Soloraya
Selasa, 15 Agustus 2023 - 15:46 WIB

Kubur Kepala Kerbau, Uniknya Tradisi Mahesa Lawung di Krendowahono Karanganyar

Birgita Armasda  /  Kaled Hasby Ashshidiqy  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Wilujengan Mahesa Lawung Karaton Kasunanan Surakarta Hadiningrat di Hutan Krendowahono. (warisanbudaya.kemdikbud.go.id)

Solopos.com, KARANGANYAR — Upacara adat Mahesa Lawung merupakan tradisi turun-temurun yang terus dilestarikan oleh Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Tradisi yang sejak era dinasti Mataram ini dilakukan di Hutan atau Alas Krendowahono di Desa Krendowahono, Kecamatan Gondangrejo, Kabupaten Karanganyar.

Salah satu ciri khas upacara Mahesa Lawung adalah mengubur kepala kerbau di hutan yang dikenal angker itu selain mempersembahkan berbagai sesaji. Tradisi yang telah ditetapkan sebagai warisan budaya tak benda pada 2021 ini bertujuan bertujuan membuang sial atau sifat buruk manusia melalui penguburan kepala kerbau.

Advertisement

Mengutip dari warisanbudaya.kemdikbud.go.id, Jumat (11/8/2023), Pengageng Budaya Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, Kanjeng Pangeran Aryo (KPA) Satrio Hadinegoro, menyebut upacara adat Mahesa Lawung dilakukan setiap Senin atau Kamis di Rabiul Akhir atau bulan keempat dalam kalender Jawa.

Kepala kerbau yang dijadikan sesaji tidak bisa kepala kerbau biasa. Kerbau yang akan disembelih sebagai persembahan utama ritual adat Mahesa Lawung haruslah kerbau umbaran, masih muda, perjaka atau belum pernah dikawinkan, serta belum digunakan tenaganya untuk keperluan manusia.

Advertisement

Kepala kerbau yang dijadikan sesaji tidak bisa kepala kerbau biasa. Kerbau yang akan disembelih sebagai persembahan utama ritual adat Mahesa Lawung haruslah kerbau umbaran, masih muda, perjaka atau belum pernah dikawinkan, serta belum digunakan tenaganya untuk keperluan manusia.

Umbaran maksudnya adalah merupakan kerbau liar atau kerbau ternak, namun tidak dikandang. Selain itu belum pernah digunakan untuk membajak sawah, mengangkut barang, menyeret gerobak atau lainnya.

Prosesi menyembelih kerbau menggunakan aturan penyembelihan dalam Islam yaitu dengan membaca Al-Fatihah dan kalimat takbir. Cucuran darah yang pertama kali keluar saat disembelih diambil sebagai syarat sesaji. Beberapa bagian tubuh kerbau seperti kepala, daging, paru, hati, dan jantung ditempatkan di sebuah bejana tempat sesaji lalu dibawa ke dalem Gondorasan untuk diolah sebagai sesaji. Sedangkan sisa daging yang tidak diperlukan sebagai akan dibagikan kepada para abdi dalem yang bertanggung jawab menyembelih kerbau.

Advertisement

Dalam tradisi ini terdapat makna yang lebih luas. Tradisi ritual Mahesa Lawung tercetus dari kepercayaan manusia bahwa Tuhan menciptakan dunia tidak hanya untuk manusia, namun juga menciptakan makhluk yang bersifat gaib. Manusia dianugerahi akal dan budi oleh Tuhan Yang Maha Esa, merasa perlu untuk dapat menjalin dan memelihara keharmonisan antar makhluk ciptaan Tuhan.

Sedangkan bagi Keraton Kasunanan Surakata Hadiningrat, tradisi ini juga sebagai upaya menjaga kerharmonisan hubungan dengan penguasa gaib yang turut andil dalam menjaga kelestarian keraton.

Simbol Kepala Kerbau

Makna dari simbol Sesaji Mahesa Lawung adalah syarat terpenting dalam upacara tradisi ini. Sesaji merupakan ungkapan harapan atau doa yang diwujudkan dalam bentuk persembahan tersebut. Sesaji yang digunakan dalam tradisi ritual Mahesa Lawung dibagi jadi beberapa hal, salah satunya adalah Sirah Mahesa.

Advertisement

Sirah Mahesa adalah sesaji berupa kepala kerbau yang diberi sangsangan bunga melati dan sepasang sumping gajah oling yang kemudian diletakkan pada sebidang kayu berbentuk bulat dan ditutup dengan kain kafan. Sesaji inilah yang nantinya dikubur di hutan Krendowahono.

Kepala kerbau yang dikubur di hutan Krendowahono ini sebagai lambang pemberantasan kebodohan. Kerbau dalam filosofi Jawa identik dengan perlambangan kebodohan, seperti unen-unen dalam bahasa Jawa yang berbunyi “bodho longa-longo kaya kebo” berarti orang bodoh diibaratkan seperti kerbau yang hanya melongo.

Pepatah Jawa ini menggambarkan bahwa kerbau adalah lambang ketidakberdayaan. Apalagi kerbau yang digunakan dalam upacara pemujaan ini semuanya adalah kerbau yang masih muda, liar, belum pernah dikawinkan dan belum terpakai tenaganya.

Advertisement

Artinya, ketidaktahuan atau kebodohan masyarakat yang sangat-sangat buruk, terutama para pemuda, harus segera diberantas, karena pemuda adalah penyangga berdirinya suatu negara.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif