SOLOPOS.COM - Sukimin, 73, warga Dibal, Ngemplak Boyolali, menjajakan dawet racikannya di Kantor Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) Solo, Rabu (7/10/2015). (Chrisna Chanis Cara/JIBI/Solopos)

Kisah inspiratif ini menceritakan Sukimin, warga Dibal yang setia perjualan dawet.

Solopos.com, SOLO – Sukimin, warga RT 003/RW 001 Dibal, Ngemplak, Boyolali, setia berjualan dawet pikulan meski telah berusia 73 tahun.

Promosi Lebaran Zaman Now, Saatnya Bagi-bagi THR Emas dari Pegadaian

Sehari-hari, Sukimin menyusuri rute puluhan kilometer untuk menjajakan dawet racikannya. Dawet ini populer dengan nama Dawet Dibal.

Sejak era Presiden Soekarno, tepatnya tahun 1950, kakek 12 cucu ini menjajakan dawet dengan cara dipikul.

Pada Rabu (7/10/2015), Sukimin tampak semringah ketika seseorang dari Kantor Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) Solo, Jl. Kenanga Purwosari Solo, memanggil namanya.

Mengenakan caping layaknya petani, Sukimin berjalan tergopoh-gopoh dengan memikul gerobak kayu. “Tumbas dawete [Beli dawetnya] Pak,” ujar Sri Sumanta, Ketua Panwaslu Solo dari dalam kantor.

Dawet ala Sukimin berbeda dengan dawet yang biasanya ditemui di warung atau toko modern. Ia meracik sendiri semua bahan mulai cendol yang dibikin pakai pati garut.

Kuah dawet pun dibuat alami dengan campuran santan dan gula aren. Tak heran, 100 porsi dawet yang dijajakannya setiap hari selalu ludes dibeli.

“Persiapan saking subuh. Jam 11 mulai keliling ngantos jam 4. Yen kesel nggih leren, nyambut gawe kula mboten tumut mandor [Persiapan dari Subuh. Jam 11 mulai berkeliling sampai jam 16.00. Kalau capai ya istirahat, saya bekerja tak ikut mandor],” ucapnya sambil tersenyum.

Meski matahari tepat di atas kepala, dengan telaten ia memasukkan cendol lengkap dengan isian nangka dan ketan putih ke dalam mangkuk porselen.

Selama 65 tahun eksis, dawet Dibal sudah dicicipi orang kampung hingga pejabat teras. Sukimin mengingat mantan Wali Kota Solo, F.X. Hadi Rudyatmo hingga Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora), Imam Nahrawi, pernah membeli dawetnya.

Imam Nahrawi bahkan sampai tanduk (tambah porsi) saat mereguk segarnya dawet. “Pas niku kula tanglet Pak Menteri kok doyan dawet. [Jawaban Menteri] seneng sing alami,” kata dia.

Di usianya yang menginjak senja, Sukimin belum berpikir menghentikan langkahnya berjualan dawet. Sukimin menjadi orang terakhir di Dibal yang menjaga tradisi berjualan dawet gendong.

Saat beristirahat di rumah, kadang ia khawatir eksistensi dawet Dibal berakhir di dirinya. Lima anak Sukimin enggan meneruskan langkahnya memikul gerobak dawet.

Yen kula pun mboten kuat mlaku nggih mboten wonten dawet sing dipikul [Kalau saya sudah tak kuat berjalan ya tak ada lagi penjual dawet pikulan],” ujarnya. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya