SOLOPOS.COM - Sejumlah selter Galabo tutup karena pedagang mogok berjualan, Solo, Senin (10/3/2014) malam. Aksi tersebut terkait dengan protes pengelola yang tidak mengeluarkan meja dan kursi pada Sabtu (8/3/2014) kemarin. (Ardhiansyah IK/JIBI/Solopos)

 Solopos.com, SOLO--Sedikitnya 21 pedagang di Pusat Kuliner Gladak Langen Bogan (Galabo) melakukan aksi mogok berjualan Senin-Selasa (10-11/3/2014) malam. Sebelumnya pada Sabtu (9/3/2014) malam,  mereka juga mengadakan aksi mogok.

Dari total 30 pedagang yang berjualan di Galabo, 21 pedagang memilih tutup. Sementara sembilan pedagang lainnya tetap membuka lapak.

Promosi Selamat! Direktur Utama Pegadaian Raih Penghargaan Best 50 CEO 2024

Ketua Paguyuban Pedagang Galabo, Agung Wahyu Hidayat mengaku pedagang menggelar aksi tutup lapak lantaran menginginkan transparansi honor dari Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) Kuliner. Mereka juga meminta kejelasan status ketenagakerjaan Tim Pengelola.

“Pada tahun 2008 dulu, kami bekerjasama dengan tim pengelola yang dulunya disebut petugas pelaksana lapangan ini. Kami dengan petugas pelaksana sepakat sistem kerjanya begitu. Kami yang berdagang, mereka menata piranti dagangan. Kami bertanggung jawab membayar mereka,” terang Agung.

Bayaran itu, urai dia, dikumpulkan per hari senilai Rp10.000 untuk tiap pedagang yang berjualan. “Kalau dulu sebelum ada UPTD, per hari Rp15.000 untuk tiap pedagang. Sekarang sudah turun jadi Rp10.000,” katanya. Dikatakan lebih lanjut, biaya senilai itu digunakan untuk membayar Tim Pengelola dan kebutuhan listrik. “UPTD Kuliner baru dibentuk 2012, sehingga selama empat tahun per harinya kami membayar Rp15.000 itu,” tambah Agung.

Paguyuban mengaku tidak tahu menahu bagaimana Tim Pengelola itu direkrut. “Statusnya apa, kami tidak mengerti. Karena dulunya mereka sudah ada di situ [Galabo]. Dan sekarang ini mereka malah mendapat honor dari UPTD,” ujar Agung. Pihak paguyuban merasa keberatan harus membayar Tim Pengelola ditambah dengan retribusi dan pajak. “Kami terus terang kedodoran kalau terus menerus membayar sebesar Rp10,5 juta per bulan untuk Tim Pengelola, masih ditambah biaya retribusi dan pajak,” tambahnya.

Jika Tim Pengelola itu mendapatkan honor dari UPTD, urai Agung, seharusnya mereka adalah karyawan UPTD. “Kami sudah tanya hal itu kepada UPTD, tapi kata UPTD, Tim Pengelola itu bukan karyawan mereka,” jelas Agung.

Paguyuban juga merasakan hal aneh tatkala musti membayar Tim Pengelola, sementara mereka bukan berstatus karyawan paguyuban. “Kalau kami membayar mereka, harusnya mereka bisa kami angkat atau berhentikan. Tapi kenyataannya tidak. Mereka merasa ada yang mendelegasikan,” paparnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya