SOLOPOS.COM - Warga menunggangi hewan ternak sapi saat mengikuti tradisi Lebaran Sapi di Mlambong, Sruni, Musuk, Boyolali, Rabu (17/4/2024). (Solopos/Joseph Howi Widodo)

Solopos.com, BOYOLALI — Agenda Lebaran Sapi yang digelar warga Lereng Gunung Merapi, Dukuh Mlambong, Desa Sruni, Kecamatan Musuk, Kabupaten Boyolali, Rabu (17/4/2024) pagi, sudah menjadi tradisi selama bertahun-tahun.

Tradisi itu menjadi cara warga Sruni meminta maaf kepada hewan ternak mereka sekaligus memanjatkan doa kepada Yang Maha Kuasa agar sapi-sapi mereka bisa memberikan rezeki berlimpah.

Promosi Beli Emas Bonus Mobil, Pegadaian Serahkan Reward Mobil Brio untuk Nasabah Loyal

Di samping itu, dengan membawa keluar dan mengarak keliling desa, warga Sruni berharap sapi mereka bisa bertemu dengan sapi-sapi lain. Ketika sapi itu bertemu dengan sapi lain diharapkan bisa menambah keinginan mereka untuk bereproduksi dan memperbanyak jumlah hewan ternak warga.

Karena itu pula sebelum diarak, sapi-sapi itu dimandikan dan didandani. Seperti terlihat pada agenda Lebaran Sapi, Rabu itu. Beberapa sapi terlihat berkalung ketupat dan tanduknya dihias. Ada juga sapi yang badannya diwarnai.

Ketua RW 004 Dukuh Mlambong, Sruni, Musuk, Boyolali, Jaman, mengungkapkan tradisi Lebaran Sapi atau Bakda Sapi itu dilaksanakan setiap hari kedelapan bulan Syawal atau H+7 Lebaran.

Selain sapi, hewan peliharaan seperti kambing juga dikeluarkan untuk diarak keliling Desa Sruni, Musuk, Boyolali. “Setiap tahun pada hari kedelapan bulan Syawal, dilakukan Lebaran Sapi. Tahun ini ada 300-400 ekor sapi [yang diarak],” ujar Jaman di sela-sela kegiatan.

Jaman menjelaskan Lebaran Sapi memiliki banyak makna filosofis. Misalnya sapi dikalungi ketupat saat diarak. Hal itu, menurut Jaman, bermakna pengakuan salah atau khilaf karena ketupat atau kupat dalam tradisi Jawa merupakan akronim dari ngaku lepat atau mengaku salah.

Harapan Rezeki Melimpah

Sapi yang diberi kalung ketupat memiliki makna warga yang memelihara sapi meminta maaf kepada hewan peliharaannya. “Sapi-sapi juga keluar dari kandang, saling bertemu dan meminta maaf,” kata dia.

Bagaimana pun sapi telah memberikan sumber penghidupan kepada mayoritas warga Sruni, baik dari hasil daging yang baik dan susu yang melimpah. “Sapi juga membantu masyarakat dalam sektor pertanian, peternakan, dan tabungan bagi warga. Ini ucapan syukur kepada Allah dengan cara mengarak sapi,” kata dia.

Mengenai sejarah tradisi Lebaran Sapi, Jaman menjelaskan berawal saat seorang penyebar agama Islam bernama Kiai Anwar Siraj datang dan menetap di Sruni sekitar 1951. Setiap hari kedelapan bulan Syawal, Kiai Anwar Siraj mengeluarkan sapi, memandikan, menggembala, dan mempertemukan dengan sapi-sapi lain.

Dari situ para tetangga lain mengikuti kebiasaan Kiai Anwar Siraj dengan cara sederhana yaitu sapi dimandikan dan dipertemukan dengan sapi lain. Seiring waktu berjalan, Lebaran Sapi menjadi tradisi masyarakat Sruni, Musuk, Boyolali.

Sementara berdasarkan cerita yang didapat Solopos.com, selain Kiai Anwar Siraj, ada juga tokoh setempat bernama Kiai Lambong Sari yang terkait dengan asal usul tradisi Lebaran Sapi. Jaman mengatakan di daerah tersebut dulu tinggal seorang tokoh bernama Kyai Lambong Sari.

Kemudian tokoh tersebut mengajak warga lain untuk tinggal di wilayah yang kemudian diberi nama seperti nama tokoh tersebut, Mlambong. “Dulu konon Kiai Lambong Sari memiliki kesukaan menggembala sapi,” kata dia.

Mengenai alasan kegemaran Kiai Lambong Sari menggembala sapi, konon karena mengikuti ajaran Nabi Sulaiman, di antaranya adalah menghargai dan merawat hewan peliharaan. “Ini konon saja, yang kami dengar seperti itu. Sebab kami juga belum mendapatkan referensi pastinya,” kata dia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya