SOLOPOS.COM - Relawan BPBD Boyolali menyalurkan bantuan air bersih ke tandon air di masjid Dukuh Randukuning, Desa Lampar, Kecamatan Tamansari, Boyolali, Rabu (23/8/2023). (Solopos/Ni’matul Faizah)

Solopos.com, BOYOLALI — Desa di kawasan lereng Gunung Merapi wilayah Boyolali tak luput dari dampak kekeringan dan krisis air bersih pada musim kemarau tahun ini. Warga di kawasan itu rutin mendapatkan bantuan air bersih.

Seperti pada Rabu (23/8/2023) siang, truk bantuan air bersih dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Boyolali dijadwalkan mengirimkan tiga tangki ke Desa Lampar dan dua tangki ke Desa Dragan, Kecamatan Tamansari di lereng Merapi Boyolali.

Promosi Pegadaian Buka Lowongan Pekerjaan Khusus IT, Cek Kualifikasinya

Salah satu truk tangki pembawa bantuan air bersih dari BPBD berhenti di masjid Dukuh Randukuning, Desa Lampar. Tidak seperti pemandangan di wilayah utara Boyolali yang biasanya langsung diserbu warga, truk tangki tersebut hanya disambut satu orang perangkat desa. Ia adalah Kadus I Desa Lampar, Geppi Susanto.

Air dari tangki langsung dialirkan ke tandon beratap dan berdinding batako di sebelah barat masjid. Bangunan tandon itu tertutup, hanya ada lubang berukuran 40 cm x 40 cm untuk memasukkan selang dari truk tangki ke dalam tandon.

Geppi mengatakan pengiriman bantuan air bersih di wilayah lereng Merapi Boyolali, khususnya Desa Lampar, memang berbeda dibandingkan daerah utara. Masing-masing warga Lampar memiliki tandon air berukuran besar, sehingga bantuan air bersih diserahkan ke fasilitas umum seperti masjid.

Bantuan air tidak dibagikan langsung kepada warga. Ia menjelaskan ada lebih dari 300 keluarga di wilayah Dusun I Desa Lampar dan semua rumah memiliki tandon air. Menurut Geppi, memiliki tandon air adalah keharusan bagi warga Desa Lampar.

Tandon itu untuk menampung air hujan dan persediaan saat musim kemarau. Geppi mengatakan Desa Lampar belum terjamah layanan air dari Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) sehingga warga menampung air hujan untuk kebutuhan sehari-hari.

Air hujan ditampung dengan cara membuat jalur khusus tepat di bawah genting sehingga air hujan mengalir ke tandon. Geppi mengatakan sebenarnya tidak hanya warga Dusun I yang mewajibkan warga punya tandon.

“Semua warga di Desa Lampar itu punya. Kalau istilahnya di sini itu desa 1.000 tandon karena saking banyaknya tandon,” ungkapnya saat berbincang dengan Solopos.com di Randukuning, Rabu.

Tandon yang dibuat warga desa di lereng Gunung Merapi, Boyolali, itu pun bukan sekadar tandon berukuran ratusan hingga 1.000-an liter seperti yang biasa dijumpai di rumah-rumah perkotaan. Tandon-tandon di Desa Lampar dibangun dengan dinding permanen sepanjang 5 meter-10 meter dan lebar 3 meter-4 meter.

desa lereng merapi boyolali
Kadus I Desa Lampar Boyolali, Geppi Susanto, menunjukkan tandon air di belakang rumah warga dusunnya, Rabu (23/8/2023). (Solopos/Ni’matul Faizah)

Sedangkan kedalamannya bisa 2 meter-6 meter dengan penutup yang cukup tinggi minimal hingga sedada atau leher orang dewasa agar tidak bisa dijangkau anak-anak. Penutup tandon di bagian atas terbuat dari genting, seng, asbes, atau kayu.

Geppi mengungkapkan warga membuat tandon secara mandiri. Kebanyakan tandon itu telah ada sejak lama sehingga ia tidak tahu pasti biaya pembuatan tandon air oleh masing-masing warga. Namun, ia memperkirakan biaya pembuatan tandon air bisa mencapai jutaan rupiah.

Solusi Kesulitan Air saat Kemarau

Tandon air yang dibangun masing-masing keluarga di Lampar menjadi solusi terbaik untuk masalah krisis air bersih yang melanda setiap musim kemarau.

Geppi mengatakan warga pernah berupaya membuat sumur dalam di desanya. Namun, setelah mengebor hingga 100 meter ke dalam tanah, air tak kunjung keluar. Dana sekitar Rp80 juta habis tanpa hasil.

Salah satu warga Lampar, Mardiyanti, 43, mengaku memiliki tandon warisan dari orang tuanya. Ia tidak tahu berapa biaya yang dihabiskan orang tuanya untuk membuat tandon itu.

Ukuran tandon di rumah warga desa di lereng Gunung Merapi, Boyolali, itu panjangnya 6 meter, lebar 3 meter, dan kedalaman 5 meter. Ia menceritakan orang tuanya dulu mengambil air di tandon menggunakan ember sehingga air di dalam tandon menjadi keruh dan harus disaring.

“Sekarang ini sudah pakai sanyo [pompa air bertenaga listrik], sudah ada filternya, jadi airnya bersih. Total saya pasang sanyo, filter, dan juga bak itu Rp500.000. Air ini yang saya pakai untuk kebutuhan konsumsi sama ngombor [memberi makan ternak],” kata dia.

Selama musim kemarau ini, ia mengaku telah membeli tiga tangki air yang masing-masing berisi 5.000 liter dengan harga Rp120.000/tangki. Satu tangki isi 5.000 liter biasanya habis dalam 15 hari.

Membangun tandon untuk solusi krisis air bersih tak hanya dilakukan warga Lampar, tapi juga warga Desa Dragan di Kecamatan Tamansari, Boyolali. Ketua RW 005 Desa Dragan, Suyatno, mengungkapkan semua warga di wilayahnya memiliki tandon air besar.

Fungsinya untuk menampung air hujan. Suyatno mengatakan hujan sudah jarang turun sekitar dua bulan lebih. Namun, ia mengatakan hingga Kamis (24/8/2023), simpanan air tadah hujan di tandon masih ada.

Namun demikian, untuk berjaga-jaga jika air habis, Suyatno mulai membeli air dalam tangki pada Jumat (25/8/2023) ini. Ia membeli langsung 10 tangki dengan harga Rp130.000 per tangki isi 6.000 liter. Ia mengatakan satu tangki air biasanya habis sekitar 17 hari untuk dipakai keluarga dan memberi pakan ternak.

“Yang lain sudah [lebih dulu] beli, dua sampai tiga tangki. Saya baru Jumat ini beli 10 tangki, tapi tandon saya belum penuh. Penggunaan dan kapasitas tandon tiap orang beda-beda,” kata dia.

desa lereng merapi boyolali
Kadus I Desa Lampar Boyolali, Geppi Susanto, bersama warga setempat, Mardiyanti, menunjukkan tandon air di belakang rumah Mardiyanti, Rabu (23/8/2023). (Solopos/Ni’matul Faizah)

Tandon milik Ketua RW yang berdomisili di lereng Merapi, Dukuh Tegalrejo, Desa Dragan, Tamansari, Boyolali, tersebut berukuran panjang 5 meter, lebar 2 meter, dan kedalaman 3 meter. Suyatno mengatakan di Dukuh Tegalrejo ada sekitar 73 keluarga dan semuanya memiliki tandon.

“Di Dragan, semuanya punya tandon air karena merasa itu sebuah kewajiban,” kata dia. Seperti di Desa Lampar, usaha untuk membuat sumur dalam di Desa Dragan juga pernah dilakukan. Sumur sudah dibor sedalam 115 meter, akan tetapi air tak kunjung keluar.



Bahkan, selama sekitar 10 hari terakhir, jelas Suyatno, ada lagi upaya pengeboran sumur dalam di sekitar Balai Desa Dragan. Ia berharap pengeboran sumur dalam tersebut dapat membuahkan hasil.

“Untuk pertanian, kami hanya mengandalkan air hujan. Sehingga di musim seperti ini kami sama sekali tidak menanam. Kalau pas musim hujan, kami menanamnya sejenis jagung dan palawija,” kata dia.

Antisipasi Kemarau sampai Awal 2024

Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Jawa Tengah atau Jateng memperkirakan musim kemarau disertai fenomena El Nino tahun ini akan berlangsung hingga awal 2024.

Kepala BMKG Jateng, Sukasno, mengatakan musim kemarau ini berbeda dibanding tiga tahun lalu. Jika biasanya musim kemarau hanya sampai September, akibat El Nino tahun ini diperkirakan mundur hingga Desember, bahkan Januari-Februari 2024.

“Kalau [dampaknya] di Jawa ini, termasuk di Boyolali, ini sudah tiga bulan lebih tidak ada hujan. Jadi berturut-turut 90 hari,” kata dia di Boyolali, Rabu (23/8/2023).

Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Boyolali, Suratno, mengatakan ada enam kecamatan yang masuk dalam peta rawan bencana kekeringan di Boyolali. Dari jumlah itu, lima di antaranya telah mengajukan permintaan bantuan air bersih.

Kelima kecamatan tersebut yaitu Wonosegoro, Wonosamodro, Kemusu, Tamansari, dan Juwangi. Satu kecamatan rawan kekeringan yang belum mengajukan bantuan air bersih yakni Musuk.

Kendati begitu, BPBD tetap bersiap jika Musuk atau pun kecamatan lain yang terdampak kekeringan membutuhkan bantuan air. Kesiapsiagaan BPBD, kata Suratno, dalam konteks siaga bencana kekeringan sebagai dampak El Nino dilakukan sesuai perkembangan. Saat ini anggaran tersedia Rp105 juta.

Suratno mengungkapkan diperlukan peran serta pemangku kepentingan lain seperti PMI, corporate social responsibility (CSR) perusahaan, dan organisasi masyarakat. Peran serta mereka sangat besar pengaruhnya dalam menanggulangi kekeringan di Boyolali.

Berdasarkan data, dalam sehari BPBD Boyolali rata-rata mengirimkan enam tangki, sehingga sepekan bisa 40-an tangki. Hingga Kamis (24/8/2023), Kecamatan Tamansari mendapat bantuan terbanyak dengan 41 tangki atau 225.000 liter.

Kemudian Wonosamodro mendapat 34 tangki atau 186.000 liter, Kemusu 22 tangki atau 122.000 liter, Wonosegoro 17 tangki atau 84.000 liter, dan Juwangi 4 tangki atau 20.000 liter.

Khusus Desa Lampar, Kecamatan Tamansari, sudah memperoleh bantuan air bersih 15 tangki atau 82.000 liter air bersih. Sedangkan Desa Dragan mendapat enam tangki atau 33.000 liter air.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya