SOLOPOS.COM - Warga RT 016, Desa Sidorejo, Kecamatan Kemalang, Klaten, mengikuti kirab Pager Banyu untuk merawat belik atau sumber air di wilayah tersebut, Rabu (19/7/2023) siang. (Solopos/Taufiq Sidik Prakoso)

Solopos.com, KLATEN — Di bawah pohon besar dekat sumber air tepi jalan Deles Indah lereng Merapi, warga RT 016/RW 006, Desa Sidorejo, Kecamatan Kemalang, Klaten, berkumpul. Warga menggelar doa bersama sebelum memulai Kirab Pager Banyu, Rabu (19/7/2023) siang.

Seusai doa, mereka berjalan menyusuri tepian belik atau mata air kecil di bawah pohon. Kondisi belik yang dikenal dengan Kali Butuh itu kering kerontang alias tak ada air yang tersisa.

Promosi Pegadaian Resmikan Masjid Al Hikmah Pekanbaru Wujud Kepedulian Tempat Ibadah

Sekitar 100 warga mulai orang dewasa hingga anak-anak mengisi barisan kirab. Mereka berbagi tugas membawa bibit pohon beringin serta bambu. Para ibu-ibu membawa aneka jajanan dalam tampah.

Kalimat mantra bersahutan dengan irama ketukan gending dan alat pertanian seperti cangkul dan parang mengiringi kirab. “Pring rajeg pring, mageri banyu bening, ngadhahi kang peparing, anguripi kang hanyandhing,” begitu bunyi mantra yang diserukan warga lereng Gunung Merapi Klaten mengiring sepanjang perjalanan ke sumber air atau belik.

Rombongan kirab terus menyusuri jalan setapak berbatu dan berpasir. Mereka mengarah ke tepian Kali Woro dan kemudian masuk lagi ke area hutan di wilayah Balai Taman Nasional Gunung Merapi. Suasananya teduh dipenuhi pepohonan tinggi.

Tebing curam yang menghijau oleh lebatnya pepohonan menjadi pemandangan di sekitarnya. Jalan setapak yang menyempit membuat rangkaian barisan berubah dengan berjalan satu per satu. Melewati jalan yang berkelok-kelok dan naik-turun, iring-iringan kirab terus berjalan dengan membaca mantra yang sama.

Air Berasal dari Rembesan

Sesekali gelak tawa terdengar dari rombongan kirab selama perjalanan. Setelah 500 meter berjalan, rombongan tiba di salah satu belik yang dikenal warga bernama Kali Putih. Berbeda dengan Kali Butuh, belik itu ada air.

Sumber air di lereng Merapi wilayah Klaten itu berasal dari rembesan, menetes dari akar-akar pohon yang menempel pada dinding tebing. Warga melakukan prosesi ritual di belik lereng Merapi, Klaten, yang sebelumnya sudah dibersihkan. Warga juga menanam pepohonan di sekitar kawasan belik tersebut.

Setelah itu, mereka kembali berjalan. Kali ini trek yang dilewati menanjak. Setelah beberapa ratus meter, rombongan tiba di punggung bukit yang agak datar dipenuhi rerumputan. Suasananya teduh oleh pepohonan menjulang yang didominasi pohon pinus.

Udara mulai dingin seiring hari mulai sore. Sebagian warga kemudian berjalan menuju ujung punggung bukit itu untuk menanam pohon di sekitar belik lainnya bernama Kali Anyar.

Setelah itu, mereka beristirahat sembari bercengkerama, bersendau gurau, dan menikmati aneka jajanan yang sebelumnya sudah dibawa. Selain warga, petugas dari Taman Nasional Gunung Merapi juga terlihat membaur. Warga kemudian pulang ke kampung setelah membersihkan sampah.

Ketua RT 016/RW 006, Desa Sidorejo, Kecamatan Kemalang, Klaten, Jenarto, menjelaskan rangkaian kegiatan merawat sumber air di lereng Merapi itu sudah menjadi tradisi setiap 1 Sura. Kegiatan utama yang dilakukan warga yakni membersihkan belik-belik di sekitar tempat tinggal mereka.

Pria yang akrab disapa Jack itu mengatakan di kampungnya tidak ada sumber air dengan debit yang besar. Yang ada hanya belik-belik dengan air bersumber dari rembesan. Meski debitnya kecil, warga tetap berupaya merawat agar belik-belik itu tetap lestari.

Bermanfaat saat Kondisi Darurat

Selain bersih-bersih, upaya warga merawat sumber air itu dengan menanam pohon. Kali ini, jenis bibit pohon yang ditanam didominasi jenis bambu. Ada beberapa bibit pohon beringin.

Ada sekitar 20 pohon bambu yang ditanam di tiga belik itu. Warga menanam bambu karena bagus untuk penahan erosi. Bambu juga membangkitkan cerita lama. “Dulu hutan Merapi banyak bambu. Ketika ada awan panas dan mengenai bambu, akan menimbulkan suara ledakan dan itu menjadi semacam sirene untuk warga,” kata Jack saat ditemui Solopos.com seusai kegiatan.

Jack mengatakan air dari sumber atau belik-belik itu dimanfaatkan warga lereng Merapi, Klaten, ketika kondisi darurat untuk kebutuhan mencuci serta untuk ternak. Kondisi darurat yang dimaksud yakni ketika akses air dari Umbul Bebeng di Cangkringan, Sleman, DIY, macet.

Jack dan warga lainnya berharap melalui kegiatan warga merawat belik-belik itu, debit yang dihasilkan bisa semakin meningkat. “Dengan kegiatan ini mudah-mudahan, entah kapan, debit belik-belik ini bisa menjadi lebih besar dan bisa dimanfaatkan warga,” kata dia.

Kepala Seksi Wilayah Pengelolaan Taman Nasional Wilayah II Balai Taman Nasional Gunung Merapi, Ahmadi, mengatakan setiap desa yang ada di lereng Gunung Merapi memiliki kearifan lokal masing-masing untuk menjaga harmonisasi antara adat, manusia, dan alam.

Dia menilai tradisi yang dicoba diangkat kembali di Kemalang ini cukup menarik lantaran dimotori kalangan muda. “Setiap desa-desa ada kearifan lokal dan kami mendukung. Di Sidorejo ini kami antusias karena yang berperan generasi muda. Mereka mulai mentradisikan kembali budaya mereka menjaga harmonisasi antara adat, manusia, dan alam,” kata Ahmadi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya