Soloraya
Kamis, 3 Maret 2016 - 10:15 WIB

KESEJAHTERAAN PETANI SRAGEN : Petani Minta Harga GKP di Atas HPP

Redaksi Solopos.com  /  Anik Sulistyawati  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - ilustrasi panen padi (JIBI/dok)

Kesejahteraan petani di Sragen diharapkan terus meningkat dengan berbagai upaya.

Solopos.com, SRAGEN—Para petani di wilayah Kecamatan Sambungmacan, Sragen meminta kepada Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman agar menyetabilkan harga gabah kering panen (GKP) di atas Rp4.000/kg. Para petani di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur itu menjerit karena harga GKP hanya Rp3.200-Rp3.500/kg.

Advertisement

Presiden Joko Widodo mengeluarkan Instruksi Presiden No. 5/2015 tentang Kebijakan Pengadaan Gabah/Beras dan Penyaluran Beras oleh Pemerintah.

Inpres tersebut mengatur harga pembelian pemerintah (HPP) GKP senilai Rp3.700/kg dan GKG senilai Rp4.600/kg. Inspres tersebut ditindaklanjuti dengan Peraturan Menteri Pertanian No. 21/Permentan/PP.200/4/2/2015 tentang Pedoman Pembelian Gabah/Beras di Luar Kualitas oleh Pemerintah.

Seorang petani di Sambungmacan, Suwarno, 52, saat berbincang dengan Espos, Rabu (2/3/2016), mengeluh dengan harga GKP yang anjlok sejak sepekan terakhir. Dia menyampaikan harga GKP sebeluh perayaan Cap Go Meh harga GKP bisa menembus HPP Rp3.700/kg karena intensitas hujan tak terlalu tinggi. Sejak intensitas hujan tinggi, kata dia, harga GKP anjlok sampai Rp3.200/kg.

Advertisement

Dia menunjukkan harga GKP pada padi yang roboh hanya Rp3.200/kg. Sementara harga GKP untuk padi yang tidak roboh dengan kualitas yang sama, seperti ciherang, IR64, dan sejenisnya bisa sampai Rp3.500/kg. “Harga GKP itu susah untuk naik lagi. Petani maunya harga GKP itu bisa stabil di atas Rp4.000/kg atau minimal di atas HPP yang ditetapkan pemerintah. Kalau harga padi seperti ini petani jelas rugi,” ujar Suwarno.

Dia juga mengeluh dengan produktivitas padi yang merosot pada Musim Panen I karena tanaman padi kekurangan air saat musim tanam tetapi air berlimpah saat musim panen. Produktivitas GKP biasanya, kata dia, mecapai 9 ton per hektare ternyata merosot menjadi 7,5 ton per hektare.

“Waktu musim tanam lalu, petani hanya bisa mengandalkan air dari sumur dalam dengan kedalaman 80-100 meter. Sumur dalam dengan kedalaman 30-40 meter tidak keluar airnya. Jadi pengairan di wilayah Sambungmacan ini liar alias miline nek bayar [Mengalirnya kalau membayar],” tutur Sarwono, petani anggota Kelompok Tani Gemah Ripah Sambungmacan.

Advertisement

Sarwono juga menginginkan harga GKP stabil di atas HPP. Dia sebenarnya tidak menuntut harga GKP tinggi asalkan ada subsidi untuk untuk obat-obatan, pupuk, dan sarana produksi lainnya. “Harga beras naik Rp1.000/kg saja banyak yang demo. Bagaimana mau menyejahterakan petani? Hitung-hitungan petani itu kalau hanya laku Rp8 juta per patok itu rugi karena biaya produksinya besar termasuk pengairan yang liar tadi,” tambahnya.

Petani Desa Bedoro, Sambungmacan, Slamet, 55, menunjukkan kondisi tanaman padi yang roboh dan tidak roboh. Kondisi tanaman padi itu, kata dia, berpengaruh pada produktivitas dan nilai jual gabah. Dia menyampaikan biaya tenaga panen untuk padi yang roboh cukup tinggi, Rp1 juta-Rp1,5 juta per patok. “Dengan biaya operasional tinggi maka harganya jatuh. Bisa laku Rp5 juta per patok sudah baik,” tutur dia.

Sementara, Mentan Andi Amran Sulaiman menyikapi jeritan petani itu dengan meminta Perum Badan Urusan Logistik (Bulog) untuk membeli gabah petani dengan ketentuan HPP yang diatur dalam Inpres No. 5/2015.

 

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif