SOLOPOS.COM - Para warga Dukuh Butuh, Desa Gedongan, Kecamatan Plupuh, Sragen, menggelar sedekahan atau caos dhahar dengan bancaan ketan punar di kompleks Makam Sultan Hadiwijaya Butuh, Sabtu (5/8/2023). (Istimewa/Sambernyowo Sragen)

Solopos.com, SRAGEN—Para warga di Dukuh Butuh, Desa Gedongan, Kecamatan Plupuh, Sragen, memiliki tradisi yang unik dan dilestarikan sejak zaman Keraton Pajang masih berdiri.

Tradisi caos dhahar ketan punar atau sedekahan ketan kuning yang masih dilestarikan warga Dukuh Butuh, terutama saat sedekahan setahun sekali.

Promosi Pegadaian Buka Lowongan Pekerjaan Khusus IT, Cek Kualifikasinya

Tradisi bancaan ketan kuning ini juga dilakukan para peziarah di Makam Sultan Hadiwijaya yang juga Raja Pajang di kompleks Makam Butuh. Di kompleks permakaman itu juga ada makam Ki Kebo Kenanga bersama istrinya yang juga orang tua Jaka Tingkir yang kelak menjadai Raja Pajang serta makam keluarganya.

Sedekahan ketan punar itu berupa ketan kuning dengan lauk ikan kali, yakni ikan kutuk atau ikan gabus dan sambal. Kalau tidak ada ikan gabus biasanya diganti dengan ikan bandeng.

Juru kunci Makam Butuh, Muhammad Husen Aziz Aribowo, kepada Solopos.com, Minggu (6/8/2023), menyampaikan tradisi ketan punar itu sudah lama sejak zaman simbah-simbah, bahkan sejak Keraton Pajang berdiri sudah ada. Dia menerangkan bancaannya ya hanya ketan punar itu saja setelah didoakan kemudian dibagikan ke warga yang ikut kenduri

“Tradisi itu sejak zaman simbah dan diteruskan sampai sekarang. Sebelum ada sini ada [makam Butuh] sudah ada tradisi itu. Istilahnya caos dhahar atau sedekahan. Ketan punar itu dulu makanan yang disukai para leluhur di Butuh,” katanya.

Aziz, sapaannya, mengatakan tentu ada makna tersendiri kenapa dipilih ketan punar. Dia mengatakan biasanya kalau ada modin tradisional bisa menjelaskan itu. Tradisi ini diadakan pada Sabtu (5/8/2023) lalu oleh saudara dan tamu dari luar yang datang ke Makam Butuh.

“Tradisi ini tidak harus malam. Setiap saat bisa bila diinginkan oleh peziarah. Biasanya peziarah pesan ke ibu saya atau membawa sendiri dari rumah,” ujarnya.

Tradisi ketan punar ini juga menjadi tradisi warga Butuh saat sedekah bumi yang dilakukan setelah Idulfitri dengan mengambil momentum habis panen dan harinya Jumat Legi.

Kalau sedekah bumi itu, ujar dia, ketan punar ini seperti menjadi maskotnya. Sedekah bumi itu biasanya dilakukan di Masjid Butuh atau di punden Mbah Gedong yang letaknya tak jauh dari Masjid Butuh.

Pegiat Ekspedisi Sukowati Sragen, Lilik Mardiyanto, mengungkapkan ketan punar itu merupakan adat asli Butuh saat Sultan Hadiwijaya atau Jaka Tingkir bertahta di Keraton Pajang. Dia menyebut upacara itu berupa ketan kuning disertai sambel bandeng urup-urup.

“Tata cara serta jenis makanan itu dulu dari juru kunci Makam Butuh yang lama. Semua masakan matang pada pukul 22.00 WIB, setelah itu baru didoakan. Sejarahnya dulu, ketan punar ini dibawa oleh Jaka Tingkir sejak diasuh oleh Ki Ageng Tingkir di daerah Senjaya, tepatnya di wilayah Salatiga. Sayangnya di Tingkir, Salatiga, sudah tidak ada upacara seperti ini,” jelasnya.

Dia menjelaskan kenapa memilih pukul 22.00 WIB, karena waktu itu merupakan waktu turunnya wahyu keprabon yang jatuh tepat di kepalanya Jaka Tingkir saat di pinggir Bengawan Solo, tepatnya di Butuh Kuyang. Dia menerangkan warna kuning itu sebagai simbol wahyu tersebut.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya