SOLOPOS.COM - Tangkapan layar kawasan Sriwedari menggunakan Google Earth, 21 Agustus 2002.

Solopos.com, SOLO -- Lahan Sriwedari Solo segera dieksekusi setelah Pengadilan Negeri (PN) Solo menerbitkan kembali surat penetapan eksekusi pengosongan paksa Sriwedari pada 21 Februari 2020.

Kalangan legislator DPRD Solo menyesalkan langkah PN Solo tersebut lantaran telah membuat masyarakat resah. Legislator meminta PN Solo bijaksana dalam menangani permasalahan yang muncul sebelum lahan Sriwedari Solo dieksekusi.

Promosi Selamat! Direktur Utama Pegadaian Raih Penghargaan Best 50 CEO 2024

“Saya harapkan pengadilan bersikap bijaksana. Karena sampai saat ini pemahaman DPRD lahan Sriwedari itu asetnya Pemkot,” ujar Ketua FPDIP DPRD Solo, Y.F. Sukasno, saat diwawancarai Solopos.com melalui telepon seluler (ponsel), Jumat (6/3/2020) siang.

Keyakinan DPRD Solo bahwa lahan Sriwedari merupakan aset Pemkot yaitu sertifikat Hak Pakai (HP) Nomor 40 dan Nomor 41. Atas dasar itu APBD Solo mengalir ke lahan Sriwedari seperti untuk Gedung Wayang Orang (WO) Sriwedari.

Angin Kencang Solo Tumbangkan Pohon di Jl. Ki Mangun Sarkoro, 2 Tiang Listrik Patah Timpa Motor

“DPRD mengalokasikan anggaran pasti ada dasar hukumnya. Bila tak ada itu [dasar hukum] ya salah,” kata dia.

Sukasno melihat keluarnya putusan PN Solo terkait eksekusi lahan Sriwedari telah membuat masyarakat gelisah. Ada beberapa elemen masyarakat yang selama ini menggantungkan hidup di lahan Sriwedari seperti pedagang, seniman dan budaya.

Eksekusi Lahan Sriwedari Solo Dinilai Cacat Hukum

“Begitu mendengar itu [eksekusi] jadi resah. Saya lihat sudah berdampak resahnya warga,” urai dia.

Pendapat senada disampaikan Ketua Komisi I DPRD Solo, Suharsono, saat diwawancarai wartawan. Mantan kuasa hukum Pemkot Solo dalam kasus sengketa lahan Sriwedari itu menilai putusan eksekusi tidak sesuai hukum acara perdata.

Kisah Inspiratif Warga Sragen Kembalikan Motor Curian Yang Dibeli ke Pemilik Aslinya

Mestinya eksekusi dalam sebuah perkara hanya bisa dilaksanakan satu kali. “Hukum acara perdata mengatur eksekusi atas satu perkara itu kalau sudah dilaksanakan, hanya satu kali," jelas Suharsono.

Menurut Suharsono, eksekusi sengketa Sriwedari sudah terlaksana pada 1982. Eksekusinya bangunan-bangunan di lahan sengketa itu dikompensasi Pemkot Solo, bukan sewa. "Artinya dibeli ditukar dengan uang,” kata Suharsono.

Meninggal Penuh Luka, Inikah Identitas Wanita Bertato Burung Hantu?

Begitu juga untuk lahan Sriwedari, menurut dia, sudah dinyatakan sebagai hak guna bangunan (HGB) yang sah hingga 23 September 1982. Di sisi lain, Suharsono menilai putusan pengadilan yang menyatakan lahan Sriwedari adalah hak ahli waris cacat hukum.

Hal itu karena objeknya sudah berbeda, luasan dan batasnya pun sudah lain. “Sekarang ada eksekusi lagi karena putusan pengadilan tahun 1982 itu dimasukkan lagi dalam gugatan, ditambahkan dengan putusan PTUN tentang hak pengelolaan yang cacat hukum, kemudian dijadikan sebuah dalil. Dalil itu menyatakan tanah Sriwedari adalah hak ahli waris. Nah ini sebetulnya, putusan yang cacat hukum,” terang dia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya