SOLOPOS.COM - Sejumlah warga di Dukuh Glagah, Desa Dukuh, Kecamatan Tangen, Sragen, Kamis (12/9/2013), mengambil air di belik-belik sungai. (Ika Yuniati/JIBI/Solopos)

 Sejumlah warga di Dukuh Glagah, Desa Dukuh, Kecamatan Tangen, Sragen, Kamis (12/9/2013), mengambil air di belik-belik sungai. (Ika Yuniati/JIBI/Solopos)


Sejumlah warga di Dukuh Glagah, Desa Dukuh, Kecamatan Tangen, Sragen, Kamis (12/9/2013), mengambil air di belik-belik sungai. (Ika Yuniati/JIBI/Solopos)

Matahari mulai merambat naik. Namun, suasana di sungai kering tengah Dukuh Glagah, Desa Dukuh, Kecamatan Tangen, Kabupaten Sragen itu, Kamis (12/9/2013) masih ramai.

Promosi Selamat! Direktur Utama Pegadaian Raih Penghargaan Best 50 CEO 2024

Sejumlah warga yang mayoritas ibu-ibu tua itu asyik mengambili air dari belik buatan mereka yang dibuat di gundukan pasir tengah sungai.

Kanggo pakan sapi Mbak. Liyane dienggo masak mbi nggodhok wedang [Buat memberi minum sapi Mbak. Lainnya digunakan memasak dan merebus air],” ucap Parmiatun sembari mengambili air di belik dengan gayung kecilnya.

Menggunakan kelenting dan ember kecil, Parmiatun, dan beberapa warga lain rupanya sudah terbiasa mengambili air dari belik sepanjang sungai yang jumlahnya hampir puluhan itu. Jarak antara rumah dengan tempat pengambilan air yang hanya sekitar setengah kilometer membuat para perempuan yang rata-rata bekerja sebagai petani tadah hujan ini tak pernah mengeluh meski harus mengambil air berulang-ulang.

Dalam sehari, mereka bisa mengambil air belik sebanyak enam hingga delapan kali. Air-air tersebut mereka gunakan untuk memasak, memberi minum hewan piaraan dan untuk persediaan di rumah. Sementara, untuk aktivitas mandi dan mencuci, biasanya dilakukan di sungai.

Setiap pagi sekitar Pukul 08.00 WIB dan sore Pukul 16.00 WIB biasaya, sungai yang dinamai Glagah itu bakal dipenuhi warga sekitar yang ingin mandi atau mencuci. Mereka bahkan tak sungkan untuk mandi di kali karena dinilai lebih efektif. Sementara itu, menginjak siang, sepulang dari tegal, biasanya beberapa warga bakal kembali datang ke sungai untuk mandi atau mengambil air yang akan digunakan sebagai campuran pakan ternak mereka.

Resapan air di belik yang hanya sedalam 20 centimeter dengan diameter 30 centimeter itu tak pernah mati. Airnya terlihat bening dan tak berbau. Itulah sebabnya, masyarakat RT 33 dan sebagian RT 32 Dukuh Glagah, Desa Dukuh, Tangen, menjadikan belik sebagai tumpuan saat kemarau.

Pasalnya, banyak sumur yang kering. Sementara, bantuan air bersih dari pemerintah jarang mampir ke tempat mereka. “Saya tinggal di sini [Dukuh Glagah] sejak kecil. Sejak dulu, setahu saya belum pernah dapat bantuan air. Untungnya, menggunakan belik ini kami bisa cukup,” kata wardga RT 33, Dukuh Glagah, Tangen, Parni.

Meski sumber air diambil dari belik di kali kering, Parni, tak pernah merasa khawatir dengan kebersihannya. Ia yakin air dari belik itu justru menyehatkan. Pasalnya, rutinitas mengambil air belik untuk memasak itu sudah ia lakoni sejak lama dan tak pernah ada masalah. Biasanya, air khusus untuk dikonsumsi, dibiarkan mengendap agak lama dulu sebelum akhirnya dimasak.

Sebenarnya, saat musim kemarau, masyarakat sekitar masih memiliki alternatif sumber mata air selain belik, yaitu dari sumur buatan yang dibuat di tengah kebun atau tegal. Namun, karena minimnya jumlah sumur, warga yang ingin mengambil air biasanya harus mengantre panjang. Itulah sebabnya, banyak yang lari ke sungai dan membuat belik-belik kecil.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya