SOLOPOS.COM - Ilustrasi pelecehan seksual. (Freepik.com)

Solopos.com, WONOGIRI — Guru SMP negeri di Jatisrono, Wonogiri, yang lecehkan siswi di bus saat study tour kini sudah tidak lagi diizinkan untuk mengajar. Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Wonogiri sudah tidak mengizinkan guru pelaku pelecehan seksual itu untuk mengajar di sekolah.

Di sisi lain, pembentukan tim pencegahan dan penanganan kekerasan (TPKK) di seluruh satuan pendidikan mulai dilakukan. Kekerasan fisik maupun seksual yang dilakukan siswa atau pengajar diharapkan tidak terjadi di lingkungan pendidikan.

Promosi Pegadaian Buka Lowongan Pekerjaan Khusus IT, Cek Kualifikasinya

Kepala Disdikbud Wonogiri, Sriyanto, saat ditemui Solopos.com di kompleks Sekretariat Daerah (Setda) Wonogiri, Selasa (7/11/2023), mengatakan guru berinisial S, 50, yang lecehkan salah satu siswi itu kini sudah tidak lagi mengajar.

Pria setengah baya itu dipindahtugaskan menjadi pegawai staf di Kantor Disdikbud Wonogiri. Hal itu sebagai bentuk sanksi kepada pelaku sekaligus perlindungan terhadap siswi yang menjadi korban pelecehan.

Di sisi lain, Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Wonogiri saat ini tengah mengkaji kasus tersebut. Kajian itu untuk menentukan bagi S. Menurut Sriyanto, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Wonogiri tidak akan memberikan sanksi ringan kepada pelaku pelecehan seksual.

Apalagi hal itu dilakukan seorang pengajar yang seharusnya memberikan ruang aman kepada anak untuk belajar. “Kami tidak akan main-main kepada mereka [guru] yang melakukan pelecehan atau kekerasan seksual kepada siswanya. Sanksi yang diberikan tentu tidak ringan,” kata Sriyanto.

Sriyanto menyebut kasus guru lecehkan siswi seperti yang terjadi di SMP negeri wilayah Jatisrono itu bukan kali pertama terjadi di satuan pendidikan Wonogiri. Hal itu merupakan ironi.

Bentuk TPPK di Seluruh Sekolah

Disdikbud tidak ingin hal itu terulang lagi. Upaya pencegahan kekerasan seksual di satuan pendidikan saat ini tengah digenjot melalui pembentukan TPPK di seluruh satuan pendidikan di bawah naungan Pemkab Wonogiri.

TPPK dibentuk mulai dari jenjang pendidikan anak usia dini (PAUD) hingga sekolah menengah pertama atau SMP. Dia menjelaskan pembentukan TPPK itu seusai Peraturan Menteri Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Permendikbud Ristek) No 46/2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan.

TPPK terdiri atas pengajar yang tidak ditugaskan sebagai kepala satuan pendidikan atau kepala sekolah, komite sekolah atau orang tua/wali siswa, dan dan tenaga administrasi dari tenaga kependidikan.

Sriyanto menyebut tugas TPPK itu antara lain menerima dan menindaklanjuti laporan kekerasan baik psikis, fisik, maupun seksual. Kemudian melakukan penanganan kasus kekerasan, mendampingi korban kekerasan, dan memfasilitasi pendampingan oleh ahli atau layanan lainnya yang dibutuhkan korban, pelapor, atau saksi.

“Kami tidak ingin penanganan kekerasan di sekolah entah fisik, psikis, atau seksual itu berkepanjangan dan berbelit-belit seperti yang pernah terjadi di Baturetno [pencabulan 12 siswi madrasah ibtidaiah oleh guru dan kepala sekolah] kemarin,” ujar dia.

Study Tour Tak Boleh Menginap

Sriyanto menguraikan kasus guru yang lecehkan siswi SMP negeri di Jatisrono itu terjadi saat kegiatan outing class atau study tour ke luar Wonogiri. Atas kondisi itu, Disdikbud telah mengevaluasi kegiatan outing class.

Sekolah tidak diizinkan lagi melakukan study tour sampai menginap, kecuali keadaan mendesak dan urgen. Outing class sangat dianjurkan dilakukan di Kabupaten Wonogiri saja.

Ketua Musyawarah Kerja Kepala Sekolah (MKKS) SMP Wonogiri, Suparno, mengatakan pembentukan TPPK di satuan pendidikan SMP di Wonogiri masih terus diproses. Saat ini sudah 72% SMP yang sudah membentuk TPPK di sekolah masing-masing.

Sementara sisanya masih menunggu antrean persetujuan dari Kemendikbudristek. Suparno mengatakan pembentukan TPPK di seluruh SMP ditargetkan selesai November 2023 ini.

Hal itu mengingat tim ini memiliki peran dan fungsi yang sangat vital, sehingga semakin cepat terbentuk akan semakin baik. Dengan pembentukan tim ini diharapkan tindakan kekerasan di satuan pendidikan tidak lagi terulang lagi, baik yang dilakukan siswa maupun pengajar.

“Miris kalau ada kasus kekerasan seksual di satuan pendidikan. Itu tidak seharusnya terjadi. Sekolah harusnya menjadi ruang aman bagi siswa untuk belajar. Waskat [pengawasan melekat] antarpendidik harus berjalan. Kalau ada pendidik yang terindikasi melakukan kekerasan, pendidikan lain harus mengingatkan,” kata Suparno.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya