Soloraya
Minggu, 31 Oktober 2021 - 18:11 WIB

Kopi Lepen, Sensasi Wedangan Sambil Keceh di Boyolali

Cahyadi Kurniawan  /  Haryono Wahyudiyanto  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Pengunjung menikmati makanan dan minuman sembari merasakan air sejuk mengalir di kaki di Kopi Lepen, Dukuh Bendan, Desa Bendan, Kecamatan Banyudono, Boyolali. Foto diambil beberapa waktu yang lalu. (Solopos.com/Cahyadi Kurniawan)

Solopos.com, BOYOLALI—Jamaknya orang wedangan, tradisi minum teh atau kopi di Jawa, dilakukan di angkringan atau semacam hik. Namun, di warung kopi ini, pengunjung bisa menikmati wedangan sembari duduk-duduk menikmati air sungai yang mengalir jernih.

Menariknya, di sela-sela obrolan dan makan di meja tengah sungai itu, ada bocah-bocah berendam. Mereka sibuk memeriksa sela batu-batu kali berharap mendapatkan udang atau kepiting. Ada juga yang menangkap ikan menggunakan jaring kecil di tangan.

Advertisement

Wedangan itu kian terasa sejuk berada di bawah pohon gayam raksasa. Airnya jernih tak ada sampah plastik. Sungainya tak berbau. Begitulah sedikit gambaran saat orang wedangan di Kopi Lepen, Pengging.

Baca Juga: Polisi Sita 1.462 Botol Miras Milik IRT Muda di Jogonalan Klaten

Advertisement

Baca Juga: Polisi Sita 1.462 Botol Miras Milik IRT Muda di Jogonalan Klaten

Owner Kopi Lepen, Intan Wulandari, mengatakan ide itu bermula ketika ia kerap mampir jajan ke Jogja menikmati makan di resto dengan konsep alam. Di rumah, ia terbersit memanfaatkan sungai di belakang rumahnya untuk membuat wedangan bernuansa serupa.

“H+1 Lebaran tahun ini buka. Ini namanya Kali Guyangan. Kebetulan airnya jernih. Kalau hujan tinggi airnya paling sebetis, masih di bawah lutut,” kata Intan, saat berbincang dengan Solopos.com  di warungnya Dukuh Bendan, Desa Bendan, Banyudono, Boyolali, pekan lalu.

Advertisement

Baca Juga: Berenang Tanpa Khawatir Covid-19 Berlebihan di Umbul Ponggok

Ada sejumlah aturan yang harus dipatuhi pengunjung selama wedangan di Kopi Lepen. Pengunjung dilarang membuang sampah sembarangan, dilarang membongkar batu-batu kali. Untuk meminimalisasi sampah, pengelola sengaja tidak menyediakan tisu.

“Kalau ada tisu nanti buang sembarangan lagi. Pagi dan sore setelah tutup dibersihkan. Kalau sudah tutup, meja dan kursi dinaikkan lagi. Itung-itung terapi kaki karena dasar sungai masih alami,” ujar Intan menceritakan harus bolak-balik angkat-junjung medan dan kursi ke sungai.

Advertisement

Menurut Intan, tren pengunjung di Kopi Lepen bergerak positif. Apalagi pada tanggal merah, Sabtu atau Minggu biasanya tempat dipenuhi pengunjung. Bahkan, ada beberapa tamunya datang dari Jogja, Cianjur, atau kawasan lain di Jawa Barat yang sekadar ingin membuktikan jernihnya air sungai di Kopi Lepen ini.

Baca Juga: Berenang Tanpa Khawatir Covid-19 Berlebihan di Umbul Ponggok

Tak hanya itu, Kopi Lepen juga andil dalam memberdayakan warga sekitar. Semua makanan yang disajikan di wedangan ini adalah titipan warga. Ia juga mengajak sejumlah lulusan sekolah “angkatan corona” untuk ikut bekerja di tempat usahanya.

Advertisement

“Ada 10 orang lulusan sekolah yang belum bekerja saya ajak kerja di sini. Selain itu ada beberapa ibu-ibu juga membantu di dapur,” terang dia.

 

Cocok untuk Keluarga

Lokasi wedangan ini, lanjut Intan, cocok untuk keluarga. Maka itu, Intan sengaja tidak menyediakan fasilitas internet gratis berupa wifi di wedangannya. Ia berharap keluarga yang makan dan keceh di situ bisa lebih banyak menghabiskan waktunya untuk mengobrol ketimbang menghadap layar ponsel masing-masing.

Baca Juga: Jadi Jutawan karena Tol, Puluhan Penerima PKH Klaten Bakal Dicoret

“Jadi gak saya kasih wifi. Biar mereka ngobrol sama keluarga bukan main HP. Anak-anak bisa mengenal biota sungai. Anak-anak pulang bawa udang, yuyu [kepiting], ikan kecil-kecil,” tutur Intan.

Salah satu pengunjung Kopi Lepen, Aulia Putri, mengatakan wedangan di Kopi Lepen memberikan pengalaman berbeda. Suasananya adem dan bisa menikmati air mengalir di kaki. Hal ini berbeda dengan wedangan di perkotaan yang menawarkan interior artistik dan instagramable.

“Di sini suasananya baru. Beda dengan di kota-kota kebanyakan di ruangan. Yang di alam cuman ada di Tawangamangu. Terus juga kalau ke kafe-kafe di kampus bosen,” kata perempuan asal Pabelan, Kartasura ini.

 

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif