SOLOPOS.COM - Pengunjung mengamati karya lukis yang dipajang pada Pameran Tunggal Seni Rupa Fadjar Sutardi di Taman Budaya Jawa Tengah (TBJT), Jebres, Solo, Kamis (23/2/2023). (Solopos.com/Putut Hartanto)

Solopos.com, SOLO—Laku spiritualitas dan misi dakwah perupa asal Sragen, Fadjar Sutardi, 62, tersampaikan melalui 160-an lukisan yang ditampilkan di pameran tunggal bertajuk Moderatograp di Taman Budaya Jawa Tengah Solo, Rabu (23/2/2023) sampai Minggu (26/2/2023).

Fadjar yang kesehariannya juga sebagai petani, pengajar, sekaligus penceramah ini melukis dalam bentuk abstraksi atau nonrealis. Hampir seluruh tema lukisannya membawa nuansa spiritualitas seperti menampilkan unsur kaligrafi arab dan nukilan dalil agama Islam.

Promosi Lebaran Zaman Now, Saatnya Bagi-bagi THR Emas dari Pegadaian

Tidak hanya tentang laku spiritualitas, lukisannya juga memuat misi dakwah yang berusaha dia sampaikan melalui karya seninya itu. Meski Fadjar sendiri mengatakan dakwah tersebut dimaksudkan untuk dirinya sendiri

“Misi dakwahnya bahwa iman itu tidak sama, sesama muslim iman pun tidak sama. Nah kalau sesama muslim itu mengklaim ada yang paling benar itu perlu didakwahi atau perlu dipahamkan kalau yang paling benar itu Allah,” kata dia kepada Solopos.com, Rabu (23/2/2023) malam.

Melalui pengalamannya sebagai penceramah dari kampung ke kampung, dia melihat masyarakat terkadang terjebak pada fanatisme buta dan berujung pada sikap merasa paling benar. 

“Sehingga misi dakwah lewat lukisan ini sebenarnya hanya untuk pribadi saya agar saya tidak lupa pada fanatisme buta. Tapi juga pada masyarakat yang hari ini punya perilaku yang merasa paling sempurna, merasa paling hebat dan sebagainya itu,” kata dia.

Melalui sifat merasa paling benar itu, menurut dia sampai terjadi perseteruan di masyarakat. Ini membuat dirinya resah dan merasa perlu mengambil jalan tengah untuk berdakwah.

“Di antara perseteruan itu kita perjuangkan bahwa [dakwah ke] masyarakat tidak perlu keras-keras begitu, tetapi mengambil jalan tengah. Jalan tengah itu, pakai pendekatan yang moderat,” ujar dia.

Dia kemudian menunjukan kepada Solopos.com, satu lukisan yang diberi judul Ahad. Lukisan di atas canvas berukuran 100×140 cm itu menggambarkan beberapa simbol, seperti paku yang menyerupai huruf hijaiyah alif. Paku yang dilukis nampak melengkung dan rapuh. 

“Paku itu karatan. Sebenarnya kalau dibalik kan alif. Tapi alif yang salah pakai juga bisa digunakan untuk saling membenci, nah tugas kita itu meluruskan paku-paku yang bengkok itu,” kata dia. 

Menurut dia, paku itu boleh saja dimaknai sebagai masyarakat yang perlu didakwahi. “Tapi kan tetap harus pelan-pelan, jangan sampai masyarakat sudah karatan, terus malah [berdakwah dengan cara] keras, nanti bisa patah,” ujar dia.

Di bagian pinggir kanan lukisan itu terdapat tulisan latin berbunyi ‘ahad’. Fadjar mengaku terinspirasi dari kisah seorang budak kulit hitam di masa Nabi Muhammad bernama Bilal bin Rabah ketika disiksa majikannya.

“Bilal mengatakan ahad, ahad, ahad. Nah, ahad ini sudah cukup. Jadi kalau dakwah itu tidak perlu macam-macam, itu tidak usah,” kata dia.

Jalan dakwah, atau pun laku spiritual seharusnya dilalui lewat jalan tengah. Dia sampaikan itu melalui tema pameran tunggalnya, yaitu Moderatograp. Moderato diambil dari kata moderat yang bisa berarti jalan tengah. Sedangkan grap dalam konteks ini diartikan sebagai lukisan karya Fadjar.

“Moderatograp sebenarnya kita ambil dari jalan tengah itu, dalam teks [literatur arab] kan kalimatul sawa, artinya umat yang tengah. Nah itu tugas kita bagaimana bisa hidup berdampingan dengan siapapun,” terang Fadjar.

Kurator yang juga Dosen Prodi Pendidikan Seni Rupa FKIP UNS Solo, Nanang Yulianto, menuturkan setidaknya sudah sejak 2010-an Fadjar Sutardi melukis secara konsisten dengan nuansa spiritual yang kental.

Menurut Nanang, berkesenian yang Fadjar lakukan adalah upaya dirinya sebagai makhluk Tuhan untuk bersyukur atas nikmat yang sudah dirasa. “Utamanya berupa akal dan perasaan yang sehat,” kata dia.

Karya yang ditampilkan Fadjar, menurutnya, elemen visual seperti bentuk, warna, dan garis yang dipilih tidak mengesankan riuh atau ramai. “Namun malah berkesan senyap, hening, dan sepi,” ujar dia.

Lebih jauh dia menyebut karya-karya yang dipamerkan Fadjar Sutardi itu seakan-akan mengajak manusia untuk menunduk, merendah, dan merasa tidak memiliki apapun di hadapan Tuhan.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya