SOLOPOS.COM - Slamet Raharjo mendorong becak yang berisi rongsokan miliknya di depan SMKN 5 Solo, Minggu (20/2/2022). (Solopos/Izzul Muttaqin)

Solopos.com, SOLO — Slamet Raharjo datang ke Kota Solo dari daerah asalnya di Ponorogo pada 1991 lalu untuk bekerja sebagai tukang becak. Namun, kini bukannya penumpang yang ia bawa melainkan barang rongsokan.

Becak Slamet sudah lama tak mengantar penumpang. Ia beralih pekerjaan menjadi pemulung karena mendapatkan penumpang untuk becaknya kian hari kian sepi.

Promosi Pegadaian Buka Lowongan Pekerjaan Khusus IT, Cek Kualifikasinya

Ditemui Solopos.com di kawasan depan SMKN 5 Jl Adi Sucipto, Solo, Minggu (22/2/2022), Slamet tampak duduk termenung. Tatapannya lurus dan kosong. Bahkan suara bising kendaraan di jalan tak mampu menbuyarkan lamunan pria berumur 47 tahun tersebut.

Baca Juga: Dari Wayang Orang, Pegiat Seni Sriwedari Solo Kini Merambah Ketoprak

Seorang istri, empat anak, ayah dan ibu yang sudah tua renta. Bayangan enam orang tercintanya itu menjadi pengisi lamunannya. Keinginannya untuk membahagiakan mereka belum juga sepenuhnya tercapai oleh mantan tukang becak di Solo tersebut.

Meski berat, Slamet tak mau berhenti berjuang. Ia bertekad terus bekerja dan bekerja. Ia bahkan rela menghabiskan waktu sehari semalam di jalanan. Tujuannya hanya satu. Mendapatkan uang sebanyak mungkin untuk dikirim ke keluarganya di Babatan, Ponorogo, Jawa Timur.

“Karena hanya dengan cara itu [memulung], saya bisa menghidupi mereka. Tidak masalah saya kepanasan dan kedinginan di jalan. Asal orang tua, anak dan istri saya bahagia, saya juga bahagia,” ujarnya.

Baca Juga: Sejarah Stasiun Solo Balapan, Dulunya Alun-Alun Utara Mangkunegaran

Perjalanan Hidup

Lebih lanjut, Slamet menceritakan perjalanan hidupnya. Menurutnya, awalnya ia adalah tukang becak di Solo. Ia mulai menekuni pekerjaan itu sejak 1991.

“Saya dari Ponorogo datang ke Solo untuk memaksimalkan kerjaan saya. Pada tahun itu, penumpang becak masih banyak. Pendapatannya juga lumayan,” ujarnya.

Namun dari tahun ke tahun, jumlah pelanggan semakin sedikit. Hal tersebut seiring bertambah banyaknya kendaraan bermotor seperti sepeda motor dan mobil.

Baca Juga: Menyusuri Jejak-Jejak Peninggalan Eropa di Kota Solo, Ada Apa Saja Ya?

“Kemudian sekitar empat tahun lalu, saya sudah mulai sulit menemukan penumpang. Kalau pun ada, jumlahnya tidak seberapa,” ungkapnya.

Akhirnya, Slamet pun memutuskan untuk berhenti jadi tukang becak di Solo. Ia berusaha mencari pekerjaan lain yang lebih layak. “Namun sayang, cari kerja juga sulit. Akhirnya, saya kembali memanfaatkan becak saya. Tapi bukan lagi untuk mencari penumpang. Melainkan untuk mencari rongsokan,” jelasnya.

Menurut Slamet, pendapatannya dalam satu hari dari hasil memulung barang rongsokan sekitar Rp60.000. “Itu pun kalau becak saya benar-benar penuh dengan rongsokan. Sedangkan untuk memenuhi itu semua, saya harus bekerja ekstra,” ungkapnya.

Baca Juga: BI Solo Dorong Transaksi Digital Pasar Tradisional Soloraya, Caranya?

Kiriman Uang untuk Istri

Bahkan, tak jarang ia menghabiskan waktu satu hari satu malam di jalan. “Kadang saya berangkat pagi dari tempat si Bos [pengepul rongsokan], dan baru pulang esok paginya lagi. Kebetulan saya tinggal di tempat milik juragan saya,” ujarnya tanpa menyebutkan lokasinya.

Saat ditanya adakah keinginan pulang ke Ponorogo, Slamet mengangguk. Hanya saja, hal tersebut bukanlah sesuatu yang mudah untuk dilakukan oleh mantan tukang becak di Solo itu. Butuh biaya dan waktu.

“Saya sudah sangat jarang bertemu istri. Terakhir saya pulang empat bulan yang lalu. Itu pun tidak lama di rumah. Bahkan saya pernah tidak pulang selama satu tahun,” ujarnya.

Baca Juga: BPJS Kesehatan: Mayoritas RS Kota Solo Belum Manfaatkan Klaim di Muka

Uang untuk istri, Slamet mengaku biasanya menitipkannya kepada tetangganya yang menjadi juragan kelapa dan sering ke Pasar Legi Solo. “Jadi uangnya saya titipkan agar disampaikan ke istri saya dan anak-anak saya. Saya berikan hampir semuanya untuk keluarga di Ponorogo. Mungkin saya hanya mengambil Rp5.000,” ucapnya.

Namun meski keadaannya cukup memprihatinkan, Slamet enggan mengeluh. Ia merasa apa yang terjadi pada dirinya adalah takdir Yang Maha Kuasa. “Karena itu, saya punya cita-cita anak saya sekolah tinggi. Kalau bisa sampai sarjana. Agar tidak seperti saya,” ucapnya berkaca-kaca.

Menurut Slamet, anaknya yang paling besar sudah duduk di bangku SMA. Sementara yang paling muda masih di bangku SD. “Bagaimana pun keadaannya, saya akan tetap berusaha menyekolahkan mereka,” tegasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya