Soloraya
Rabu, 26 Juni 2013 - 14:07 WIB

KENAIKAN HARGA BBM : Picu Perdebatan Penetapan UMK 2014

Redaksi Solopos.com  /  Ahmad Mufid Aryono  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

SOLO — Kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) sejak 22 Juni lalu memicu perdebatan penentuan upah minimal kota/kabupaten (UMK) 2014.

Tim Survei Kebutuhan Hidup Layak (KHL) Solo menginginkan angka KHL sebelum Juni dimasukkan dalam penentuan UMK. Sementara kalangan serikat pekerja menginginkan KHL pascakenaikan harga BBM saja yang menjadi patokan penetapan UMK 2014.

Advertisement

“Ini yang masih kami perdebatkan saat ini. Pak Totok [Santosa, Sekretaris Tim Survei KHL Solo] menginginkan KHL Januari hingga Juni dimasukkan untuk penentuan UMK, tapi kami menganggap KHL itu tidak menggambarkan kondisi saat ini,” kata Ketua Pimpinan Cabang (PC) Federasi Serikat Pekerja Percetakan Penerbitan dan Media Informasi (FSP PPMI) Solo, Wahyu Rahadi, dalam diskusi Proses Penetapan KHL di Rumah Makan Boga-Bogi, Jajar, Solo, Rabu (26/6/2013).

Karena itu Wahyu mengajak agar kalangan serikat pekerja mengkritisi proses penetapan UMK 2014. Apalagi survei KHL hanya dilakukan pada bulan-bulan normal. Artinya, survei tidak akan dilakukan pada bulan-bulan yang diwarnai lonjakan harga seperti seputar Ramadan.

Advertisement

Karena itu Wahyu mengajak agar kalangan serikat pekerja mengkritisi proses penetapan UMK 2014. Apalagi survei KHL hanya dilakukan pada bulan-bulan normal. Artinya, survei tidak akan dilakukan pada bulan-bulan yang diwarnai lonjakan harga seperti seputar Ramadan.

Sementara itu Totok Santosa menolak jika angka KHL hasil survei sejak awal 2013 dianggap tidak mewakili kondisi riil masyarakat.

“Efek kenaikan harga bbm baru akan terlihat pada September dan Juni ini sudah kami survei sebelum kenaikan harga BBM,” kata Totok dalam kesempatan yang sama.

Advertisement

Totok mengingatkan agar kalangan buruh tidak hanya berkutat pada isu penetapan UMK, tapi standar pengupahan yang lebih layak.

“UMK hanya jaring pengaman agar perusahaan tidak membayar upah lebih rendah dan itu hanya untuk pekerja lajang dengan masa kerja satu tahun,” ujar Totok dalam diskusi itu.

Menurut Totok, jumlah pekerja yang mendapat upah senilai UMK seharusnya sangat kecil. Dalam sebuah perusahaan, jumlah pekerja baru biasanya hanya berkisar 10% dari total pekerja. Selebihnya, pekerja lain dengan masa kerja lebih dari satu tahun seharusnya mendapatkan kesejahteraan yang lebih tinggi dari UMK.

Advertisement

Totok mengingatkan pekerja yang masih dalam masa percobaan juga berhak mendapat upah dengan standar UMK. Diakuinya, saat ini masih ada perusahaan yang masih menganggap pekerja dalam masa percobaan belum perlu dibayar sesuai UMK. “Padahal, pekerja yang baru masuk kerja sudah berhak dapat upah standar. Tapi masih ada yang menganggapnya seperti masa uji coba CPNS,” lanjut Totok.

Hal yang sama juga diungkapkan Kasie Statistik Distribusi Badan Pusat Statistik (BPS) Solo, MAB Herminawati. Menurutnya, survei KHL juga telah disesuaikan dengan kebutuhan para pekerja lajang dengan masa kerja kurang dari satu tahun.

“KHL memang didesain untuk pekerja lajang. Misalnya hanya mengukur harga barang yang tidak bermerek, kalau kasur juga diukur yang untuk satu orang. Telur juga bukan dari ayam kampung, tapi ayam ras,” terang Herminawati dalam kesempatan yang sama.

Advertisement

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif