SOLOPOS.COM - Persembahyangan penyuluh agama Hindu di Pura Wijaya Kusuma Kecamatan Hrogol Kabupaten Sukoharjo, belum lama ini. (Istimewa)

Solopos.com, SOLO—Lilik Dwi Fajar Riyanto, 31, harus menunggu 10 tahun untuk percaya diri menunjukkan identitas agamanya. Sebelumnya dia sangat hati-hati menyampaikan keyakinan barunya sebagai orang beragama Hindu.

Ia berulangkali mengucapkan “puji Tuhan” sebagai ungkapan rasa syukurnya karena proses panjang mendapatkan perlakuan yang lebih baik dari lingkungan sosial sekitarnya.

Promosi Beli Emas Bonus Mobil, Pegadaian Serahkan Reward Mobil Brio untuk Nasabah Loyal

“Sekarang situasinya kian cair. Di kampung orang-orang sudah mulai mau menyapa saya. Orang tua 80% juga menerima meski ada saudara yang belum mau menerima,” ujar Fajar, panggilan akrab Lilik Dwi Fajar Riyanto, ini kepada Solopos.com, Rabu (29/03/2023).

Karena itu, dia tak lagi ragu menunjukkan identitas sebagai kelompok minoritas. Dia merasa lebih bebas mengekspresikan hak-hak yang paling hakiki dalam hidupnya: hak kebebasan beragama dan berkeyakinan.

Selama bertahun-tahun lingkungan sosialnya cenderung menolak keputusannya berpindah agama. Sebelumnya Fajar beragama Islam, namun sejak 2012 memeluk Hindu.
Ia tak menyangka keputusannya itu mendapatkan reaksi keras dari orang-orang sekitarnya. Orang tuanya selama tiga tahun tidak mengakui dirinya sebagai anak.

“Ya sudah, kalau kamu tidak menuruti orang tua, jangan lagi akui aku orang tua kamu,” kata Fajar menirukan kata-kata orangtuanya. Ungkapan orangtua Fajar ini masih membekas dalam pikirannya.

Sebagai seorang anak, dia tetap menghormati orang tuanya. Dia memahami situasi itu. “Orangtua mana sih yang menerima anaknya berpindah agama?” ujar dia mengenang cerita-cerita awal perjalanan spiritualnya.

Bukan hanya orang tua, saudara-saudara dekatnya juga menolak keras.

Teman-teman dan tetangganya mulai menjauh. Tak mau menyapa. Dia tak lagi aktif secara leluasa di organisasi kepemudaan di tempat tinggalnya, di sebuah desa di Sukoharjo. Situasi ini yang membuat Fajar merasa terasing.

Hak-hak kebebasan beragama dan berkeyakinan seperti membentur tembok. Tidak nyaman. Dia memutuskan pindah ke Boyolali untuk menyepi, hidup dengan orang tua angkat sekaligus guru spiritualnya. Namun alamat tinggal di KTP dia tetap di Sukoharjo.

Dia juga menjalankan aktivitas sosial keagamaan di kabupaten tersebut meski tinggal di Boyolali. Awalnya kisah spiritual Fajar ini dia kemukakan dalam acara Diskusi Terfokus Peran Pemimpin Agama dan Media dalam Isu Agama dan Keyakinan Menjelang Tahun Politik yang diselengarakan Yayasan Kakak di Sukoharjo, Rabu (9/11/2022). Isu yang sama ia sampaikan pada Diskusi Antarumat Beragama dengan tema Peran Media dalam Pemberitaan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan pada 7 Februari 2023 di sebuah hotel di Kota Solo yang juga digelar Yayasan Kakak.

Solopos.com kemudian mengajak ngobrol untuk mengulik lebih jauh perjalanan spiritual dan perlakuan tidak mengenakkan bagi dirinya.

Melanggar Hak Privasi

Fajar merasa perlakuan orang lain atas keputusannya berpindah keyakinan melanggar hak-hak privasinya. “Keyakinan seseorang itu tidak bisa diganggu gugat karena ini menyangkut hak asasi manusia,” dalihnya. Bahkan hak itu tidak boleh dihalangi oleh orang terdekatnya sekali pun.

Apalagi proses kepindahan keyakinan itu atas keputusannya sendiri. Tidak ada yang memaksa. Sebelumnya dia mengaku bukan orang yang taat menjalankan peribadatan agama. Menyadari itu, ia kemudian melakukan perjalanan spiritual dengan mempelajari berbagai agama di Tanah Air sejak 2008, selepas lulus SMA. Hingga dia menemukan keyakinan barunya. “Sebenarnya ini pulang ke rumah saja, bukan pindah agama.”

Hak kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB) individu dijamin oleh norma-norma universal. Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa mengesahkan International Covenant on Civil and Political Right (ICCPR) atau konvenan internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik pada 16 Maret 1966 dan berlaku pada 23 Maret 1976.

Salah satu hak sipil dan politik kovenan itu adalah hak kebebasan beragama dan berkeyakinan. Indonesia meratifikasinya melalui Undang-Undang No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan ICCPR. Pada pasal 18 ayat menjelaskan, “Setiap orang berhak atas kebebasan berpikir, bernurani dan beragama.”

UUD 1945 pasal 29 ayat (2) secara prinsipil menyatakan “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya.”

Dalam perspektif hak asasi manusia (HAM), tidak hanya menjamin setiap individu menjalankan kebebasan beragama dan berkeyakinan, melainkan pula menjamin hak untuk berpindah agama dan keyakinan sesuai keputusannya sendiri.

Bukan hanya Fajar yang merasa tak bebas mengekspresikan keyakinannya. Lydia Riana, tokoh di MLKI (Majelis Luhur Kepercayaan Indonesia) Solo saat hadir pada Diskusi Antarumat Beragama dengan tema Peran Media dalam Pemberitaan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan bercerita teman-temannya takut mengganti identitas agama di KTP dari agama resmi ke penghayat kepercayaan.

Para penganut kepercayaan sering mengalami diskriminasi setelah mengganti di kolom agama di KTP. Mereka tidak lagi dilibatkan dalam kegiatan sosial. Dalam pertemuan antaragama juga tidak diundang karena dianggap bukan agama resmi.

Saat mengikuti acara Puan Hayati (organisasi penghayat kepercayaan yang beranggotakan para perempuan) di Semarang beberapa waktu lalu, Lydia mendapatkan pengakuan dari beberapa peserta dari Jawa Tengah tentang risiko berpindah identitas ke penghayat kepercayaan.

Mereka yang punya anak di sekolah tidak mendapatkan guru mata pelajaran penghayat kepercayaan. Karena itu banyak penganut kepercayaan yang tidak mau menunjukkan identitas resminya di KTP. Padahal, jelasnya, perpindahan dari agama resmi di KTP ke penghayat kepercayaan sebagai bagian dari kembali ke agama leluhur mereka yang sudah dijamin konstitusi.

Sebagaimana dikutip dari artikel di katadata.co.id berjudul Jalan Panjang bagi Penganut Aliran Kepercayaan, sesungguhnya pengakuan negara kembali hadir pascareformasi dengan masuknya klausul-klausul hak asasi manusia (HAM) dalam instrumen legal negara. Penganut kepercayaan terlindungi dari pemaksaan untuk pindah ke agama resmi.

Namun, diskriminasi masih terjadi. Pasal 61 UU 23/2006 dan Pasal 64 UU 24/2013 tentang Administrasi Kependudukan menyebutkan, identitas kepercayaan tidak dicatatkan dalam kolom agama, hanya tercatat dalam data kependudukan.



Kedua pasal tersebut mendorong sejumlah pemohon untuk mengajukan pengujian undang-undang (judicial review) ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada November 2016. Gugatan uji materiil mereka dikabulkan pada 7 November 2017. Dengan demikian penghayat kepercayaan boleh menuliskan di kolom agama di KTP.

Namun, seperti disampaikan Lydia, banyak penganut kepercayaan yang khawatir mendapatkan diskriminasi. Bagi Lydia, mendiskriminasi karena seseorang menganut kepercayaan adalah sikap intoleran.

Intoleransi muncul karena klaim-klaim kebenaran di ruang publik yang bisa memicu konflik antarumat beragama. “Orang intoleran itu orang yang perlu ditolong karena mereka orang yang tidak bahagia,” kata dia.

Kini, Fajar menemukan menemukan komunitas baru, lingkaran sosial sesama penganut Hindu. Sebagai Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Sukoharjo, ia bisa berinteraksi dengan kelompok lain lintas agama.

“Saya makin percaya diri menyebut sebagai orang Hindu,” lanjutnya. Meski dia mengakui, perpindahan dari kelompok mayoritas ke minoritas masih mendapatkan diskriminasi. Dia pernah mau beli rumah di perumahan tapi ditolak karena beragama Hindu. Kompleks itu ternyata khusus untuk agama tertentu.

Sebagai penyuluh agama Hindu, dia akan terus menyampaikan pesan-pesan moderasi beragama di ruang publik. Lahirnya generasi baru yang telah menerima nilai-nilai moderasi agama yang menyebabkan dia mulai diterima di lingkungan sosial kampung asalnya. Dia berharap kasus diskriminasi serupa tidak terulang kembali.

Cukup dia yang mengalami.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya