SOLOPOS.COM - Tangkapan layar kesenian Badutan dari kanal Youtube Kebudayaan Wonogiri Channel. Tangkapan layar diambil, Selasa (10/1/2023). (Istimewa/Kanal Youtube Kebudayaan Wonogiri)

Solopos.com, WONOGIRIKesenian tradisional Badutan di Wonogiri terancam punah di era sekarang. Kesenian yang dipercaya lahir sejak masa Pangeran Sambernyawa bergerilya melawan Belanda di Wonogiri ini semakin sepi pelestarinya.

Hal itu sangat disayangkan mengingat tidak banyak kota/kabupaten lain yang memiliki kesenian serupa. Badutan sudah menjadi salah satu kesenian khas di Wonogiri. Tanpa revitalisasi kesenian ini, bukan tidak mungkin beberapa tahun ke depan, masyarakat Wonogiri hanya bisa melihat Badutan melalui rekaman digital. 

Promosi Lebaran Zaman Now, Saatnya Bagi-bagi THR Emas dari Pegadaian

Pegiat dan pelestari Badutan, Endarto, mengatakan sepemahaman dia saat ini kesenian tradisional Badutan hanya dilestarikan oleh dia dan kelompoknya di Wonogiri. Di sisi lain, belum ada perhatian khusus dari pemerintah untuk menyelamatkan kesenian yang dia klaim asli Wonogiri itu.

Kondisi itu cukup disayangkan. Sebab kesenian ini memiliki sejarah dan cerita panjang di Wonogiri.

Endar, sapaan akrab pria itu menceritakan awal kemunculan Badutan tidak lepas dari tokoh Pangeran Sambernyawa atau kelak menjadi Mangkunegara I. Saat itu Pangeran Sambernyawa atau dikenal Raden Mas Said tengah bergerilya melawan Belanda.

Suatu ketika, Pangeran Sambernyawa dan pasukannya yang berjumlah 40 orang tiba di Desa Bubakan, Kecamatan Girimarto Wonogiri. Pangeran Sambernyawa sampai di sana setelah berjalan dari Nglaroh (saat ini di Desa Pule, Kecamatan Selogiri, Wonogiri).

Di Bubakan Raden Mas Said bertemu dengan petani yang sedang menggarap sawah. Kemudian, ia berniat membantu menggarap sawah petani dan berpakaian layaknya petani.

Suatu saat, pasukan Belanda tengah mencari Raden Mas Said tiba di Bubakan. Di sana, pasukan Belanda itu bertanya kepada seorang petani yang kebetulan sedang menggarap sawah tentang keberadaan Raden Mas Said.

Petani itu mengaku tidak tahu. Merasa tidak menjawab jawaban, pasukan Belanda memutuskan pergi.

“Padahal petani yang ditanya itu adalah Raden Mas Said sendiri. Tapi pasukan Belanda tidak tahu karena dia pakai pakaian petani,” kata Endar saat berbincang dengan Solopos.com di rumahnya, Kelurahan Kayuloko, Kecamatan Sidoharjo, Kabupaten Wonogiri, Selasa (10/1/2023). 

Keberhasilan Raden Mas Said mengelabui musuh dan membuat musuh pergi disambut gembira oleh para pengikut dan warga Desa Bubakan. Saking terlalu senang, salah satu pengikutnya, Guno Sumadyo, menawarkan Pangeran Sambernyawa untuk menghiburnya dengan cara menari.

Hal itu juga sebagai wujud syukur karena Pangeran Sambernyawa dan pasukannya masih diberi keselamatan. Saat itu ada empat orang penari, dua laki-laki dan dua perempuan yang menari bebas tanpa pakem.

Raden Mas Said merasa terhibur dan mengamanatkan Guno Sumadyo agar melanjutkan kesenian tari bebas tersebut. Dia berpesan bahwa kesenian itu akan dibutuhkan banyak orang untuk menghibur. Oleh Raden Mas Said, kesenian itu dinamakan Badutan.

Guno Sumadyo kemudian ditugaskan kembali ke kampung halaman di Desa Tremes, Sidoharjo,. Tugasnya mengembangkan kesenian tersebut.

“Guno Sumadyo itu eyang saya. Kesenian itu kemudian terus diturunkan kepada keturunannya. Saya ini generasi keempat yang mewarisi kesenian ini,” kata pria berusia 55 tahun itu.

Menurut Endar penurunan dari generasi ke generasi itu sudah menjadi adat. Sayangnya, saat ini dia belum menemukan orang di keluarganya yang berminat menjaga kelestarian Badutan.

Dia memiliki tiga anak, dua orang menyatakan tidak ingin meneruskan kesenian tersebut. Sementara satu anak lainnya masih duduk di kelas VII SMP.

“Belum tahu ini nanti akan diteruskan ke siapa. Dari pemerintah pun belum ada program membahas kelestarian kesenian ini,” ujar dia.

Dia melanjutkan, satu kelompok kesenian Badutan sedikitnya membutuhkan 12 orang. Empat sebagai penari Badutan, tujuh sebagai penabuh gamelan pengiring Badutan, satu sebagai sinden.

Kesenian ini merupakan kesenian tari bebas disertai percakapan antarbadut yang berisi lelucon. Percakapan yang dibahas sesuai dengan tema acara. Badutan biasanya tampil di acara ruwatan atau sedekah bumi. Selain itu di sejumlah hajatan. Durasi penampilan hingga dua jam.

“Paling ramai itu kalau Ruwah (bulan Jawa). Sebulan bisa tampil 5-6 kali. Kalau untuk biayanya, biasanya kami patok Rp5,5-Rp6 juta sekali tampil,” ucap Endar.

Sementara itu, Kepada Bidang (Kabid) Kebudayaan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Wonogiri, Eko Sunarsono, mengatakan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Wonogiri akan berupaya merevitalisasi kesenian-kesenian tradisional di Wonogiri.

Salah satunya dengan cara mengubah beberapa konsep yang dianggap tidak relevan menjadi lebih relevan dengan perkembangan zaman. Dengan begitu, kesenian tetap bisa diterima dan lestari.

“Kalau bentuk programnya dengan memberikan anggaran, malah tidak bisa jalan. Kesenian itu organik. Tidak bisa hanya dengan memberikan anggaran,” kata Eko.







Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya