SOLOPOS.COM - FIRASAT -- Salah satu kerbau keturunan Kiai Slamet yang merupakan pusaka Keraton Solo terlihat berdarah setelah bertarung dengan sesamanya beberapa waktu lalu. Pertarungan dianggap menjadi firasat terjadinya konflik baru di Keraton Solo. (JIBI/SOLOPOS/Dwi Prasetya)

FIRASAT -- Salah satu kerbau keturunan Kiai Slamet yang merupakan pusaka Keraton Solo terlihat berdarah setelah bertarung dengan sesamanya beberapa waktu lalu. Pertarungan dianggap menjadi firasat terjadinya konflik baru di Keraton Solo. (JIBI/SOLOPOS/Dwi Prasetya)

Konflik yang kembali pecah di Keraton Solo di tengah proses rekonsiliasi yang berlangsung antara PB XIII Hangabehi dan Tedjowulan tak luput dari pengamatan Gunadi alias Babe.

Promosi Pegadaian Resmikan Masjid Al Hikmah Pekanbaru Wujud Kepedulian Tempat Ibadah

Maklum, dia adalah salah satu abdi dalem yang perannya cukup penting, yaitu sebagai penjaga dan perawat kerbau bule keturunan Kiai Slamet, yangmerupakan salah satu pusaka penting Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Bahkan Gunadi sangat khawatir jika ada firasat-firasat buruk yang terlihat dari perilaku kerbau-kerbau itu yang lantas menimpa Keraton.

Karena itulah, akhir-akhir ini dia kerap terjaga hingga dini hari. “Sejak kerbau-kerbau keturunan Kiai Slamet berkelahi, saya waswas terus. Sebab, biasanya ada firasat bakal ada gegeran di dalam Keraton,” kata Babe.

Babe dan kerbau-kerbau bule keturunan Kiai Slamet memang seperti satu saudara sekandung. Ia tak hanya merawat, namun juga terbiasa tinggal dalam satu atap kandang bersama kerbau. Saking dekatnya hubungan batin mereka itu, Babe pun paham betul apa yang dirasakan kerbau-kerbau bule itu. Bahkan, menjelang pertarungan dua kerbau bule beberapa waktu laku, malam harinya Babe merasa ada yang aneh dari perilaku kerbau bule. “Ternyata, esoknya mereka bertarung sampai berdarah-darah di alun-alun,” ujarnya.

Kekhawatiran atas firasat dari kerbau itu pun akhirnya terwujud kemarin siang. Gunadi menyaksikan insiden petengkaran yang sempat pecah di Kori Kamandungan Lor antara PB XIII Hangebehi dan KGPHPA Tedjowulan dengan sejumlah kerabat Keraton yang melarang mereka berdua masuk. “Saya dengar, katanya pintu Keraton ditutup saat Sinuhun mau masuk Keraton ya?” tanya Babe. “Saya itu heran, kenapa ya keluarga Keraton kok susah sekali rukunnya?” ungkapnya sekali lagi.

Sebagai seorang abdi dalem Keraton, kesedihan Babe itu mungkin sebuah ungkapan kejujuran. Ia mengabdi sebagai perawat kerbau bule hanya menerima gaji Rp50.000/ bulan. Selebihnya, Babe harus bekerja bersama istrinya untuk menghidupi keluarganya. Dan ketika Malam Satu Sura menjelang, Babe adalah orang yang paling sibuk mempersiapkan kondisi kesehatan kerbau-kerbau bule itu.

Babe melakukan itu semua demi sebuah pengabdian. Ia percaya bahwa kerbau-kerbau yang ia rawat selama ini mampu berkomunikasi dengannya meski melalui bahasan isyarat. Itulah sebabnya, Babe rela terjaga hingga larut malam demi menjaga kerbau-kerbau di kandangnya agar tak terlibat dalam bentrokan lagi. “Sebelum kerbau bule tidur, saya rela tak tidur sampai larut malam. Semoga ini doa saya,” papar Babe.

Pria asli Banjarsari, Solo ini rela melakukan itu semua demi sebuah harapan yang luhur. Bukan saja untuk menghindari bentrokan antrarkerbau keturunan kiai Slamet. Namun, juga untuk sebuah doa mulia agar keluarga Keraton bisa kembali rukun dan terciptanya kuncoro di dalam Keraton. “Yang bisa saya lakukan ya hanya lewat pengabdian ini. Kalau kerbau-kerbau bisa hidup rukun, saya berharap keluarga Keraton juga bisa rukun,” paparnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya