anak ini sempat pingsan 1 jam. Setelah siuman, jadinya seperti ini,” imbuhnya.

Tri Rahayu

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif