Soloraya
Sabtu, 8 Juni 2013 - 06:00 WIB

KONFLIK KERATON : "Keraton Kehilangan Orientasi

Redaksi Solopos.com  /  Ahmad Mufid Aryono  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

SOLO — Memanasnya kemelut internal Keraton Solo membuat keprihatinan sejumlah pihak termasuk budayawan. Budayawan Solo menilai kondisi Keraton Solo mengalami disorientasi karena perebutan kekuasaan antar kerabat Keraton.

Budayawan Solo, Jlitheng Suparman, mengatakan perjalanan Keraton Solo sekarang tidak lepas dari kondisi bangsa Indonesia.

Advertisement

“Semua terjebak dalam liberalisasi dan kapitalisme. Di Keraton tidak ada semangat kebersamaan, siapa yang kuat dialah yang menang. Sekarang keraton disorientasi, bahkan kehilangan orientasi, gelap. Keraton mau dibawa kemana sudah kehilangan arah,” jelas Jlitheng saat dihubungi Solopos.com, Jumat (7/6/2013).

Lebih lanjut, Jlitheng memaparkan sosok Raja Solo yang semestinya mempunyai kekuasan mutlak di dalam Keraton seolah dipermainkan dengan adanya kepentingan sejumlah pihak. Menurutnya, kini Raja Solo hanyalah simbolis yang tak mempunyai taring martabat dan kekuasaan. “Raja dipasung oleh kekuatan dari berbagai aspek mulai dari politis hingga internal Keraton. Siapa penguasa Keraton saat ini sudah tidak jelas,” jelas dia.

Disinggung soal ketidakhadiran Paku Buwono (PB) XIII dalam Tingalan Jumenengan Dalem ke-9 yang berlangsung Selasa, (4/6/2013) lalu, menurut Jlitheng, merupakan dampak liberalisasi.

Advertisement

“Setiap raja berhak mengikuti paugeran konvensional yang sudah ada sejak dulu. Sekarang ini kekuasaan sudah dipengaruhi oleh kepentingan tertentu,” tutur pria yang berprofesi sebagai dalang ini.

Untuk penyelesaian kemelut internal Keraton Solo, Jlitheng menginginkan Keraton kembali pada ideologi bangsa Indonesia yakni Pancasila. Keraton saat ini perlu belajar pada semangat Pancasila. “Dulu Keraton menjadi sumber untuk merumuskan Pancasila, sekarang kebalikannya. Kalau tidak masih seperti sekarang, jangan berharap akan perduli terhadap nasib Keraton ke depan. Sebenarnya warga perduli kepada Keraton, tapi ketika melihat Keraton sekarang terjebak urusan materialisme, akhirnya simpatik masyarakat berkurang. Dan secara tidak sadar, justru itulah yang bisa memerlakukan kerabat Keraton sendiri,” jelas dia.

Advertisement
Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif