SOLOPOS.COM - Ilustrasi petani. (Reuters)

Solopos.com, WONOGIRI — Dinas Pertanian dan Pangan (Dispertan) Wonogiri menganjurkan petani agar secara bertahap beralih menggunakan pupuk organik. Selain sebagai alternatif atas kebijakan pengurangan jenis pupuk bersubsidi, hal itu sekaligus sebagai cara mengembalikan kesuburan tanah yang selama ini dinilai rusak karena penggunaan pupuk kimia.

Sebagai informasi, Pemerintah melalui Peraturan Menteri (Permentan) No. 10/2022 tentang Tata Cara Penetapan Alokasi dan Harga Eceran Tertinggi Pupuk Bersubsidi Sektor Pertanian menetapkan hanya memberikan dua jenis pupuk subsidi, yaitu urea dan NPK. 

Promosi Pegadaian Buka Lowongan Pekerjaan Khusus IT, Cek Kualifikasinya

Sebelumnya, berdasarkan Permentan No. 41/2021 tentang Penetapan Alokasi dan Harga Eceran Tertinggi Pupuk Bersubsidi Sektor Pertanian, pupuk bersubsidi yang disediakan pemerintah mencapai enam jenis. Masing-masing meliputi urea, NPK, ZA, SP 36, pupuk organik granul dan cair.

Pengawas Alat dan Mesin Pertanian Dispertan Wonogiri, Niken Agustina, mengatakan pengurangan jenis pupuk bersubsidi sudah mulai diterapkan di Wonogiri sejak pertengahan 2022. Ada beberapa alasan mengapa kebijakan itu diterapkan pemerintah.

Pemerintah ingin petani tak bergantung dengan pupuk kimia bersubsidi dan beralih menggunakan pupuk organik. Pemerintah menilai saat ini kesuburan lahan pertanian di Indonesia menurun akibat penggunaan pupuk kimia secara terus menerus.

Baca Juga: Wonogiri Selalu Surplus Beras Tiap Tahun, Ini Daftar Produksi Padinya

Pemerintah mendorong petani untuk beralih menggunakan pupuk organik yang dinilai ramah lingkungan. Selain itu, bahan pupuk bersubsidi saat ini sedang langka.

Bahan pupuk bersubsidi di Indonesia banyak diimpor dari Rusia. Sementara negara tersebut sedang dalam masa perang dengan Ukraina yang mengakibatkan pasokan bahan pupuk bersubsidi tersendat.

Sebangun dengan hal tersebut, Dispertan Wonogiri segera memberikan pelatihan-pelatihan pembuatan pupuk organik kepada petani di 25 kecamatan di Wonogiri begitu kebijakan itu diterapkan.

“Ada pelatihan pembuatan pestisida nabati, hayati, nitobacter, dan pupuk organik cair. Pelatihan itu diberikan kepada kelompok-kelompok tani di semua Kecamatan di Wonogiri,” kata Niken kepada Solopos.com di kantornya, Kamis (15/12/2022).

Baca Juga: Kisah Petani Wonogiri Tetap Memilih Pupuk Kimia daripada Pupuk Organik 

Melalui pelatihan itu dinas mengharapkan petani menerapkan pelatihan tersebut sekaligus bisa menjadi alternatif atas kebijakan pengurangan jenis pupuk bersubsidi. Selain bisa menekan biaya produksi, petani bisa mengimplementasikan pertanian yang ramah lingkungan saat menggunakan pupuk organik.

Kendati begitu, pihaknya tidak memungkiri jika pupuk organik cair tidak bisa langsung menggantikan peran dan fungsi pupuk kimia bersubsidi. Dia mengamini pendapat sejumlah petani jika hasil panen yang didapatkan dari penggunaan pupuk organik lebih kecil dibandingkan menggunakan pupuk kimia. 

“Memang begitu, efek penggunaan pupuk organik tidak langsung kelihatan jika lahan pertanian sebelumnya sudah terdapat pupuk kimia. Sebab, tingkat kesuburan lahan itu sudah menurun. Tapi bukan berarti efek pupuk organik tidak bisa sebaik pupuk kimia,” ujar dia

Butuh waktu yang tidak instan agar pupuk organik dapat memberikan hasil panen yang sama dengan pupuk kimia di lahan yang diberi pupuk kimia. Proses penghilangan residu atau zat kimia yang menyebabkan tanah tidak subur membutuhkan waktu bertahun-tahun. Oleh karena itu, pemerintah tidak menuntut petani langsung secara total pakai pupuk organik.

Baca Juga: Pemkab Wonogiri Sabet 3 Penghargaan, dari Rebranding Kopi hingga Mi Ayam Instan

“Yang kami maksud, petani bisa secara bertahap mengurangi penggunaan pupuk kimia dan diganti pupuk organik. Misalnya, saat ini perbandingan penggunaan pupuk kimia dan organik sebesar 75% banding 35%. Setelah itu berhasil, porsi pupuk organik ditambah, perbandingannya jadi 50% banding 50%, begitu seterusnya sampai penggunaan pupuk kimia itu sangat minim dan digunakan sebagai penunjang saja,” ucapnya.

Salah satu petani di Jendi, Selogiri, Wonogiri, Nur Kholis, sependapat dengan apa yang dikatakan Niken soal penggunaan pupuk organik. Sudah sejak lima tahun terakhir, Kholis sudah menerapkan pertanian ramah lingkungan.

Hampir 100% persen pupuk yang ia gunakan untuk tanaman padinya merupakan pupuk organik. Hasil panen yang ia dapatkan pun tidak kalah dengan petani yang menggunakan pupuk kimia.

“Saya menggarap lahan seluas satu bau [0,8 ha]. Biasanya, sekali panen bisa dapat 3 ton gabah. Hasilnya sama dengan petani lain yang pakai pupuk kimia. Malahan, modal produksinya lebih rendah pakai pupuk organik. Hanya memang harus kerja lebih giat. Modalnya dalam sekali masa tanam biasanya Rp5 juta. Dengan harga gabah, misalnya Rp4.000 kg, berarti saya bisa dapat Rp12 juta sekali panen,” kata Kholis saat ditemui Solopos.com di sawahnya di Selogiri, Jumat (16/12/2022).

Baca Juga: Kandang di Pinggir Jalan Raya, Sapi Milik Lansia Nguntoronadi Raib Dicuri

Dia menjelaskan, pemberian pupuk organik pada tanaman biasa dilakukan setiap 25 hari sekali. Sementara jika menggunakan pupuk kimia hanya dua kali dalam sekali masa tanam.

Tapi, kelebihan menggunakan pupuk organik, padi tidak mudah terserang penyakit. Daya tahan padi terhadap hama jadi kuat. Hal itu berbeda dengan padi yang menggunakan pupuk kimia yang lebih rentan terserang hama. 

“Memang saya dulu tidak langsung pakai pupuk organik. Melainkan secara bertahap. Sekarang hampir penuh pakai pupuk organik, ada pupuk yang beli, ada yang buat sendiri. Kalau buat sendiri biasanya pakai air kencing kelinci, akar bambu, dan kotoran ternak. Sisi lainnya, dengan pakai pupuk organik, hasil beras yang saya produksi itu sehat. Tidak berbahaya bagi tubuh manusia,” ucap dia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya