Soloraya
Kamis, 20 Oktober 2011 - 09:06 WIB

(Laporan Khusus) Fatimah tak mau Kota Solo hancur oleh kemarahan

Redaksi Solopos.com  /  R. Bambang Aris Sasangka  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Fatimah (JIBI/SOLOPOS/Aries Susanto)

(Solopos.com) –Kerusuhan di Solo yang pecah 20 Oktober 1999, yang dipicu kemelut politik terkait pemilihan presiden di Gedung MPR/DPR di Jakarta, terjadi hanya setahun sejak kerusuhan Mei 1998 yang membawa keruntuhan rezim Orde Baru. Peristiwa ini sangat mengguncang warga kala itu. Namun banyak warga Solo yang dengan spontan melawan aksi kekerasan yang merugikan itu. Berikut ini salah satu kisah warga tersebut.

Fatimah (JIBI/SOLOPOS/Aries Susanto)

Advertisement

Fatimah hanyalah pedagang kecil di emperan Pasar Klewer Solo. Namun, ia memiliki andil besar dalam meredam emosi warga Solo di awal pergolakan reformasi negeri ini.

Ketika kerusuhan pembakaran Balaikota Solo pecah 20 Oktober 1999 silam, perempuan yang sehari-hari berjualan aneka kerajinan dari kain perca batik itu, langsung berlari menuju stasiun-stasiun radio di Solo. Tujuannya tak lain ialah menyerukan kepada warga Solo agar tak bertindak anarkistis.

Ketika massa bergerak menuju Pasar Klewer, ia adalah orang yang berdiri di baris terdepan memasang barikade menyelamatkan pasar konveksi terbesar di Jawa Tengah itu dari penjarahan. ”Saya itu orang biasa. Tapi pas ada kerusuhan itu, saya tiba-tiba berani dan harus bertindak untuk menyelamatkan Solo,” kata dia kepada Espos.

Advertisement

Fatimah adalah saksi mata ketika detik-detik pembakaran Balaikota itu pecah. Siang hari, ketika penghitungan suara pemilihan presiden di Jakarta tengah berlangsung menegangkan, suasana Solo tak kalah tegang. Saat itu, Fatimah yang tengah menyimak siaran televisi di Balaikota merasakan ada kegalauan begitu perolehan suara Megawati dalam pemilihan presiden oleh para anggota DPR di Jakarta tersaingi Gus Dur. ”Di mana-mana terdengar percakapan, pokoknya Mega harus jadi presiden,” kisah Fatimah.

Ketika perolehan suara Gus Dur sudah tak terkejar lagi, saat itulah Fatimah memutuskan kembali ke Pasar Klewer. Namun, ia terkejut bukan kepalang. Sebab, di tengah perjalanan ke Pasar Klewer ia menyaksikan ratusan massa bergerak penuh amarah di Jl Slamet Riyadi. ”Saya langsung bergegas ke Klewer untuk mengemasi barang dagangan. Saya membatin, pasti bakal ada peristiwa besar di Solo,” kenangnya.

Benarlah, apa yang dibatin Fatimah itu menjelma kenyataan. Fatimah yang tak sempat istirahat, langsung kembali ke Balaikota dan menyaksikan kobaran api membara di sana. ”Saat itu, saya ingin menjemput teman saya. Tapi ternyata Balaikota sudah penuh dengan massa yang membakar,” kisahnya.

Advertisement

Sebagai warga Solo yang juga simpatisan PDIP, Fatimah tahu betul apa yang mesti dilakukannya. Ia pun langsung bergegas ke stasiun RRI Solo dan radio swasta lainnya. Dengan spontan ia meminta diberi kesempatan untuk menyerukan bahwa Solo bukan tempat bakar-bakaran dan tumpahan kekesalan.

Tak hanya itu, Fatimah juga langsung meminta para pedagang Klewer untuk turun ke jalan membentengi pasar tersebut dari aksi penjarahan. ”Saya saat itu melihat ada massa yang mulai bergerak mendekati Pasar Klewer. Jadi, saya langsung serukan bahwa Pasar Klewer adalah milik sesama warga Solo,” tegasnya.

Aries Susanto

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif