SOLOPOS.COM - Beberapa pengujung duduk santai di kafe milik Sigit Setiawan yang dipenuhi ribuan buku, Senin (13/2/2023). (Solopos.com/Dhima Wahyu Sejati)

Solopos.com, SOLO—Sigit Pamungkas memulai membuka kafe di Ngasinan, Jebres, Solo yang dinamai Kafe Buku Lawas itu sejak 2018. Seperti namanya, dia tidak hanya menyediakan kopi, namun juga buku. Uniknya puluhan ribu buku yang memenuhi dinding kafe itu adalah buku rosok alias buku bekas.

Solopos.com mencoba memilah-milah buku dari rak ke rak yang terpasang di setiap sudut ruang. Ternyata, buku yang Sigit pajang tidak hanya buku-buku berbahasa Indonesia, namun juga berbahasa Belanda, Prancis, Jawa, dan Inggris. 

Promosi Beli Emas Bonus Mobil, Pegadaian Serahkan Reward Mobil Brio untuk Nasabah Loyal

Varian tahun terbitnya pun beragam, ada yang terbit 1950-an sampai 2010-an. Di deretan rak, ada buku bersejarah yang ditulis oleh tokoh paling berpengaruh Uni Soviet, Vladimir Lenin berjudul On Britain. Tidak tertera tahun berapa buku itu terbit, namun kumpulan tulisan Lenin itu kebanyakan ditulis 1905-1920-an. Buku itu hanya dijual Rp15.000.

Ketika ditanya kenapa harga buku bersejarah itu dihargai murah, dia sengaja agar masyarakat punya akses terhadap buku lebih mudah. Dia mengaku bukan pembaca, dia hanya kolektor dan penjaja buku.

“Dari pada hanya dipajang, saya punya misi agar buku-buku itu berada di tangan yang tepat, makanya saya jual murah,” kata dia kepada Solopos.com, Senin (13/2/2023).

Kafe miliknya sejak awal memang didesain layaknya perpustakaan, pengunjung bisa membaca buku di tempat dengan sensasi bau buku lawas yang khas. Namun buku-buku itu tidak boleh dibawa pulang.

“Kalau mau dibawa pulang harus beli dulu, itu harganya tertera di [halaman paling] belakang,” kata dia. 

Meski begitu, bukunya tidak dihargai mahal, bahkan ada buku yang hanya dijual dengan harga Rp5.000 seperti buku gubahan novelis perempuan Amerika yang juga pemenang Pulitzer Prize, Pearl S. Buck. Salah dua buku novelis Amerika yang ada di rak kafe milik Sigit itu seperti The New Year (1975, cet 7) dan The Good Earth (1960, cet 12).

Orang Indonesia dianggap tidak dekat dengan buku. Bahkan dalam survei yang dirilis oleh UNESCO menunjukan hasil yang mengkhawatirkan. Minat baca masyarakat Indonesia hanya di kisaran angka 0,001%. Jika diilustrasikan, dari 1.000 orang Indonesia, hanya 1 orang yang minat membaca. 

Namun, Sigit membantah hal itu. Nyatanya buku yang dipajang di kafe miliknya banyak yang meminati. Dia menegaskan meski orang Indonesia bukan kutu buku, lantas disimpulkan berarti orang-orang tidak berminat dengan buku. 

“Saya ini suka koleksi buku sejak zaman kuliah, tapi saya bukan pembaca [buku]. Kan tidak harus suka baca buat dekat dengan buku, la itu kebanyakan kolektor buku-buku langka itu kan bukan pembaca buku,” kata dia.

Niat dia tidak muluk-muluk, bagi Sigit banyak orang yang hanya sekadar berswafoto di depan buku-buku miliknya itu sudah bagus. Baginya, itu sudah merupakan bentuk orang-orang mencintai buku.

“Kan ekspresi cinta setiap orang beda. Ada yang mengekspresikan lewat membaca, ada yang hanya mengoleksi, ada yang hanya foto. Itu boleh-boleh saja to,” ujar dia.

Apalagi, jangan-jangan masalahnya bukan di minat baca orang Indonesia yang rendah. Namun, lebih spesifik lagi, sarana dan akses terhadap buku yang justru sangat minim. Sigit menyadari itu dan dia berusaha menghadirkan buku berkualitas tapi tetap murah, bahkan bisa diakses gratis.

Anggapannya soal orang Indonesia yang cinta buku didasarkan pada pengalamannya berjualan buku di kala pandemi. Seperti unit usaha lain, kafe miliknya ikut terdampak dan mengalami penurunan penjualan yang drastis.

“Siapa to, pas pandemi itu yang mau nongkrong beli kopi, wong keluar rumah saja takut. Itu lo jalan di depan kafe sepi,” kata dia.

Dia kemudian kepikiran mencoba menjual buku-buku yang dipajang di kafenya itu. Perlu diketahui, sebelum pandemi Sigit hanya menjual sebagian kecil buku koleksinya itu. Namun, ketika penjual kopi di kafenya sepi karena pandemi, dia mulai menjual semua buku yang ada di rak.

“Ketika diumumkan di media sosial kalau buku-buku koleksi saya itu dijual, langsung banyak yang datang. Padahal awalnya aku ragu, apa ada pas pandemi seperti ini ada yang mau beli buku, buku bekas meneh. Tapi ya banyak ki, malah kafe bisa jalan sampai sekarang ya berkat itu,” kata dia.

Atas dasar itu dia menyimpulkan orang Indonesia itu sebenarnya banyak yang mencintai dan meminati buku. Makanya dia buat konsep kafe miliknya dipenuhi ribuan bahkan puluhan ribu buku. 

“Aku mikir kira-kira apa ya yang unik, tapi beda, ya buku lawas. Nek buku baru kan enggak mungkin kita saingan sama Gramedia. Terus aku mikir apa yang cocok sama buku, akhirnya ya kopi itu,” kata dia.

Minatnya terhadap buku sudah ada sejak dia kuliah di Institut Seni Indonesia (ISI) Jogja 2013. Awalnya dia hanya mengoleksi buku-buku keris, mengingat dia mengambil kuliah S2 jurusan logam.

“Tapi lama-lama kok menarik ya lihat buku dipajang di rak. Terus karana aku ya sering cari buku, jadi banyak teman titip, makanya terus makin beragam,” ujar dia.

Kecintaannya terhadap buku, sampai membuatnya nekat melancong ke Eropa seperti Hungaria sampai Asia Timur seperti Jepang. “Modal nekat, wong Bahasa Inggris ya ora karuan. Nanti nek tersesat tinggal ke kantor KBRI,” kata dia.

Saat ini dia lebih banyak membeli buku dari pengepul rosok yang dibeli dengan harga kiloan. “Tapi kadang aku ya ambil dari perorangan, misal di rumah ada buku milik orang tuanya, terus dijual kiloan. Kalau bukunya bagus-bagus, ya harganya aku naikin biar yang jual ke aku seneng,” ujar dia.



Kini dia ingin mengembangkan kafenya dengan konsep yang lebih baru. Saat ini Sigit masih meminjam tempat milik kakaknya dan sedang mempersiapkan tempat baru yang lebih luas. “Tapi ini masih dibangun, masih lama. Nanti pengenku ada ruang pameran, raung diskusi, dan pasti tetep ada buku,” kata dia.

Penulis sekaligus editor lepas, Adib, bercerita pengalamannya memburu buku bekas, salah satunya di Kafe Buku Lawas. Menurut dia, buku bekas berharga selayaknya arsip.

“Meski bukan pemilik pertama dengan kondisi yang mulus, menurutku buku bekas masih punya nilai. kita seperti ditakdirkan untuk merawat atau meneruskan sejarah kepemilikan dari buku itu,” kata dia kepada Solopos.com, Senin (13/2/2023).

Adib mengaku suka berburu dan membeli buku-buku yang temanya menyangkut bahasa dan sastra. Dia lebih sering membeli buku bekas ketimbang baru. “Jelas harganya bisa dibilang murah, terjangkau, atau setidak-tidaknya ngga terpatok banget dengan harga buku saat masih segel. Terus bisa ditawar,” kata dia. 

Ketika bercerita dia sedikit mendramatisir bahwa tidak jarang ikatan emosional antara pembeli dengan penjual, jadi tidak urusan transaksional semata. Adib saat ini lebih banyak berteman dengan penjual buku bekas di sekitar Solo melalui sosial media.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya