Soloraya
Jumat, 27 April 2012 - 11:07 WIB

LOKANANTA: Antara Kenangan Masa Jaya dan Bau Apek

Redaksi Solopos.com  /  R. Bambang Aris Sasangka  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - BUTUH PERHATIAN -- Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Mari Elka Pangestu membeli sejumlah CD produksi Lokananta saat berkunjung ke Solo beberapa waktu lalu. Kondisi Lokananta hingga kini masih memrihatinkan di tengah kenangan masa kejayaan perusahaan rekaman milik negara, yang mencapai puncaknya pada tahun 1960-an dan 1970-an. (JIBI/SOLOPOS/Agoes Rudianto)

BUTUH PERHATIAN -- Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Mari Elka Pangestu membeli sejumlah CD produksi Lokananta saat berkunjung ke Solo beberapa waktu lalu. Kondisi Lokananta hingga kini masih memrihatinkan. (JIBI/SOLOPOS/Agoes Rudianto)

“Ya masih begini-begini saja,” kata Heri Susilo, pengunjung Lokananta, ketika ditanya soal kondisi studio rekaman tertua di Indonesia itu.
Advertisement

Kamis (26/4) merupakan kali ketiga ia datang ke Lokananta. Menemani seorang teman, Heri berkeliling di ruang penyimpanan piringan hitam, pita master, dan alat-alat rekam. “Terakhir kali datang 2008, kondisinya enggak banyak berubah. Paling hanya studio rekaman yang direnovasi,” katanya.

Sebagai pemerhati sekaligus pekerja musik, ia merasa prihatin dengan nasib Lokananta yang mati segan hidup tak mampu. Padahal, koleksi alat rekamnya lengkap dari 1950-an. Di dalam gedung juga tersimpan aset berharga meliputi 45.000 piringan hitam, 5.000 pita master, dan aneka rupa alat studio.

Advertisement

Sebagai pemerhati sekaligus pekerja musik, ia merasa prihatin dengan nasib Lokananta yang mati segan hidup tak mampu. Padahal, koleksi alat rekamnya lengkap dari 1950-an. Di dalam gedung juga tersimpan aset berharga meliputi 45.000 piringan hitam, 5.000 pita master, dan aneka rupa alat studio.

Titik Sugiyanti, staf administrasi keuangan dan umum Lokananta pun bercerita apa adanya. Perawatan rupa-rupa koleksi dibuat semurah mungkin. Untuk menghindari udara lembab, pintu dan jendela sesekali dibuka. Kadang, debu disedot dengan mesin. Sedangkan bau tengik ditawarkan dengan aroma kopi. Sayangnya, usaha yang disebut terakhir ini bisa dibilang gagal karena bau apak masih terasa menyengat di hidung.

Dengan karyawan yang berjumlah 19 orang dan penghasilan studio rekaman yang tak seberapa, gaji mereka tergolong minim. Beberapa, aku Titik, masih berada di bawah batas UMR. Di sisi keamanan, hanya ada satu orang petugas yang berjaga tiap shift-nya. Tak ada fasilitas standar penjagaan bagi gedung yang besar itu, apalagi kamera cctv.

Advertisement

Keluhan mereka ini bukannya tidak didengar pemangku kebijakan. Sudah banyak orang besar telah datang bertandang. Sebut saja musisi pop Glenn Fredly yang baru-baru ini rekaman, juga ada Walikota Solo Joko Widodo, hingga Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Marie Elka Pangestu. Mereka pernah menginjakkan kaki di sini. Keluh kesah tentang kondisi Lokananta sudah pasti terdengar. Tapi bagi studio rekam itu, perubahan masih juga tak kunjung datang.

Heri menduga-duga bahwa acuhnya pemerintah bukan tanpa sebab. Lokananta secara birokrasi masih berada dalam Perum Percetakan Negara. Semua program pengembangan, perbaikan, dan lainnya harus menempuh birokrasi panjang. Birokrasi yang bisa jadi tak bisa langsung digunting begitu saja oleh walikota ataupun menteri.

Birokrasi ini pula yang mungkin membuat banyak pihak antipati memberi bantuan. Alasan lain, bisa jadi kesan kuno yang terlanjur melekat pada Lokananta, sehingga musisi-musisi kondang sekarang emoh membantu. “Orang jadi menganggap bahwa yang lama mending mati saja,” ujar Heru menirukan opini sebagian kawannya di Jakarta.

Advertisement

Tapi di antara cerita-cerita sedih itu, Lokananta masih berdiri tegar. Sebagai studio rekaman yang didirikan 1956, sejarah menjadikannya kuat. Ia bisa berbangga karena telah menghasilkan nama besar seperti Waldjinah, Gesang, Titiek Puspa, Bing Slamet, dan Sam Saimun.

Lokananta, bagi orang yang masih menghargai sejarah musik seperti Heri, masih tetap dicintai dan dirindu.

“Dan saya pikir ini bukan soal romantisme sejarah saja. Tapi Lokananta ini lagi-lagi merupakan sebuah aset berharga. Identitas musik kita ada di sini. Jangan ketika keroncong diklaim Malaysia, kita baru menoleh Lokananta untuk mencari bukti-buktinya,” sambungnya. (JIBI/ Bisnis Indonesia/ Christine Franciska)

Advertisement

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif