SOLOPOS.COM - Agus Sudarno, perantau asal Dukuh Glagahombo, Desa Blumbang, Kecamatan Klego, Boyolali, yang sukses dengan usaha warung satai di rumahnya, Kamis (18/4/2024). (Solopos/Ni’matul Faizah)

Solopos.com Stories

Solopos.com, BOYOLALI — Lebaran yang baru saja berlalu menyisakan banyak cerita yang dibawa para pemudik mengenai perjuangan mereka di perantauan. Salah satunya Agus Sudarno, warga Dukuh Glagahombo, Desa Blumbang, Kecamatan Klego, Kabupaten Boyolali.

Promosi Beli Emas Bonus Mobil, Pegadaian Serahkan Reward Mobil Brio untuk Nasabah Loyal

Berjuang dari bawah sebagai penjual satai pikulan, kini Agus sukses memiliki usaha warung satai kambing sendiri. Tak hanya satu warung, melainkan lima warung cabang di seputaran Jakarta. Agus menjadi salah satu warga Boyolali yang membawa pulang kisah sukses di perantauan ketika mudik ke kampung halaman.

Ia pun berbagi kisah tersebut ketika ditemui Solopos.com di kediamannya, Dukuh Glagahombo, Kamis (18/4/2024) lalu. Agus mengawali ceritanya ketika ia nekat mengadu nasib di Ibu Kota dengan menjadi pedagang satai setamat SMA. Hanya satu niat Agus kala itu, memperbaiki ekonomi keluarga.

Ia mengakui dulu berasal dari keluarga miskin dengan rumah berdinding gedhek. Pada 1991, Agus ikut bekerja di warung satai pamannya yang juga berasal dari Glagahombo. Setahun bekerja ikut sang paman, ia diajari membuat satai hingga akhirnya memutuskan berjualan satai kambing keliling dengan cara dipikul.

Dalam waktu setahun berjualan satai pikulan, Agus berhasil mengumpulkan modal yang dia pakai mengontrak warung berukuran 3 meter x 10 meter untuk berjualan satai di daerah Kramat Jati, Jakarta, pada 1993.

Ia berjualan dengan merek dagang Warung Sate Solo Barokah Pak Agus. Tak hanya menjual satai kambing, ia juga menjual variasi lain seperti satai ayam, satai sapi, tongseng, sup, gulai, nasi goreng, satai goreng, dan lain-lain.

warga boyolali di perantauan
Salah satu cabang Warung Sate Solo Barolah Pak Agus milik warga asal Glagahombo, Blumbang, Klego, Boyolali, Agus Sudarno, di Jakarta. (Istimewa/Agus Sudarno)

Seiring waktu dan berkat kerja kerasnya, Agus yang awalnya ikut orang dan berjualan satai pikulan kini memiliki lima outlet satai kambing di sekitaran Jakarta.

“Saya kembangkan dan alhamdulillah diberikan kelancaran. Sekarang sudah memiliki lima warung cabang di Jakarta. Di daerah sini baru mau mulai di Gemolong, satu outlet,” jelas pria 52 tahun tersebut.

Warung yang awalnya mengontrak, sekarang tidak lagi menyewa akan tetapi sudah jadi milik sendiri. Ukuran warung Agus bervariasi tergantung tanah yang didapat, ada yang ukuran 10 meter x 12 meter, ada pula 7 meter x 15 meter.

Membentuk Paguyuban

Agus mengatakan usaha jualan satai dan tongseng di Jakarta bisa berkembang karena peminatnya sangat banyak. Sehingga, ia lebih mudah menjual dagangannya. Masing-masing warung ia bisa mempekerjakan memiliki 3-7 karyawan tergantung kebutuhan.

Walau telah hampir memiliki enam warung cabang, Agus tak ragu-ragu untuk terus terjun di lapangan memantau langsung kualitas dan rasa dari satai dan tongsengnya. “Tidak ada yang berubah, biasa saja karena ini adalah pekerjaan saya. Pagi saya ke pasar belanja lalu nanti potong kambing,” kata dia.

Walaupun begitu, ia sudah tak membakar satai atau membuat tongseng lagi karena telah ada pekerja yang bertugas. Pekerjanya bukan berasal dari Glagahombo karena kebanyakan warga Glagahombo juga memiliki warung sendiri. Pekerja ia rekrut dari desa, kecamatan, kabupaten, bahkan pulau lain.

Ditanya alasannya merantau dan memilih usaha berjualan satai kambing, Agus menjelaskan awalnya karena ia bingung tidak ada pekerjaan selepas tamat SMA. Orang tuanya yang kurang mampu kemudian menitipkannya ke kerabat di perantauan.

Salah satu cabang Warung Sate Solo Barolah Pak Agus milik warga asal Glagahombo, Blumbang, Klego, Boyolali, Agus Sudarno, di Jakarta. (Istimewa/Agus Sudarno)

Ia menjelaskan banyak perantau dari Glagahombo yang mengadu nasib dengan berjualan satai di wilayah Jabodetabek. Kini, dengan hasil kerja kerasnya di perantauan, ia bisa memperbaiki rumah orang tuanya dulu dari bambu, berlantai tanah, dan sempit.

Rumah itu sekarang sudah direnovasi, diganti dengan ornamen kayu jati, berlantai keramik, dan memiliki teras rumah berupa pendapa yang luas. Selain itu, ia yang dulu berangkat merantau dengan status lajang, dengan keuangan yang membaik akhirnya berani meminang gadis pujaannya dari desa sebelah.

Ia juga telah dikarunia tiga orang anak, yang pertama telah lulus kuliah dan menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN), anak kedua kelas XII SMA, dan anak ketiga kelas X SMA.

Sebagai informasi, Dukuh Glagahombo, Desa Blumbang, Klego, Boyolali, sejak lama dikenal sebagai kampung satai. Hal itu lantaran banyaknya warga setempat yang merantau dan menjadi pedagang satai di perantauan.

Saking banyaknya perantau dari Glagahombo, mereka kemudian membentuk paguyuban Ikatan Kerukunan Keluarga Glagahombo (IKKG) di Jabodetabek. Agus menyampaikan anggota dari IKKG saat ini sudah lebih dari 1.000 orang.

Gelombang Perantau

“Di sana seperti di kampung sendiri karena setiap saat bisa bertemu teman dan saudara. Bahkan setiap hari Minggu kami arisan grup, ganti-ganti, tiap pekan kami bisa bertemu,” kata dia.

Terpisah, Ketua IKKG se-Jabodetabek yang juga penjual satai di Jakarta, Sudadi, menyampaikan sebelum 1960-an beberapa warga Glagahombo menjadi pedagang satai keliling pikulan di Solo.

“Ada Mbah Karto, Mbah Saberi, dan lain sebagainya. Lalu, mereka bertemu pelanggan dan beliau tertarik untuk membawa tongseng, satai, gulai untuk dibawa ke Jakarta karena cukup khas dan menarik banyak konsumen,” kata dia.

warga boyolali di perantauan
Ketua Ikatan Kerukunan Keluarga Glagahombo, Sudadi (tengah), di Griya Sate IKKG, Dukuh Glagahombo, Desa Blumbang, Kecamatan Klego, Boyolali, Kamis (18/4/2024). (Solopos/Ni’matul Faizah)

Akhirnya, beberapa warga atas nama Jumiran, Karto, Saberi, dan Kamyono berangkat merantau ke Jakarta sekitar 1960-an. Mereka juga berjualan satai pikulan seperti saat di Solo sementara beberapa lainnya mencari pangkalan.

Jumiran membuat pangkalan di sekitar Pasar Rumput Minangkabau, Jakarta Selatan. Pangkalan satai dan tongseng Jumiran sangat ramai diserbu pembeli. Jumiran pun mempekerjakan beberapa warga Glagahombo untuk membantunya di sana. Saat itu, menu satai, gulai, dan tongseng kambing dinilai unik dan belum banyak pesaing.



“Awalnya menu hanya satai, gulai, dan tongseng. Namun, saat ini saya mencoba mengkreasikan tengkleng gongso selama 10 tahun terakhir ini,” kata dia.

Pada 1970-an, gelombang kedua perantau dari Glagahombo datang karena terdapat pelanggan dari Solo yang mengajak ke Jakarta untuk berjualan satai. Mereka merintis kios di wilayah Kalibata dan Cipete, Jakarta Selatan, dan ramai.

Sudadi sendiri mengaku baru mulai 1987 merintis usaha warung satai. Kemudian, pada 1990-an, beberapa saudara dan warga Glagahombo semakin banyak yang meratau ke Jakarta.

Mereka awalnya magang beberapa tahun di tempat saudara dan mempelajari resep satai, tongseng, dan gulai kambing. Setelah merasa mampu dan memiliki modal mulai membuka warung sendiri. Saat ini, kata Sudadi, ada ribuan warung satai milik warga Glagahombo di Jabodetabek.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya