Soloraya
Senin, 2 April 2012 - 04:11 WIB

LAPSUS: Kado MK untuk Anak di Luar Nikah

Redaksi Solopos.com  /  Anik Sulistyawati  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - ilustrasi (google img)

ilustrasi (google img)

Taksi putih dengan satu orang penumpang memecah keheningan malam di dekat Gedung JEC, Jogja menuju Kaliurang, empat tahun lalu. Kendaraan itu melaju kencang tanpa hambatan di tengah jalan besar yang senyap.

Advertisement

Pandangan Cinta (bukan nama sebenarnya) kosong. Di jok belakang, dia terus merintih pelan sambil memegangi perutnya–menahan rasa mulas akibat kontraksi– tanda sang bayi perempuan akan lahir ke dunia. Tanpa orangtua, saudara maupun suami, Cinta sendirian. Meski begitu, perempuan itu siap berjuang membawa sang anak lahir ke dunia.

“Harinya masih aku ingat dengan jelas. Tanggal 25 Mei 2008, Hari Minggu, pukul sepuluh malam,” ujar Cinta menceritakan detik-detik kelahiran bayi yang tak diinginkan sang ayah itu. Sebagai konsekuensi mempertahankan buah hatinya, Cinta siap menghadapi segala sesuatunya tanpa bantuan pasangan maupun keluarga yang sejak awal tak memberi restu hubungannya dengan Iwan (bukan nama sebenarnya).

Serapat-rapatnya Cinta menyimpan rahasia toh akhirnya semua terbuka juga. Tepatnya ketika Nana menginjak usia empat bulan. Saat keluarga Cinta tahu kehadiran Nana, keluarga Iwan diundang untuk membicarakan masa depan mereka berdua.

Advertisement

“Pertemuan berakhir deadlock karena baik aku maupun keluarga Iwan berebut Nana. Iwannya sendiri masih mengacuhkan anaknya. Sempat juga sesudah pertemuan itu Iwan dan aku berbicara soal perkawinan namun buntu juga karena tak ada yang mau mengikuti agama pasangan. Pernikahan beda agama kan sampai sekarang di Indonesia belum bisa. Nah karena peristiwa itu sampai sekarang status Nana dalam akta kelahiran masih anakku bukan anak Iwan,” ujar Cinta.

Pascaputusan Mahkamah Konstitusi (MK), Cinta sudah memikirkan untuk menikah meski itu secara agama supaya status anaknya jelas. Namun setelah mempertimbangkan segala sesuatunya, Cinta memutuskan tak jadi melakukannya. “Buat apa. Selama ini Iwan juga tak pernah menafkahi anaknya. Ingat anaknya saja sudah bagus. Terbukti kali terakhir Iwan datang ke rumah kontrakan ini, Lebaran tahun lalu. Sesudah itu tak terdengar kabar beritanya. Kata teman-temannya sih merantau ke Jakarta,” ujar Cinta.

Saat ini, Cinta mengaku sudah puas dengan apa yang diterimanya. Mengandalkan gaji dari sebuah perusahaan swasta di Karanganyar, Cinta tak akan meminta Iwan untuk membantu membesarkan anaknya.

“Dukungan dan pengakuan keluarga saja bagi saya sudah lebih dari cukup. MK memang sudah membuat keputusan yang tepat soal status anak di luar pernikahan resmi namun entahlah. Mungkin nanti saya berubah pikiran ketika Nana sudah bersekolah, saya tidak tahu masa depan seperti apa,” kata Cinta.

Advertisement

Posisi Lemah

Beda lagi nasib Yuli (bukan nama sebenarnya) yang memiliki anak dari hubungan gelapnya dengan seorang pejabat Pemkot Solo. Pada awal kelahiran, sang anak, Yogi (bukan nama sebenarnya), tumbuh sehat. Namun setelah berusia tujuh bulan, Yogi divonis sakit tumor otak yang menyebabkan kebutaan dan cacat fisik lainnya.

“Posisi saya lemah saat Yogi lahir. Sebab, waktu itu status saya masih istri orang meski sudah bertahun-tahun pisah ranjang. Penyebab saya dan mantan suami berpisah adalah tidak dikaruniai keturunan. Ironisnya setelah pisah ranjang dan menjalin hubungan terlarang dengan bapak pejabat ini, saya langsung punya anak,” tandasnya.

Di luar dugaan, setelah Yuli hamil, si pejabat berinisial T panik dan menjauhi Yuli. Yuli menolak melakukan aborsi sesuai permintaan T. T juga tak mengakui Yogi adalah anaknya. Janji-janji manis T yang akan menikahi Yuli apabila Yuli menggugat cerai suami pertamanya juga musnah.

Advertisement

“Orang-orang tahunya Yogi adalah anak saya bersama mantan suami, padahal bukan. Mau bagaimana lagi sebab KTP kami statusnya masih menikah meski mantan suami sudah kawin dengan pembantu saya. Nasib tidak enak menimpa saya lagi saat saya harus masuk penjara akibat saya tertipu ratusan juta rupiah dari bisnis mebel. Yogi untuk sementara tinggal bersama ayah tiri yang akhirnya sangat saya sesali karena dia mengalami penyiksaan secara fisik. Akibat penyiksaan itu, berat badan Yogi yang berusia 11 tahun hanya 14 kilogram. Selain kurus, di beberapa bagian badan penuh dengan luka akibat sundutan rokok dan lebam,” tutur Yuli tersendat.

Setelah melalui perjuangan panjang dengan bantuan sejumlah pengacara, Yuli menambahkan, Yogi baru bisa kembali ke pangkuannya pada Desember 2011. Namun, kebersamaan itu hanya satu bulan lebih sebelum akhirnya Yogi dipanggil Yang Kuasa akibat tumor otak yang merambat hingga ke tenggorokan hingga menyebabkan bocah laki-laki itu tidak bisa menelan apapun. Februari lalu, Yogi meninggal.

“Sebenarnya sebelum Yogi meninggal, T berjanji membantu biaya hidup dan pengobatan Rp 300.000/bulan, itu pun sering terlambat sampai kemudian terlupakan. Hingga akhirnya saya terpaksa melapor ke Sekda.”

Setelah Yuli lapor ke Sekda, bantuan itu diteruskan lagi. Namun harapan sebuah pernikahan agar Yogi memiliki ayah tak terlaksana.

Advertisement

Bertentangan

Ketidakjelasan status anak yang lahir di luar hubungan resmi inilah yang menurut Ketua MK, Mahfud MD, diharapkan tidak terjadi lagi pada masa-masa mendatang. Oleh sebab itu, MK mengeluarkan putusan No 46/PUU-VIII yang merupakan pengujian atas Pasal 43 ayat (1) UU No 1/1974 tentang Perkawinan. Putusannya, anak yang lahir di luar perkawinan mempunyai hubungan dengan ayah biologis, tak lagi hanya kepada ibu dan keluarga ibu.

“Putusan MK itu berkaitan dengan anak yang lahir di luar hubungan resmi yang diakui negara bukan menentukan status perkawinan. Prinsipnya MK tak ingin kesalahan atau dosa yang dilakukan baik sang ayah maupun sang ibu berimbas pada anak. Jangan sampai anak yang kena. Itu intinya,” ujar Mahfud di Solo, belum lama ini.

Wakil Ketua Komisi I DPRD Solo, Dedy Purnomo, mengatakan banyak sekali persoalan yang muncul pascaputusan MK menyusul belum adanya revisi atas UU No 1/1974. Kondisi ini juga berimbas kepada daerah terutama Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dispendukcapil) sebagai otoritas yang mengeluarkan akta kelahiran. Menurut Dedy, meski MK sudah mengeluarkan putusan soal status anak yang  lahir di luar pernikahan resmi namun Dispendukcapil berpegang pada UU No 1/1974. Sementara pada prinsipnya UU No 1/1974 justru hanya memberikan pengakuan untuk anak-anak yang lahir dalam hubungan yang diakui negara yakni terdaftar di KUA sebagai suami-istri sah.

“Saya melihat putusan MK memang justru bertentangan dengan UU sehingga menimbulkan banyak masalah. Ya kalau seperti ini tinggal Dispendukcapilnya saja bagaimana? Semisal kasus Machicha terjadi di Solo, berani tidak Dispendukcapil mengeluarkan akta kelahiran? Kalau Dispendukcapil tidak berani yang artinya merepresentasikan sikap daerah-daerah yang lain berarti putusan MK
sulit direalisasikan.”

Anak-anak yang lahir di luar hubungan resmi diakui Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dispendukcapil) juga menjadi masalah. Pasalnya mereka tak punya status lantaran tak ada orangtua yang mau mengakui.

Advertisement

Namun demikian, putusan MK yang menyatakan anak yang lahir di luar pernikahan mempunyai hak keperdataan yang sama, menurut Kepala Dispendukcapil Solo, Untara, belum bisa dilaksanakan. Hingga saat ini, belum ada instruksi dari pemerintah pusat mengenai hal tersebut.

“Sampai saat ini kami masih mengacu kepada UU No 1/1974 dalam pembuatan akta. Intinya ya hanya anak yang lahir dari hubungan resmi dan tercatat di KUA yang mendapatkan pengakuan dalam akta kelahiran sebagai anak dari ayah dan ibu,” jelas dia.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif