SOLOPOS.COM - Para tenaga THL di TPST Manding, Sragen Kulon, Sragen, bekerja memilah sampah dengan menggunakan mesin pemilah untuk menghasilkan pupuk organik, Kamis (16/3/2023). Mereka ditarget bisa mendapatkan 200 sak pupuk per bulan. (Solopos.com/Tri Rahayu)

Solopos.com, SRAGEN — Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Manding, Sragen Kulon, Sragen, menjadi pusat perekonomian baru bagi warga.

Dari sampah, para pemulung bisa menghidupi keluarga dengan pendapatan Rp2 juta per bulan. Dari sampah pula, Dinas Lingkungan Hidup (DLH) bisa menghasilkan 200 sak pupuk organik per bulan.

Promosi Pegadaian Resmikan Masjid Al Hikmah Pekanbaru Wujud Kepedulian Tempat Ibadah

Ratusan pupuk organik itu diolah dari sampah daun yang dicacah dengan kotoran hewan (kohe) dan cairan effective microorganism 4 (EM4). Sampah yang diolah itu baru 1/6 dari total sampah yang masuk ke TPST.

Pengelola TPST Manding, Sragen Kulon, Sragen, Suprapdi, 50, saat ditemui Solopos.com, di TPST, Kamis (16/3/2023), mengungkapkan sampah yang masuk ke TPST mencapai 5-6 truk per hari. Setiap truk berkapasitas 4 ton. Jika yang masuk ke TPST 5-6 truk maka jumlah sampah yang masuk setiap hari sebanyak 20-24 ton.

Suprapdi mencatat ada 100 orang pembuang sampah yang menggunakan gerobak atau motor roda tiga plus tidak terhitung untuk perseorangan yang buang sampah ke TPST. Pembuangan sampah pun tidak hanya pagi dan siang hari tetapi malam hari pun ada yang buang sampah, yakni hingga pukul 23.00 WIB. Selama ada sampah masuk maka ada pemulung.

“Saat siang hari itu ada 35 pemulung, kalau malam ada empat pemulung. Ada juga warga yang mencari pakan babi. Kalau malam, pemulung mencari rongsok hingga pukul 24.00 WIB. Bahkan ada bapak dan anak bersama-sama menjadi pemulung di TPST ini. Hasilnya lumayan,” katanya.

Suprapdi mengolah sampah bersama tiga orang tenaga harian lepas (THL) yang digaji setara dengan upah minimum kabupaten (UMK). Mereka memilah sampah dari dedaunan kering bercampur dengan plastik menggunakan mesin pemilah dan pencacah.

Plastik-plastik dikumpulkan dan langsung dimasukan ke dalam mesin pembakaran atau pirolisis. Kemudian potongan daun yang sudah tercacah dimasukan ke dalam bak pembuatan kompos. Dedaunan itu dicampur dengan kotoran hewan dan cairan EM4.

“Dari 5-6 truk itu, yang bisa kami olah hanya satu truk. Kami tidak bisa mengolah semua karena tenaganya kurang. Kami ditarget oleh dinas [Dinas Lingkungan Hidup] bisa menghasilkan 200 sak per bulan. Hingga pertengahan bulan ini, kami sudah mendapat 100 sak. Setiap saknya katanya dijual dengan harga Rp5.000/sak,” ujarnya.

Suprapdi mengatakan dengan harga jual segitu jelas tidak menutup operasional karena untuk membeli kotoran hewan saja sudah Rp300.000 per pikap. Itu belum termasuk pembelian cairan mikroorganisme dan biaya tenaga.

Di antara sampah-sampah yang tercecer di halaman TPST Manding, ada seorang pemuda yang bernama Yogi, 23, asal Taraman, Sidoharjo, Sragen, sedang mengais serotan alias sedotan minuman berwarna putih di antara tumpukan teh yang sudah disedu dalam pastik. Serotan itu dikumpulkan dan dibungkus plastik kemudian dicampur dengan botol-botol di dalam sak berukuran besar.

Yogi menjadi pemulung di TPST hanya ½ hari. Semua rongsokan itu ditampung di rumah dan dipilah sesuai dengan harga.

“Harganya berbeda-beda. Saya tampung dulu di rumah. Kalau sudah banyak baru diambil pengepul. Biasanya setiap bulan sekali diambil pengepul sampah. Hasilnya, sebulan bisa sampai Rp2 juta. Ya, alhamdulillah bisa untuk butuh keluarga,” ujar Yogi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya