Soloraya
Senin, 17 Maret 2014 - 13:31 WIB

KOLOM : Ketika Unggah Ungguh Semakin Menjauh

Redaksi Solopos.com  /  Is Ariyanto  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

 

 

Advertisement

Ahmad Djauhar
djauhar@bisnis.com
Wartawan Jaringan Informasi
Bisnis Indonesia (JIBI)

”Kita tidak ingin berperang, namun jika harus bertempur dan pertahankan kedaulatan, kita sudah siap,” ujar Presiden dalam kicauannya di Twitter, Rabu (12/3) pukul 11.52 WIB.

Demikian bunyi salah satu alinea di berita politik Harian Bisnis Indonesia edisi Kamis pekan lalu. Di era Orde Baru, apabila Bisnis Indonesia atau surat kabar resmi lainnya menulis kalimat seperti itu, sangat dimungkinkan edisi hari berikutnya dan seterusnya tidak akan mengunjungi pelanggan setianya lagi.

Advertisement

Mosok, presiden disebut berkicau, disamakan dengan burung. Ini sebuah penghinaan alias insinuasi, yang tidak dapat diterima oleh bangsa Indonesia, karena tidak sesuai dengan tata krama atau unggah ungguh. Bukankah bangsa Indonesia menjunjung tinggi etika ketimuran?

Kira-kira demikian alasan pemberedelan sebuah media cetak yang dianggap berani menghina presiden di era Orde Baru. Sebuah era di mana insan pers harus pintar-pintar memilih kata demi kata untuk diterbitkan di media yang mereka kelola kalau tidak ingin mengalami nasib tragis berupa pemberedelan tersebut.

Kalaupun tidak sampai diberedel, ya mungkin diperingatkan dengan keras oleh Departemen Penerangan—instansi yang khusus membawahi dan membina media massa. Entah sudah berapa media ketika itu, alih-alih dibina justru dibinasakan.

Di era pascareformasi ini, yang kebetulannya kok ya berbarengan dengan marak dan meruyaknya apa yang disebut sebagai Internet, dan termasuk di dalamnya adalah media sosial, seperti Facebook, Twitter, Instagram, Path, dan banyak lagi ragamnya.

Advertisement

Dalam dunia media sosial, berbagai hal cenderung mengalami demokratisasi—atau lebih tepatnya terdegradasi—termasuk di antaranya adalah soal unggah ungguh itu tadi.

Media sosial ini sebenarnya memang bukan budaya Timur, dan keberadaannya dimaksudkan sebagai sarana berkomunikasi multiarah yang egaliter, tidak membedakan hierarki si pengguna, apakah dia kelas menak atau pun rakyat jelata.

Dick Cheney, mantan Menteri Pertahanan Amerika Serikat, menyebutkan bahwa keberadaan Internet dan media sosial yang sangat egaliter ini pun memengaruhi tatanan hubungan di kalangan masyarakat Amerika Serikat sekalipun yang pada dasarnya cenderung egaliter dari awal terbentuknya negeri tersebut.

“Dulu, rasanya saya memiliki jarak yang cukup jauh dengan staf sekretaris di mana saya berkantor. Namun, dengan kehadiran Internet dan media sosial ini, seolah-olah menghilangkan jarak tersebut. Saya bisa berkomunikasi langsung dengan mereka setiap saat dan di mana pun,” ujar Cheney suatu ketika.

Advertisement

Di sebuah perkicauan pagi ketika Jakarta sedang diluapi sejumlah genangan air, untuk tidak mengatakan banjir yang bagi warga ibu kota itu merupakan sebuah keyword amat menakutkan, beberapa waktu lalu, sekumpulan warga Cibubur sedang memperbincangkan kemacetan luar biasa di kawasan tersebut.

 

Menohok

Mereka pun tidak segan-segan ngrasani secara langsung Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), yang memang menjadi salah satu warga Cibubur, dengan cara melibatkannya melalui pencantuman akun @SBYudhoyono dalam perbincangan.

Advertisement

Sejumlah kicauan mungkin dapat dianggap menohok, misalnya, karena mengungkapkan bahwa keberadaan SBY sebagai warga aktif Cibubur ternyata tidak mampu memberikan imbas positif bagi warga kawasan yang selalu dirundung kemacetan lalu lintas cukup parah itu.

Terlebih ketika musim penghujan yang baru lewat, ruas jalan Cibubur-Cileungsi seakan-akan berubah menjadi tempat parkir massal ribuan kendaraan yang memadatinya gara-gara genangan air dan bottle necking di sebuah jembatan di atas Sungai Cileungsi.

Maka, sindiran terhadap @SBYudhoyono pun tak terelakkan, yang intinya berbunyi dia sebagai presiden enak saja melintasi ruas jalan tersebut karena sudah diamankan oleh sepasukan pengawal. Rakyat alias pembayar pajak tidak berdaya menghadapi kemacetan parah itu.

Meskipun diberi pesan langsung (mentioned) di pelbagai kicauan, SBY tidak menanggapinya. Beberapa ”bedinde” yang merupakan simpatisan SBY justru yang getol merespons dengan cara persuasif, misalnya dengan menjelaskan bahwa pemerintah sebenarnya sedang menyiapkan saran transportasi publik dan bla… bla… bla…

Mungkin SBY tidak merasa perlu menanggapinya karena kalau cuma gunjingan seperti itu, dianggapnya sebagai hal yang sangat biasa. Atau, dia percaya pada efektivitas sebuah peribahasa yang berbunyi: anjing menggonggong, kafilah berlalu.

Memang beda kalau gunjingan itu menyangkut diri pribadinya atau keluarganya, biasanya cepat sekali responsnya. Sikap seperti ditunjukkan SBY dalam bermedia sosial itu sebenarnya tidak salah, hanya saja menjadi kurang mengena, mengingat dia sebagai pejabat publik—yang ibaratnya, seluruh kegiatannya dibiayai rakyat, termasuk bersin sekalipun—seharusnya lebih responsif.

Advertisement

Toh bukan dia sendiri yang harus menjawabnya, melainkan sebuah tim yang ditugaskan khusus untuk keperluan itu. Kelihatan sekali bahwa dalam bermedia sosial, SBY masih menghendaki adanya jarak: sapa sira sapa ingsun.

Kalau sudah demikian halnya, efektivitas media sosial tidak akan optimal. Terlebih apabila dalam hati pemimpin negara, dan juga mereka yang merasa sebagai penguasa, menginginkan tetap berlakunya unggah ungguh seperti halnya yang berlaku dalam tatanan sosial sehari-hari, terutama di kalangan masyarakat Jawa.

Kalau di kehidupan nyata, bolehlah tatanan sosial seperti itu tetap diberlakukan, mengingat di masyarakat mana pun masih berlaku adanya manner, tata krama, maupun unggah ungguh seperti itu, termasuk di kalangan negara penganut sistem monarki-demokratis macam Inggris dan negara-negara Skandinavia.

Tapi, begitu memasuki dunia virtual macam media sosial, sekali lagi, tata krama yang digunakan adalah egaliter universal, karena hak setiap orang di platform tersebut adalah sama, tak peduli apa latar belakangnya.

Jangan-jangan, Presiden SBY baru belakangan ini memiliki akun Twitter sendiri gara-gara lama berpikir bahwa nantinya kalau dia mengekspresikan pikiran atau pendapatnya melalui media sosial berformat miniblogging sepanjang 140 karakter itu, media atau pun khalayak akan berinteraksi dengannya tanpa unggah ungguh, termasuk berani menyebut ”SBY sedang berkicau”.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif