Soloraya
Selasa, 22 Januari 2019 - 08:00 WIB

Kisah Unik Warga Sragen Berburu Kelabang demi Hasilkan Uang

Redaksi Solopos.com  /  Rohmah Ermawati  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Solopos.com, SRAGEN — Sekitar 50 warga Desa Tempelrejo, Mondokan, Sragen, Jawa Tengah, menggantungkan hidup dari hasil berburu kelabang. Salah satunya Alvi Andika, 23, warga Dusun Teguhan, Tempelrejo, yang mampu menangkap 50 kelabang dalam satu hari.

Pada Minggu (20/1/2019), Alvi Andika menyingkirkan tumpukan daun jati kering di sebuah kebun tak jauh dari rumahnya menggunakan batang kayu dengan ujung yang terbuat dari besi berbentuk letter L.

Advertisement

Seperti ayam yang sedang mencari makan, Alvi Andika terus mencari sesuatu di balik tumpukan daun kering itu. Setelah hampir 15 menit mencari, “santapan” yang ditunggu-tunggu itu akhirnya terlihat.

Seekor kelabang terlihat berlari menghindar. Binatang yang dikenal punya gigitan beracun itu berusaha bersembunyi di balik tumpukan daun. Dengan bantuan sebuah sabit, Alvi Andika berusaha menangkap binatang arthropoda di kelas chilopoda dan myriapoda itu.

Advertisement

Seekor kelabang terlihat berlari menghindar. Binatang yang dikenal punya gigitan beracun itu berusaha bersembunyi di balik tumpukan daun. Dengan bantuan sebuah sabit, Alvi Andika berusaha menangkap binatang arthropoda di kelas chilopoda dan myriapoda itu.

Saat paling menegangkan ialah ketika Alvi Andika berusaha memegang kepala dari kelabang itu. Jika meleset, ia bisa saja terkena gigitan sang kelabang yang bisa berakibat fatal. Saat hendak menangkap bagian kepala, kerap kali ada gangguan dari bagian tubuh dan ekor binatang ini.

Namun, Alvi yang sudah delapan tahun berburu kelabang ini terlihat mahir dalam memegang binatang ini. “Yang terpenting tangkap kepalanya dulu. Dua giginya harus segera dipotong menggunakan gunting. Dengan begitu, kelabang itu sudah tidak bisa menggigit,” jelas Alvi saat berbincang dengan wartawan di lokasi.

Advertisement

Di Balik Bebatuan

Dibutuhkan waktu dua hari supaya telapak tangannya tak lagi bengkak. Namun, nyeri itu seketika langsung tidak terasa setelah ia mendapat bayaran dari pengepul kelabang.

“Harga kelabang naik turun. Sekarang Rp2.200/ekor. Harga bisa naik jadi Rp3.100/ekor. Saya sendiri paling banyak pernah mendapat 50 ekor/hari. Kalau teman-teman saya yang sudah mahir berburu kelabang bisa dapat 100 ekor bahkan lebih/hari,” papar Alvi.

Advertisement

Dia menerangkan di Desa Tempelrejo, terdapat sekitar 50 warga yang menggantungkan hidup dengan berburu kelabang. Tak hanya di kawasan Sragen, mereka bergerilya berburu kelabang hingga Karanganyar, Ngawi, Boyolali, Klaten, hingga kawasan DIY.

Biasanya lahan tegalan yang bertanah merah menjadi habitat dari kelabang. Binatang ini biasa bersembunyi di balik tumpukan daun kering atau berlindung di balik bebatuan. Oleh warga, kelabang itu kemudian disetor kepada seorang pengepul. Mereka bisa langsung mendapat bayaran dari pengepul.

Bila bisa mendapat 100 ekor kelabang, warga tersebut bisa mendapat bayaran Rp220.000 dengan catatan harga satu ekor kelabang berada di titik terendah yakni Rp2.200/ekor.

Advertisement

Bila harga sedang naik menjadi Rp3.100/ekor, warga tersebut bisa membawa pulang Rp310.000 dari pengepul. Oleh pengepul, kelabang yang sudah mencapai 10.000 ekor baru dikirim kepada seorang eksportir di Jawa Timur.

“Sebelum diekspor, biasanya kelabang ini dikeringkan dahulu dengan cara dioven. Kalau dikirim dalam kondisi hidup nanti bisa membusuk. Setelah dioven, kelabang dikemas untuk diekspor ke Tiongkok dan Korea Selatan. Di sana, kelabang ini dijadikan bahan dasar pembuatan obat. Obat untuk apa saya kurang tahu,” ujar Suwito, 45, warga yang sudah dua tahun menjadi pengepul kelabang.

Advertisement
Kata Kunci :
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif