SOLOPOS.COM - Ilustrasi anak korban kekerasan guru PAUD. (Freepik.com).

Solopos.com, BOYOLALI — Penyandang disabilitas rentan menjadi korban dalam kasus kekerasan seksual, seperti kasus perkosaan yang dialami perempuan penyandang disabilitas mental atau ODGJ (orang dengan gangguan jiwa) asal Kecamatan Mojosongo, Boyolali, beberapa tahun lalu.

Kisahnya membuat hati miris karena perempuan itu kemudian hamil dan pelaku tak diproses hukum. Kasus itu berujung damai dengan uang santunan Rp10 juta yang diberikan pelaku kepada korban.

Promosi Beli Emas Bonus Mobil, Pegadaian Serahkan Reward Mobil Brio untuk Nasabah Loyal

Kasus itu menjadi salah satu yang paling dikenang Ketua Lembaga Konsultasi Kesejahteraan Keluarga (LK3) Boyolali, Nuri Rinawati. Nuri menyampaikan ada beberapa kasus pemerkosaan terhadap penyandang disabilitas yang pernah ia tangani.

Namun, yang paling meninggalkan kesan dalam dirinya adalah kasus perkosaan terhadap ODGJ di Kecamatan Mojosongo, Boyolali. “Anak dari ODGJ korban perkosaaan itu sekarang sudah sekitar tujuh tahun, jadi kasusnya mungkin sudah delapan tahunan lebih,” cerita Nuri saat disambangi Solopos.com di rumahnya, Jumat (28/6/2023).

Nuri bercerita perempuan ODGJ itu diperkosa tetangganya yang sudah menikah sampai kemudian hamil. Kasus itu sempat dilaporkan ke polisi namun berujung damai dengan uang santunan Rp10 juta dari pelaku. Nuri sebenarnya menyesalkan akhir dari kasus tersebut.

“Ya bayangkan saja, dengan uang Rp10 juta tapi harus menanggung kehidupan bayi tersebut. Posisinya ODGJ itu juga anak, umur 16 atau 17 tahun,” jelas dia.

Nuri menduga hal itu karena faktor korban dan pelaku yang masih tetangga. Selain itu, relasi kuasa di mana pelaku lebih kaya dibanding keluarga perempuan ODGJ yang jadi korban perkosaan di Boyolali itu yang membuat akhir cerita kasus tersebut berakhir damai.

Idealnya, jelas Nuri, kasus tersebut berakhir dengan tanggung jawab pelaku. Salah satunya dengan hukuman pidana agar memberikan efek jera kepada pelaku dan calon-calon pelaku pemerkosaan kepada penyandang disabilitas lainnya.

Selain kasus tersebut, Nuri juga pernah menangani kasus pemerkosaan yang dialami penyandang disabilitas mental di Kecamatan Mojosongo.

ODGJ Purbalingga Curi Motor keluarga ODGJ Semarang masjid salaman magelang dirusak perusakan masjid magelang pencuri ODGJ Semarang perkosaan boyolali ODGJ
Ilustrasi orang dengan gangguan jiwa (ODGJ). (Dok. Solopos.com)

“Kasusnya mungkin sudah lebih dari tiga tahun, waktu itu ada pembangunan jalan tol di Kecamatan Mojosongo. Korbannya penyandang disabilitas yang berakhir dengan kehamilan. Nah, yang menghamili kuli di proyek jalan tol itu, tapi sampai akhir enggak ketahuan di mana,” kata dia.

Ada satu kasus lagi terkait pemerkosaan kepada anak penyandang disabilitas yang ditangani Nuri. Korbannya dua anak penyandang disabilitas yang merupakan kakak-adik pada 2021. Satu korban merupakan penyandang bisu-tuli, satu lagi penyandang disabilitas mental.

Pelakunya pacar dari sang ibu. Kejadian tersebut berhasil terungkap karena salah satu tante korban memergoki aksi bejat lelaki itu. “Untuk kasus tersebut, pelaku akhirnya dapat vonis hukuman penjara,” kata dia.

Relasi Kuasa Pelaku dan Korban

Nuri mengungkapkan penyandang disabilitas memang rentan menjadi korban kekerasan seksual karena pelaku biasanya menyepelekan kemampuan nalar dan intelektual korban. Pelaku merasa apa pun yang dilakukan kepada mereka tidak akan ketahuan.

Selain itu, kecerdasan mereka yang dianggap di bawah rata-rata membuat pelaku menganggap sang anak tidak dapat bercerita tentang kejadian yang dialami dengan baik kepada orang lain. Penyandang disabilitas bisu-tuli diasumsikan akan kesulitan menyampaikan apa yang mereka alami karena kesulitan komunikasi.

“Kemudian juga relasi kuasa, jadi semisal pelaku lebih kaya, ekonomi yang lebih bagus dari korban. Itu sebenarnya faktor-faktor yang membuat disabilitas rentan sekali jadi korban kekerasan seksual,” kata dia.

predator seksual Emon, polisi jual istri ke teman, RUU tindak pidana kekerasan seksual kekerasan seksual ugm kekerasan seksual di kampus, kekerasan seksual di kemenkop ukm pencabulan wonogiri murid MI kekerasan seksual boyolali
Ilustrasi kampanye antikekerasan seksual. (rdk.fidkom.uinjkt.ac.id)

Rentannya penyandang disabilitas menjadi korban kekerasan seksual juga diceritakan pendamping Komunitas Tuli Boyolali (Komtuboy), Malika, 37. Ia bergabung menjadi pendamping atau teman dengar (Tender) Komtuboy sejak 2013.

Selama itu, Malika menyebut paling tidak ada lima kasus kekerasan seksual yang menyasar penyandang disabilitas tuli dan semua korbannya perempuan. Ia tak menampik pada saat itu pendamping Komtuboy belum getol memberikan pendidikan seksual dan adab.

Baru pada 2020 hingga sekarang, pendamping Komtuboy lebih banyak dan aktif menyuarakan pendidikan seks, akhlak, bahkan mengaji sehingga kasus kekerasan seksual di kalangan Komtuboy berkurang.

“Sekitar 2014, itu ada satu perempuan tuli dihamili suami orang. Waktu itu, kami belum bisa memberikan pendidikan seks. Karena tipu daya itu, si tuli yang belum mengerti, akhirnya hamil. Pelakunya enggak tanggung jawab. Dia membesarkan anaknya sendiri dan mungkin baru menikah pada 2018 tapi bukan dengan orang yang menghamili,” ungkap dia.

Di waktu yang bersamaan kejadian serupa terjadi pada penyandang tuli yang juga hamil. Keluarga si perempuan kemudian meminta laki-laki yang menghamili bertanggung jawab. Pernikahan terjadi, tapi hanya seumur jagung. Perempuan penyandang tuli itu diceraikan tanpa alasan jelas sehingga ia kini jadi single mom (ibu tunggal) untuk anaknya.

“Ini kasus ketiga agak ngeri, dia [korban] masih sekolah waktu itu. Gurunya melihat ada perubahan bentuk tubuh di mana si anak semakin gemuk. Tiap ditanya, dijawab dia makannya banyak jadi gemuk. Gurunya lantas memiliki ide, agar semua murid perempuan diminta tes urine dengan dalih untuk tes narkoba padahal aslinya yang dites hanya anak tersebut dan itu tes kehamilan. Ternyata strip dua, guru-guru si anak langsung nangis,” cerita dia.

Kisah duka lain dialami perempuan penyandang tuli yang masih kategori anak asal Gladagsari, Boyolali. Anak tersebut menjadi korban pornografi daring saat masih SMP. Video dan foto si bocah yang tanpa busana karena sedang mandi sempat tersebar luas di jagad Facebook.

Pada akhirnya, masalah diselesaikan secara kekeluargaan oleh keluarga korban dan terduga pelaku. “Kemudian setelah korban ini kelas X SMA, dia tiba-tiba dijodohkan, lamaran. Dia tanya ke saya, Mbak Malika arti lamaran apa? Maksudnya tukar cincin apa? Terus saya jelaskan, dan dia kaget karena dia punya pacar. Jadi orang tua merencanakan dia untuk menikah di usia SMA,” kata dia.

Intervensi Pihak Lain

Kasus tersebut kemudian mendapatkan campur tangan dari dinas terkait, sehingga pernikahan dini dapat dicegah. Kasus kelima, jelas Malika, adalah perempuan tuli yang diperdaya sehingga mau diajak video call tanpa busana. Hal tersebut terjadi karena ketidaktahuan korban.

pernikahan dini anak kekerasan seksual perkosaan boyolali
Ilustrasi pernikahan dini. (Antara/dok. KPAI)

“Akhirnya kami menggelar pendidikan seks pada 2021 kemarin untuk teman tuli. Yang mengajar sukarelawan kami, kebetulan skripsinya berkaitan dengan itu, dijelaskan dengan Bahasa Isyarat Indonesia, jadi mereka mengerti,” kata dia.

Ia mengatakan tidak hanya di kelas pendidikan seks khusus tuli, di setiap kesempatan dan agenda lain seperti kelas Bahasa Indonesia dan kelas mengaji, selalu disisipkan pengetahuan tentang adab, etika, dan hal positif lain.

Lewat hal-hal yang telah dilakukan Tender Komtuboy, Malika berharap kasus-kasus serupa dapat berkurang bahkan hilang. “Ketika mereka tahu pegangan untuk hidup lurus, otomatis mereka akan berpikir semisal melakukan itu. Sebelumnya, pendidikan mereka terkait seks kan juga kurang, karena enggak ada yang mengajarkan,” kata dia.

Ketua Yayasan Penderita Cacat Mental (YPCM) Boyolali, Rosihan Ari Yuana, menyampaikan organisasinya juga memiliki fokus untuk memberikan pendidikan seksual kepada anak penyandang disabilitas.

Ia mengungkapkan anak penyandang disabilitas memiliki kerentanan untuk menjadi korban kekerasan seksual dua kali lebih besar daripada nondisabilitas.

“Hal ini disebabkan ketidakmampuan mereka untuk menghindar atau memberontak menjadikan mereka jauh lebih rentan mengalami kekerasan seksual, atau mereka tidak sadar/tahu ketika mereka sedang diganggu,” kata dia.

Ari menyampaikan edukasi terkait anggota badan yang boleh atau tidak boleh dipegang orang lain telah disisipkan di dalam kurikulum sekolah binaan YPCM Boyolali. Selain itu, YPCM Boyolali juga membekali guru dan orang tua terkait pendidikan seksual bagi anak dengan disabilitas.

“Orang tua dan guru menjadi sasaran sosialisasi karena merekalah yang sering berinteraksi dengan anak dan bisa memberikan edukasi kepada mereka,” kata dia.

Kampanye Perlindungan dari Kekerasan Seksual

YPCM Boyolali, terang Ari, juga telah menyusun dokumen kebijakan perlindungan anak yang telah disosialisasikan ke guru dan fasilitator anak difabel.



kekerasan seksual perkosaan boyolali
Ilustrasi tujuan penerbitan dan pemberlakukan Peraturan Menteri Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi. (itjen.kemdikbud.go.id)

Ke depan, YPCM akan mengampanyekan perlindungan seksual anak untuk masyarakat umum melalui media massa dan sosialisasi kepada warga di daerah anak binaan minimal area RT. Untuk membentuk semacam Satgas Pencegahan Kekerasan Seksual termasuk menyusun prosedur jika terjadi kekerasan seksual.

Ari menekankan pentingnya masyarakat juga sadar dengan keberadaan disabilitas dan memberikan perlindungan untuk mereka, bukan justru menjadi pelaku.

“Yang ingin kami capai dari segala usaha kami adalah kesadaran masyarakat, minimal pada anak dan lingkungan keluarganya tentang pentingnya pendidikan dan perlindungan seksual,” harap dia.

Terpisah, Kepala Dinas Pengendalian Penduduk Keluarga Berencana Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP2KBP3A) Boyolali, dr Ratri S Survivalina, mengatakan pada 2023 ini belum ada laporan kekerasan seksual yang korbannya penyandang disabilitas.

Namun, ia menyampaikan data semester I 2023 ini terdapat 12 kasus kekerasan berupa pelecehan seksual atau perkosaan. Selanjutnya, ia menyebut jika pada 2022 DP2KBP3A Boyolali telah melakukan intervensi mencegah pernikahan dini penyandang disabilitas tuli di Gladagsari.

“Anak itu kebetulan masih sekolah dan sekolahnya di SLB. Jadi kami melakukan pendampingan pada yang bersangkutan, keluarganya juga kami kondisikan,” jelas dia saat ditemui Solopos.com pada Kamis (6/7/2023).

Selain melakukan pendampingan kepada anak dan keluarganya, Lina mengatakan DP2KBP3A Boyolali juga melakukan intervensi ke sekolah anak dan memberikan advokasi ke gurunya.

Ia berharap nantinya guru tidak membuat kegiatan yang menjadikan anak depresi, namun dapat memotivasi anak agar berkembang terus potensinya.

“Jangan sampai kasus tersebut terulang kepada anak-anak yang lain sehingga dari guru bisa memberikan pendidikan seksual yang benar untuk anak didiknya,” kata dia.



 

Artikel ini merupakan bagian dari Workshop dan Fellowship Kekerasan Seksual dan Media yang Berperspektif Korban yang digelar Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia dan AJI Kota Surakarta.





Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya