SOLOPOS.COM - Ilustrasi investiasi perdagangan daging anjing dari DMFI. (Istimewa)

Solopos.com, SOLO — Catatan sejarah menunjukkan tradisi makan daging anjing di Soloraya sudah muncul pada akhir abad ke-19 atau seratusan tahun lalu, yang membuatnya tertinggi se-Jawa Tengah. Laporan Dog Meat Free Indonesia (DMFI) pada 2020 menyebut sebanyak 13.700 anjing dibantai di Soloraya untuk dikonsumsi. 

Berdasarkan data tersebut, Kota Solo menjadi kawasan paling tinggi mengonsumsi daging anjing. Umur tradisi yang sudah seratusan tahun itu terekam dalam artikel di Majalah Bromartani edisi 25 Agustus 1881. Surat kabar pertama berbahasa Jawa itu kali pertama terbit di Solo pada 25 Januari 1855. 

Promosi Strategi Telkom Jaga Jaringan Demi Layanan Telekomunikasi Prima

Bromartani mengisahkan warga Tionghoa di Solo yang mengonsumsi daging dan tulang anjing sambil mabuk-mabukan. Budaya mabuk-mabukan juga mewabah pada saat itu, yang lantas menjadikan daging anjing sebagai cemilan.

Hal tersebut disampaikan Dosen Sejarah Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Heri Priyatmoko, kepada Solopos.com, Rabu (27/4/2022) silam. Anjing atau asu atau segawon atau kadang guk-guk dibawa bangsa Eropa di pengujung akhir abad ke-19. 

“Anjing merupakan binatang tak bertuan di kawasan Asia Tenggara. Jadi, kesenangan konsumsi daging anjing dibawa Belanda, ditradisikan pendatang Tionghoa, dan jadi usaha penduduk Solo abangan-nonmuslim,” jelasnya. 

Berdasarkan ulasan di Majalah Bromartani tersebut, keberadaan Tionghoa yang membawa kebiasaan mabuk dan makan anjing mendapat restu dari kerajaan Solo. Bahkan di salah satu kampung di Solo, Gemblekan, penduduk Tionghoa diberikan satu kawasan untuk mendirikan pabrik pengolahan arak.

Istilah omben-omben alias minum minuman keras juga dilaporkan majalah itu tertanggal 28 Juni 1883.  Kala kaping 6 Juni. Wanci jam 12 dalu. Pun brama wijaya tiyang ing Kampung Resaniten ajal jalaran mentas sami dem-deman angunjuk jenewer”. (Tanggal 6 Juni. Pukul 12 malam. Ada orang di Kampung Resaniten mati lantaran mabuk minum jenewer–ciu.”)

Hingga saat ini, olahan daging anjing masih terus dikonsumsi warga Soloraya. Di Solo saja, Dinas Pertanian, Ketahanan Pangan, dan Perikanan (Dispertan KPP) Kota Solo mencatat ada 22 warung yang menjual olahan daging anjing. Puluhan warung itu per harinya membutuhkan pasokan 84 ekor anjing.

Pendataan tersebut dilakukan pada pertengahan 2019 lalu. Puluhan warung itu mayoritas menyembelih sendiri dan beberapa mengambil pasokan daging dari warung besar. Salah satu warung terbesar di daerah Nusukan sekurangnya menyembelih 30-35 ekor per hari, sedangkan warung terbesar kedua di Gilingan sekitar 20-an ekor.

Solopos.com pernah melakukan penelusuran asal muasal suplai daging anjing ke Soloraya pada November 2018 silam. Ada penyuplai yang memasok seratusan ekor anjing setiap pekan ke sejumlah warung di Soloraya. Anjing-anjing itu sudah dipesan sehingga langsung laku setelah didatangkan.

Anjing-anjing itu didatangkan dari beberapa daerah di Jawa Barat, utamanya, Tasikmalaya. Di daerah asalnya, anjing-anjing itu sengaja diternak dan disuplai ke pengepul yang lantas sampai ke Soloraya. 

Suplai anjing dari luar daerah dilakukan karena sudah tidak ada anjing lokal. Ada beberapa anjing liar dan jamaknya adalah anjing yang dipelihara. Umurnya sekitar enam, tujuh bulan sampai satu tahun. 

Puguh Wahyudi, Hastho Yulianto, Anis Trisna F., Lutfi Nur Amalina, dan Agus Jaelani dalam Situasi Perdagangan Daging Anjing di Indonesia (2020), menggelar survei di 46 daerah pada Oktober 2018 hingga November 2019 mengenai perdagangan daging anjing di Indonesia.

“Perdagangan daging anjing telah terjadi di beberapa wilayah di Indonesia yang telah menjadi perhatian nasional dan internasional. Banyak pihak yang menuntut agar perdagangan daging anjing segera dihentikan, namun hal ini tidak mudah.”

“Sebab menyangkut berbagai dimensi kehidupan baik sosial, politik, ekonomi, hukum, dan budaya,” tulis peneliti dalam Subdit Kesejahteraan Hewan, Direktorat Kesehatan Masyarakat Veteriner Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian tersebut.

Pemotongan anjing dilakukan tanpa mempedulikan aspek teknis kesehatan masyarakat veteriner dan kesejahteraan hewan. Proses pemotongan daging anjing dapat berpotensi menularkan penyakit zoonosis (rabies) dan penyakit lainnya seperti salmonella, ring worm, dan kecacingan. 

Berita ini telah disunting pada beberapa bagian pada Kamis (28/12/2023) pukul 09.51 WIB karena ada kekurangan akurasi. Mohon maaf.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya