Soloraya
Rabu, 3 April 2024 - 16:07 WIB

Kisah Pasutri Tunanetra Boyolali Abdikan Diri Ngajar Al-Qur'an Braille Gratis

Nimatul Faizah  /  Suharsih  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Pasangan suami-istri penyandang tunanetra, Diana Puspitasari dan Santo Setiawan, mengajar mengaji Iqra hingga Al-Qur’an di rumahnya, Jl Merbabu Nomor 71, Pulisen, Kecamatan/Kabupaten Boyolali, Rabu (3/4/2024). (Solopos/Ni’matul Faizah)

Solopos.com, BOYOLALI – Jari jemari pasangan suami-istri atau pasutri penyandang tunanetra itu meraba kalam Al-Qur’an Braille di ruang tamu rumah mereka di Jl Merapi Nomor 71, Pulisen, Kecamatan/Kabupaten Boyolali, Rabu (3/4/2024).

Mereka meraba huruf-huruf Braille sambil menyimak bacaan dari kedua murid masing-masing. Sesekali pasutri bernama Diana Puspitasari dan Santo Setiawan itu mengoreksi bacaan sang murid. .

Advertisement

Sejak November 2022, mereka mengajar mengaji Al-Qur’an kepada anak-anak penyandang disabilitas netra mulai mengaji Iqra’ hingga Al-Qur’an. Dari situ berlanjut hingga pada Agustus 2023 berdiri Yayasan Insan Menjemput Terang untuk meresmikan gerakan mereka.

Diana menjelaskan kegiatan belajar membaca Al-Qur’an Braille digelar tiap Senin dan Rabu pukul 11.00 WIB-12.00 WIB di Boyolali. Kegiatan tersebut rutin digelar, tidak hanya saat Ramadan.

Advertisement

Diana menjelaskan kegiatan belajar membaca Al-Qur’an Braille digelar tiap Senin dan Rabu pukul 11.00 WIB-12.00 WIB di Boyolali. Kegiatan tersebut rutin digelar, tidak hanya saat Ramadan.

Tidak hanya bergerak di Boyolali, perempuan 34 tahun tersebut juga menggerakkan kegiatan serupa di Sukoharjo tiap Sabtu. Begitu juga di Pati.

“Di sini ada tiga murid, di Sukoharjo ada 15 murid, dan di Pati ada dua murid. Kegiatan ini free, silakan bagi yang ingin belajar. Selain mengajar di sini, saya juga mengajar di Sukoharjo,” kata dia saat berbincang dengan Solopos.com di rumahnya.

Advertisement

Menularkan Kemampuan

“Saya ingin agar teman-teman bisa membaca Al-Qur’an, karena kadang kalau hanya mendengar kurang maksimal. Di Al-Qur’an kan perintahkan bacalah, Iqra’,” kata guru les privat tersebut.

Diana mengaku belajar membaca Al-Qur’an sejak SMPLB pada 2002. Ia ingin menularkan kemampuannya secara gratis agar penyandang tunanetra lain termotivasi mencintai Al-Qur’an.

Ia berharap kegiatan tersebut bisa berkembang dan semakin banyak penyandang tunanetra yang ingin belajar membaca Al-Qur’an. Sementara itu, Santo yang juga ketua Yayasan Insan Menjemput Terang mengatakan semangatnya mengajar ngaji karena melihat banyak lembaga yang memanfaatkan penyandang disabilitas untuk proyek dan subjek saja.

Advertisement

“Saya ingin turun langsung ke lapangan, apa yang dibutuhkan mereka. Jadi kadang penyandang disabilitas hanya dikumpulkan, diberikan dana, tapi tidak ada tindakan lebih lanjut. Saya tidak bisa menerima hal itu karena kebanyakan penyandang disabilitas hanya dijadikan objek bantuan saja,” jelas dia.

Santo menjelaskan terkadang penyandang disabilitas yang diberi bantuan tidak paham maksud uluran tangan itu apa dan harus bagaimana ke depannya. Sehingga ia ingin semisal diberikan bantuan Al-Qur’an Braille maka harus diberikan pembelajaran.

Santo membeberkan harga Al-Qur’an Braille 30 juz dan terjemahannya mencapai Rp2,5 juta. Percuma jika penyandang tunanetra diberi bantuan akan tetapi tidak bisa memanfaatkan.

Advertisement

Menjemput Terang

“Kami mendapatkan bantuan Al-Qur’an dari donasi, ada dua. Yang satu Rp2,5 juta untuk 30 juz dan terjemahan. Lalu, ada yang juz 28-30 tanpa terjemahan sekitar Rp1,5 juta,” jelas guru musik di salah satu SLB wilayah Solo itu.

Pasutri itu menamai kegiatan mengajar mengaji gratis mereka Menjemput Terang dengan maksud agar tunanetra bisa terang karena Al-Qur’an. Gerakan tersebut lalu berubah menjadi yayasan.

Sementara itu, salah satu murid mengaji, Dimas Muhammad Sidik, menjelaskan baru belajar mengaji dan mengenal Al-Qur’an pada 2023. Sebelumnya, ia bukanlah penyandang tunanetra. Namun, karena jatuh sakit pada 2020, ia mengalami buta total.

Laki-laki 22 tahun asal Desa Salakan, Kecamatan Teras, tersebut kemudian bangkit dan belajar Iqra’ dengan huruf hijaiah Braille. “Dulu saya sempat bisa melihat, sempat bisa membaca Al-Qur’an biasa. Sejak tunanetra, ingin bisa membaca Al-Qur’an dan mendalami. Saya sempat jadi santri di pondok pesantren juga di Dawar,” kata dia.

Ia mengaku bisa menyerap pembelajaran Iqra’ yang diajarkan Diana dan Santo. Soal kesulitan yang ia hadapi yaitu masih perlu ketelitian saat membaca titik-titik Braille agar tidak salah membaca huruf hijaiah.

Dimas berharap bisa membaca Al-Qur’an Braille, memahami isinya, bahkan bisa menjadi penghafal Al-Qur’an. “Dulu saya bingung, saya dapat bantuan Al-Qur’an khusus tunanetra tapi tidak ada yang mengajar. Kemudian, ketemu Bu Diana dan bisa membaca pelan-pelan,” kata dia.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif